Sukses

Jangan Anggap Sepele! Ini Lima Faktor Pemicu Keinginan Bunuh Diri

World Health Organization (WHO) mencatat terdapat lebih dari 720.000 kasus kematian akibat bunuh diri setiap tahunnya. Maka perlu adanya penanganan preventif termasuk jika ada keinginan bunuh diri.

Liputan6.com, Yogyakarta Data WHO menyebutkan di usia 18-29 tahun, penyebab bunuh diri dapat berasal dari orang terdekat, lingkungan sekitar, bahkan tekanan diri sendiri. Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI,  Imran Pambudi, mengatakan, ada lima klasifikasi atau faktor pemicu keinginan bunuh diri.  “Faktor lingkungan, sosial, kesehatan, hubungan dengan orang lain, dan faktor dirinya. Contohnya ada masalah kesehatan jiwa, apakah dia peminum, misalnya ada kesulitan keuangan, rasa sakit kronis, jadi bisa datang dari mana saja,” ujar Imran dalam webinar “Pencegahan Bunuh Diri Berbasis Kampus” yang diselenggarakan oleh Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi UGM, Selasa (10/9/2024). 

Mencegah meningkatnya kasus ini pemerintah tengah menyusun kerangka kerja yang didasarkan pada empat hal utama, yakni pencegahan faktor resiko, pencegahan upaya menyakiti diri sendiri, pencegahan upaya bunuh diri, dan suicide registry atau pelaporan bunuh diri.

Soal menjaga kesehatan jiwa, kampus UGM salah satu Health Promoting University (HPU) memiliki komitmen tinggi sebagai kampus dengan lingkungan yang sudah dirancang dengan memperhatikan aspek-aspek intelektual dan keamanan dalam belajar. Terdapat lima dasar kerangka HPU yang telah dicanangkan yaitu menciptakan ruang kerja yang sehat dan suportif, mengembangkan kurikulum dan riset kesehatan jiwa, berperan secara aktif di masyarakat dalam mempromosikan kesehatan jiwa, mewujudkan lingkungan berbasis HPU, dan terwujudkan kesehatan pelajar, individu, dan pengembangan diri. 

“Dibutuhkan suatu lingkungan yang suportif. Memberikan lingkungan yang aman, dan rasa saling percaya satu sama lain. Dibutuhkan juga profesionalitas dari sivitas akademika. Itu semua diwujudkan dalam komitmen bersama,” jelas anggota HPU UGM sekaligus dosen FK-KMK UGM  Yunita Widyastuti. 

Yuni mengatakan tahapan screening menjadi upaya lain UGM menekan risiko upaya keinginan bunuh diri kepada setiap sivitas akademika dengan pemberian pemahaman akan kesehatan jiwa bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Lingkungan yang sehat, nantinya akan menghasilkan individu dengan kesadaran akan kesehatan yang tinggi. Social-Ecological Suicide Prevention Program (SESPP) secara khusus merancang sistem preventif upaya bunuh diri berbasis lingkungan sosial. Dalam sistem tersebut, terdapat upaya-upaya peningkatan kesadaran kesehatan jiwa dari tahap individu, hubungan, kelompok, hingga masyarakat.

Sementara itu, Diana Setyawati  Kepala Center for Public Mental Health (CPMH), mengatakan bahwa perlu adanya literasi dan kebijakan kesehatan jiwa dalam mewujudkan kampus sejahtera.  Bahkan saat ini setiap fakultas di UGM telah menyediakan unit konseling sebagai promosi kesehatan jiwa sekaligus upaya preventif risiko bunuh diri. “Kita sudah memiliki SOP untuk konseling, bahkan sekarang sudah dibantu oleh bot ya. Ada layanan konseling dengan dosen dan sebaya, serta menyediakan rujukan ke RSA,” jelas Diana. 

UGM juga menyediakan layanan hotline pencegahan bunuh diri bagi siapapun yang melihat atau melakukan upaya-upaya menyakiti diri sendiri bernama “Mental Health Emergency Response Line”. Layanan ini bisa diakses seluruh sivitas akademika berkat kerja sama dengan Gadjah Mada Medical Center (GMC) dengan RSA UGM. "Individu akan langsung mendapat pendampingan dan penanganan secara berkelanjutan."

Ketua Satuan Tugas Kesehatan Mental UGM, Restu Tri Handoyo, mengatakan upaya pencegahan bunuh diri memang harus diterapkan sedini mungkin. Bahkan ketika sebelum ada keinginan bunuh diri. “Selain layanan hotline, kita juga melakukan screening ke mahasiswa apakah ada risiko-risiko yang kemungkinan menyebabkan seseorang masuk ke tahap crisis atau tahap paling mendekati upaya bunuh diri,” tutur Restu.

Komitmen bersama menjaga kesehatan jiwa bisa dimulai dari pengelolaan diri sendiri dan lingkungan yang mendukung. Harapannya, dengan komitmen tersebut, kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa akan membuahkan masyarakat yang inklusif, aktif, dan suportif terhadap satu sama lain.