Sukses

Dicekam El Nino, Sumsel Punya Kawasan Penghasil Pangan Berlimpah

Walau terjadi fenomena El Nino, tapi Sumsel mempunyai kawasan yang mampu memasok pangan untuk kebutuhan Sumsel dan daerah lainnya.

Liputan6.com, Palembang - Fenomena El Nino yang terjadi di Indonesia berdampak pada ancaman kekeringan panjang terutama di sektor pertanian.

Sebagai daerah lumbung pangan, Sumatera Selatan (Sumsel) dinilai mampu bertahan dalam pasokan pangan, walaupun kemarau panjang melanda.

Menurut Direktur Yayasan Depati dan aktivis lingkungan Sumsel Ali Goik, infrastruktur pertanian berperan penting dan menjadi kunci utama dalam menjaga stok pangan di Indonesia, terutama pasokan beras.

Apalagi di beberapa daerah di Sumsel, pasokan beras sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan untuk Sumsel saja.

“Di Kabupaten Banyuasin Sumsel, sebenarnya lumbung pangan sudah cukup untuk Sumsel, ditambah dengan di Belitang, akan melimpah ruah. Belum lagi tambahan di kabupaten lainnya seperti Musi Banyuasin, Palembang, perbatasan Palembang-Banyuasin dan lainnya,” ucapnya, Sabtu (21/10/2023).

Fenomena El Nino jangan dijadikan kambing hitam atas kurangnya pasokan pangan di Sumsel, namun pemerintah harus membenahi managemen pengelolaan pasokan pangan yang dinilainya masih buruk.

Saat petani panen beras, harusnya harga gabah meningkat. Namun saat panen, beras dari luar negeri malah diimpor ke Indonesia, sehingga beras petani lokal tidak tertampung dengan baik.

“Tata kelola pangan harus diperbaiki sampai ke bawah. Kecuali petani selesai panen baru masuk beras dari luar, tidak masalah. Ini malah kebalikannya, petani akhirnya menjerit,” ucapnya.

Jika managemen yang kian memburuk seperti ini, dikhawatirkan para petani pangan akan mengubah pola tanamnya, seperti beralih ke tanaman sawit atau Hutan Tanaman Industri (HTI).

Dia juga menyarankan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas petani lokal, dengan cara memberikan pelatihan dan pendampingan bagaimana cara menanam yang baik.

"Infrastruktur sudah baik. Karena petani sudah jarang bekerja secara manual, mereka sudah menggunakan mobil alsintan. Di Banyuasin, di muara Sugihan, beras dan jagung, jika dikelola dengan baik, akan menjadi lumbung pangan," ujarnya.

Salah satu cara tanam yang diapresiasinya yakni di kawasan Solok di Sumatera Barat (Sumbar). Para petani di sana bisa panen padi hingga tiga kali setahun.

Teknologi dan ilmu yang digunakan itulah, harusnya ditularkan ke seluruh petani di Indonesia termasuk petani di Sumsel.

Jika hasil panen seperti itu merata se-Indonesia, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menjadi negara pengimpor beras ke mancanegara.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tradisi Sonor

“Lucu ketika Indonesia adalah negara lumbung pangan, tapi masih beli beras di luar negeri. Semua infrastruktur diperbaiki. Seperti jalan angkutan, subsidi pupuk harus merata dan diatur. Hasil bumi bisa mahal jika didukung dengan infrastruktur yang baik,” ungkapnya.

Dia juga menjelaskan tradisi Sonor yang juga sering dikambinghitamkan saat terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumsel.

Sonor merupakan tradisi membakar lahan padi jelang panen, ketika posisi air pasang yang berguna untuk menghilangkan karat air.

Saat panen tiba, mereka akan mengambil padi menggunakan perahu, karena air terus mengalir dan kebakaran tidak akan menyebar ke kawasan lain.

“Tapi mereka yang kini disalahkan. Padahal itu dari zaman nenek moyang yang tidak mengakibatkan terbakar lahan lain, terutama lahan gambut. Bibit padinya dihamburkan, bukan ditanam biasa dan tidak pakai pupuk. Karena bekas bakaran lahan itulah yang buat padi bagus dan rasanya pulen,” ujarnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.