Sukses

Waspada! Bumi Mendidih Lebih Awal, Pulau-Pulau di Indonesia Terancam Tenggelam

Pantauan Peneliti Klimatologi Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN menunjukkan pada Juli 2023 rerata suhu Bumi mencapai 1,35 derajat Celcius.

Liputan6.com, Bandung - Seluruh pemangku kebijakan diminta untuk mewaspadai adanya ancaman tenggelamnya pulau di Indonesia akibat suhu global Planet Bumi mendidih sebelum waktunya.

Ancaman tenggelamnya pulau tersebut akibat tinggi muka air laut karena kenaikan suhu yang sangat cepat. Berdasarkan pantauan oleh Peneliti Klimatologi Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, saat ini menunjukkan bahwa pada bulan Juli 2023 rerata suhu Bumi mencapai 1,35 derajat Celcius.

Padahal dari hasil seluruh model proyeksi mengenai perubahan iklim baru menunjukkan Bumi akan mencapai suhu 1,5 derajat Celcius nanti pada tahun tahun 2050. Erma mengatakan dampak dari peningkatan suhu global Bumi 1,1 derajat Celcius saja sudah menyebabkan banjir besar.

Seperti rentetan kejadian banjir dahsyat bulan sekitar Mei - Juni 2023 yang terjadi di Pakistan, India, Korea dan baru-baru ini terjadi juga di Jepang, Cina dan Amerika Serikat. Belum lagi naiknya tinggi muka air laut.

"Tapi tidak hanya tinggi muka laut saja yang efeknya dari pencarian es yang kita khawatirkan. Justru yang lebih parah adalah ketika terjadi kelombang besar yang kita sebut dengan storm surge yang ada di atas laut dan itu menghantam wilayah-wilayah pesisir pada waktu-waktu tertentu. Maka itulah yang dinamakan dengan cara menenggelamkan wilayah-wilayah pesisir itu," ujar Erma dicuplik dalam akun YouTube pribadinya, Bandung, Selasa, 22 Agustus 2023.

Erma mengatakan kenaikan air muka laut ini tipenya tidak merayap, tetapi disertai dengan badai kuat yang terjadi di atas laut.

Badai kuat tersebut berinteraksi antara air muka laut. Akibatnya menaikan gelombang laut yang tinggi memicu kenaikan signifikan dengan disertai angin. Ditambah adanya hujan yang turun dengan sangat deras.

Beberapa komponen di atmosfer dan laut yang saling berkolaborasi inilah dikhawatirkan Erma, karena lebih sering akan menghantam daerah-daerah di pesisir di seluruh wilayah Indonesia.

"Sementara wilayah Indonesia kita tahu, terdiri dari ribuan pulau dan panjang daerah pesisir atau garis pantai di Indonesia itu adalah yang ketiga terpanjang di dunia. Oleh karena itu, Indonesia harus menjadi bagian negara yang terdepan di Asia Tenggara untuk mengatasi krisis iklim ini secara lebih real, lebih implementatif dengan misalnya dua solusi," ungkap Erma.

Solusi yang pertama tutur Erma, melakukan berbagai cara dan solusi untuk menekan sebisa mungkin, sebanyak mungkin agar tidak ada pelepasan jumlah konsentrasi karbondioksida secara massal di atmosfer.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menanam Pohon

Yang kedua, melakukan penanaman pohon sebanyak mungkin dan cara kedua ini merupakan cara yang paling murah bisa dilakukan oleh siapapun.

Dilakukan penghijauan di manapun berada di wilayah rumah masyarakat yang terdekat. Alasan Erma, karena itu satu-satunya cara untuk memberikan keseimbangan bagi sirkulasi udara dan menyeimbangkan pelepasan O2 dalam jumlah yang banyak untuk mengimbangi konsentrasi CO2 yang sudah terlepas di atmosfer dari bahan bakar fosil.

"Hanya bisa dinetralisir dengan penanaman pohon sebanyak mungkin karena hanya pohon yang bisa menghasilkan konsentrasi O2 dalam jumlah yang sangat banyak. Itu harus kita lakukan sekarang, saat ini juga. Kalau tidak kita, siapa lagi? Apa yang kita lakukan sekarang adalah sesuatu yang sangat berguna untuk anak cucu kita kelar," tukas Erma.

Erma mengajak seluruh kelompok masyarakat di Indonesia khususnya, umumnya masyarakat secara global menyelamatkan negara dari dari krisis iklim yang semakin parah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini