Sukses

Peran Penting Masyarakat Adat Jaga Kawasan Batang Toru hingga Kurangi Emisi Karbon

Dengan kekayaan alam meliputi hutan tropis yang luas, Indonesia memainkan peran penting dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan memerangi perubahan iklim.

Liputan6.com, Medan Dengan kekayaan alam meliputi hutan tropis yang luas, Indonesia memainkan peran penting dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan memerangi perubahan iklim.

Salah satu faktor yang secara signifikan memengaruhi upaya ini adalah hubungan antara hutan adat dan pengurangan emisi karbon. Seperti hutan adat di kawasan Batang Toru.

Kepala Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Tampan Sitompul mengatakan, kawasan yang dikenal dengan sebutan Harangan Tapanuli terdiri dari hutan tropis daratan rendah, berbukit, hingga pegunungan dengan luas sekitar 120,000 hektare.

Kawasan ini terbagi menjadi blok timur, blok barat, dan blok Sibual-buali yang dipisahkan oleh lembah retakan Sumatera. Sebagai satu dari sedikit ekosistem yang masih memiliki hutan alami, kawasan ini memiliki nilai biodiversitas tinggi, serta menyimpan kekayaan flora dan fauna yang beragam.

"Sebagai masyarakat adat, kami memiliki peran penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, serta memelihara keseimbangan ekosistem," kata Tampan, Senin (15/5/2023).

Diungkapkan Tampan, pihaknya sangat mendukung hutan kemenyan mereka menjadi hutan adat, karena kedekatan dengan alam. Tidak hanya sebagai sumber pendapatan, nilai-nilai adat dan relijius terhadap alam yang diturunkan nenek moyang menjadi kekuatan dan identitas mereka hingga kini.

"Makanya, tahun lalu kami adakan pesta parung-parung untuk mengembalikan nilai-nilai adat istiadat yang sejak dahulu terus dipelihara sampai generasi selanjutnya," sebut Tampan.

Hutan Adat Menyediakan Habitat Alami

Disebutkan Tampan, hutan adat menyediakan habitat alami bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan endemik. Dalam menjaga kelestarian hayati, hutan adat membantu mempertahankan ekosistem yang sehat, dan pada akhirnya membantu hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan terus terjaga.

"Sehingga, akan sangat berbahaya jika hutan dirusak atau diganti dengan tanaman lain. Kalau sempat hutan ini misalnya diganti jadi sawit, enggak hanya pendapatan masyarakat saja yang rusak, lingkungan desa ini akan berpotensi terjadi longsor," sebutnya.

Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Simardangiang, Tonggo Marbun menuturkan, jika hutan hilang maka hewan yang ada di dalamnya seperti orangutan pun akan terancam kehilangan habitatnya. Tonggo mengaku, dulu dapat berkomunikasi dengan orangutan.

Namun, tidak ada penjelasan yang detail bagaimana akhirnya dia bisa memiliki koneksi komunikasi dengan orangutan. "Mengalir aja. Karena dulu orangutan masih banyak yang pindah-pindah di hutan, jadi sering ketemu kalau lagi martombak haminjon," ungkapnya.

Sejak saat itu dia mengimbau masyarakat agar tidak memburu atau menangkap orangutan. Tonggo yakin, orangutan sama seperti manusia yang dapat diajak berkomunikasi.

Sementara, pemuda Desa Simardangiang yang balik kampung untuk melestarikan budaya martombak haminjon, Parluasan, mengaku prihatin terhadap eksistensi hutan adat di desanya. Menurutnya, sudah sangat perlu bagi anak muda untuk meregenerasi hutan kemenyan dan menjaganya agar tidak hilang dan rusak.

"Mau sampai kapan terus bertahan? Orang tua yang umurnya sudah lanjut usia. Kalau anak muda masih aja gengsi, lama-lama hutan ini bakalan dirombak sama orang luar. Akhirnya masyarakat tidak punya rumah lagi," ucapnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hutan Adat Penyimpanan Karbon Terbesar

Direktur Eksekutif Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan menerangkan, hutan adat berperan sebagai "bank karbon" alami. Pohon-pohon yang tumbuh di hutan adat menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dan menyimpannya dalam biomassa.

Dengan mempertahankan hutan adat, jumlah karbon yang disimpan dalam tumbuhan dan tanahnya tetap terkunci dan mengurangi jumlah CO2 di atmosfer. Hutan adat juga memiliki nilai spiritual dan budaya yang kuat bagi komunitas adat. Begitu juga dengan usaha dalam mengelola hutan adat sendiri, sering menghasilkan upaya yang lebih besar dalam mencegah deforestasi.

Hutan adat membantu mencegah pelepasan emisi karbon akibat pembukaan lahan untuk pertanian atau industri. Menurutnya, masyarakat adat adalah salah satu pihak dan strategis yang penting untuk berkomitmen menjaga hutan dan karbon.

"Namun, peran masyarakat adat sering diabaikan kontribusinya. Memang belum ada perhitungan angka pasti kontribusi masyarakat adat terkait pengurangan emisi karbon dari menjaga hutannya, baik di tingkat nasional atau terlebih khusus di daerah Sumatera Utara sendiri," sebutnya.

Dikatakan Dana, masyarakat adat menganggap hutan bukan hanya sumber hidup, namun juga memiliki relasi spiritual dengan hutannya sejak turun-temurun.

"Sudah selayaknya masyarakat adat dan hutannya diakui oleh negara sebagai aktor penting dalam rangka komitmen menghadapi perubahan iklim," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Ancaman Terhadap Hutan Adat

Dijelaskan Dana, meskipun pentingnya hutan adat dalam berkaitan dengan emisi karbon, masih ada ada beberapa ancaman. Mulai dari tingginya permintaan industri dalam hal pengelolaan sumber daya alam, seperti kayu, kelapa sawit, tambang dan lain sebagainya.

Pengambilan sumber daya alam ini dapat menyebabkan deforestasi dan merusak keanekaragaman hayati serta menyebabkan keracunan emisi karbon yang signifikan.

Ketidakpastian hukum hutan adat juga sering menjadi polemik di mana tuntutan hukum dalam hal pengakuan dan perlindungan dapat memicu konflik lisensi antara komunitas adat dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan berdampak pada pengurangan emisi karbon.

Padahal, salah satu upaya penarikan emisi karbon dari hutan di Indonesia adalah melalui pengelolaan hutan adat. Pengelolaan hutan adat, sudah terbukti efektif dalam menjaga kelestarian hayati, mengurangi emisi karbon, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hutan adat mencakup sekitar 23 juta hektare atau sekitar 12 persen dari total luas hutan di Indonesia. Pengelolaan hutan adat berdasarkan prinsip-prinsip kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Masyarakat adat yang mengelola hutan adat tidak hanya berfokus pada penghasilan ekonomi dari hasil hutan, tetapi juga menjaga keberlanjutan hutan dan lingkungan hidup. Pengelolaan hutan adat juga dapat memperkuat kebijakan perubahan iklim melalui program REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan).

"Program global ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, serta mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan," Dana menerangkan.

4 dari 4 halaman

Masyarakat Adat Paling Paham

Direktur Wahana Lingkungan (Walhi) Sumut, Rianda Purba menjelaskan, masyarakat adat adalah subjek yang paling memahami dalam mengelola hutan, karena bersinggungan langsung dengan hutan adatnya.

Menurut Rianda, sudah saatnya pemerintah khususnya di tingkat provinsi lebih serius dalam pengakuan hukum dan administrasi hutan adat. Di tingkat gerakan sipil pun penting terus dijaga dan disuarakan.

"Karena sudah menjadi tugas bersama untuk kita ikut ambil andil dalam pelestarian hutan adat terutama potensinya yang begitu besar dalam pengurangan emisi karbon dan mencegah perubahan iklim," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini