Sukses

Tilas Syiar Islam Syeh Agil Al Mahdali dari Pesisir Donggala

Mengenai penyebaran Islam di Lembah Palu yang dulu mencakup tiga wilayah yakni Palu, Sigi, dan Donggala, nama Sayd Agil Al Mahdali disebut sebagai salah satu tokoh penting

Liputan6.com, Donggala - Mengenai penyebaran Islam di Lembah Palu yang dulu mencakup tiga wilayah yakni Palu, Sigi, dan Donggala, nama Sayd Agil Al Mahdali disebut sebagai salah satu tokoh penting yang awal membawa ajaran tersebut. Jejak saudagar Arab itu hingga kini masih dapat ditemui di Desa Wani II, Donggala.

Donggala pada tahun 1810-an sedang masyhur sebagai penghasil kopra. Komoditi tersebut kala itu juga menarik kedatangan seorang saudagar Arab. Ia berlabuh di pesisir Donggala, berharap bisa membuka jalur dagang dengan penduduk-penduduk lokal yang kaya dengan pekebunan kelapa.

Orang Arab itu berdasarkan penelitian sejarah menjadi orang Arab pertama yang menginjakkan kaki di Donggala. Lokasi itu sekarang masuk dalam Desa Wani II, Kecamatan Tanantovea.

Dia adalah Sayd atau Syeh Agil Al Mahdali, seorang arab dari Yaman Selatan yang karena penerimaan yang baik dari masyarakat kala itu akhirnya menetap dan membawa anggota keluarganya. Tokoh kharismatik itu bagi penduduk Desa Wani II hingga kini dikenal dengan sebutan ‘Tua Janggo’ yang berarti orang tua berjanggut panjang.

Peneliti dan dosen sejarah Universitas Tadulako (Untad), Haliadi Sadi yang pernah meneliti sejarah Islam di Lembah Palu mengungkapkan, Said Agil Al Mahdali adalah tokoh penyebar Islam periode kedua saat itu yang menekankan pada ideologi Islam.  Dia menjadi penyebar sesudah periode mistis dan sebelum masuknya periode Islam ilmu pengetahuan.

“Syeh Agil Al Mahdali menyebarkan ajaran Islam tentang syariat dan akhlak untuk penduduk setempat. Itu sebelum masuknya periode ketiga; Islam ilmu pengatahuan,” kata Haliadi, Selasa (5/5/2020).

Interaksi kuat Syeh Agil dengan warga lokal membuat Islam perlahan menyebar luas di daerah pesisir tersebut bahkan setelah tokoh berjuluk ‘tua janggo’ itu wafat dan dimakamkan di Desa Wani II antara tahun 1810 – 1850-an.

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jejak Syeh Agil dalam Artefak

Setelah Syeh Agil wafat, Islam tetap menjadi agama mayoritas penduduk Desa Wani. Percampuran budaya dan “kawin-mawin” antara pendatang arab dengan warga lokal semakin melanggengkan islam di daerah itu.  Hingga kini jejak masuk dan menyebarnya Islam dari Pesisir Donggala tersebut masih awet berada di Desa Wani II, yang dahulu dikenal dengan nama Desa Malambora.

Selain kompleks makam Syeh Agil dan keluarga, di desa itu juga berdiri Masjid Al Amin yang dibangun atas inisiatif cucu Syeh Agil, yakni Saripa Isa Binti Sayd Yahya Al Mahdali pada 2 Desember tahun 1906. Kala itu Saripa mewakafkan tanahnya seluas 45x45 meter untuk pembangunan masjid itu, setelah langgar milik kakeknya yang lebih dulu dibangun di pesisir Wani rusak.

“Surat wakaf tanah untuk masjid Al Amin dari cucu Syeh Agil masih tersimpan hingga sekarang. Biaya pembangunannya juga dibiayai cucu Syeh Agil dan dikerjakan oleh penduduk lokal,” kata Haliadi lagi.

Haliadi bilang, dulunya dinding masjid itu adalah kayu Ulin. Namun telah berganti beton setelah mengalami kerusakan.

Masjid yang didominasi warna hijau dan putih itu berdasarkan penelitiannya kental dengan gaya arsitektur China seperti tampak pada bentuk atap dan ukiran-ukiran bagian luarnya. Sedangkan bagian dalamnya corak Arab sangat dominan pada ukiran maupun lukisan kaligrafinya.

Hingga kini masih menjadi misteri bagaimana gaya arsitektur Cina itu bisa memengaruhi masjid berusia ratusan tahun itu. Uniknya gaya seperti itu di Sulawesi Tengah disebut hanya dimiliki Masjid Al Amin. Arsitektur macam itu menurut peneliti mirip dengan corak masjid-masjid tua di Jawa Timur.  Jalur dagang kopra yang hingga ke Surabaya waktu itu diduga mengilhami pemilihan bentuk masjid itu.

“Belum ada penelitian khusus tentang corak masjid itu, tapi waktu itu kopra-kopra asal Donggala banyak dikirim ke pengepul asal China di Surabaya. Hubungan itu yang diduga memengaruhi corak Masjid Al Amin,” dia menuturkan.

Masjid itu sampai sekarang masih digunakan warga setempat beribadah dan masuk dalam cagar budaya Pemkab Donggala.

3 dari 3 halaman

Tetap Kokoh Diterjang Tsunami Tahun 2018

Masjid Al Amin juga sohor sebagai saksi bisu tsunami yang menerjang pesisir Donggala dan Palu pada September tahun 2018 silam. Bangunan itu selamat bahkan tidak mengalami kerusakan berarti meski berada hanya sekitar 100 meter dari bibir pantai.

Sementara rumah-rumah warga di sekitarnya luluh lantak. Pun dengan kompleks makam keluarga Syeh Agil Al Mahdali yang tetap utuh.

Perbaikan makam dan masjid bersejarah itu telah dilakukan pascabencana pada tahun 2019 lalu tanpa mengubah bentuk awalnya. Meski begitu Pemerintah Kabupaten Donggala diminta lebih memperhatikan situs-situs bersejarah tersebut.

Pasalnya kondisi kompleks makam tampak belum dirawat maksimal sebagai peninggalan penting. Bahkan peneliti mengungkap sejauh ini kompleks makam keluarga Syeh Agil tersebut belum masuk dalam cagar budaya.

“Sejauh ini baru masjid itu yang terdaftar sebagai cagar budaya, sedangkan makam belum. Kalau makam itu sudah terdaftar mungkin pengelolaan dan perawatannya bisa lebih baik,” ujar Haliadi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.