Sukses

Semangat Anak-Anak Korban Gempa Donggala Gambarkan Cita-Cita Usai Setahun Bencana Terjadi

Di antara impian anak-anak korban gempa Donggala, profesi dokter menjadi yang terfavorit.

Liputan6.com, Donggala -  Ratusan anak berseragam biru-biru dari SMP Negeri 1 Sirenja di Donggala, Sulawesi Tengah, bergegas masuk ke kelas saat 30 inspirator sedang berbagi tugas mengajar pada Kamis (21/11/2019).. Mereka langsung menempati kursi yang ditata membentuk huruf U.

Salah satu kelas menarik perhatian saya lantaran dinding triplek yang berlubang di beberapa tempat. Lokasinya berada di antara jejeran kelas yang lama dan bangunan kelas baru. Saat udara lembab dengan cuaca panas, lubang-lubang itu sedikit mengademkan. Tetapi bila hujan tiba, cipratan air akan masuk ke kelas dan mengganggu pembelajaran.

Kelas tersebut merupakan salah satu tempat belajar sementara yang dibangun sekitar tiga bulan pasca-gempa disertai tsunami di beberapa titik terjadi pada 28 September 2018. Sirenja sendiri berlokasi tak jauh dari titik pusat gempa besar itu.

Kondisi perabot di dalamnya tak berbeda jauh. Sebagian meja sudah copot beberapa papannya, sementara kursinya ada yang sudah tak jejak. Walau begitu, ruangan kelas tersebut masih aktif dipakai belajar oleh sekitar 38 siswa kelas VIII.

Begitu pula saat mereka mengikuti Kelas Inspirasi yang diisi tiga karyawan P&G itu. Ketiganya didampingi seorang petugas lapangan yang berasal dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik (Save The Children). 

Kelas Inspirasi, begitu sebutannya, digelar dalam rangka merayakan 30 tahun P&G beroperasi di Indonesia. Sebanyak 30 karyawan dari berbagai bidang terlibat mengisi kelas. Menurut LV Vaidyanathan, Presiden Direktur P&G Indonesia, kegiatan di Donggala tersebut tak sekadar menjadi kegiatan kesukarelawanan, tetapi lebih dalam dari itu.

"Ini cara kami mengembalikan yang telah kami dapat kepada masyarakat. Kami harap orang-orang lebih berempati pada apa yang dilalui para murid akibat bencana itu di sini. Tetapi juga, kami harap bisa menyediakan sesuatu untuk membangkitkan harapan mereka ke depannya," ujar LV.

Setelah perkenalan singkat, para siswa diajak bermain permainan tradisional dan mendengarkan kisah pribadi para inspirator. Kebanyakan malu-malu. Wajahnya bersemu merah saat diajak berjabat tangan. 

Ketika pertanyaan dilontarkan, mayoritas yang menyahut tak berani mengaku, langsung saling tunjuk. Meski begitu, mereka tetap sopan saat di hadapan kakak-kakaknya yang lebih tua.

Polah ABG Donggala makin ekspresif saat diminta para inspirator menggambarkan cita-cita mereka dalam papan mimpi. Meski disebut papan, wujud sebenarnya adalah kertas karton tipis putih yang lebar. Mereka diberikan koran atau majalah untuk mencari gambar atau tulisan yang mewakili asa.

Saat melakukannya berkelompok, sikap malu-malu yang ditunjukkan di awal nyaris tak terlihat lagi. Antarteman saling ribut, ada pula yang berebut gunting lantaran cuma tersedia satu di masing-masing grup yang berisi sekitar 10 siswa. Ada yang sibuk bicara, ada pula yang sibuk mencari gambar paling pas.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Masih Trauma

Bermacam cita-cita mereka. Salah satu profesi yang banyak diimpikan mereka adalah menjadi dokter. Dalam notes yang dibagikan, salah satu anak perempuan menuliskan alasannya. 

"Alasannya, karena dapat menolong banyak orang dan menyelamatkan yang kesusahan dan berpenyakitan," tulis Ananta Ramadani.

Profesi lain yang juga banyak peminat adalah pemain bola dan penyanyi. Di luar itu ada pula yang berkeinginan menjadi pembuat perahu, model, pilot, hingga detektif. Keceriaan mewarnai wajah mereka selama proses menggambarkan mimpi yang ingin diraih.

"Kalian senang tidak?" tanya seorang kakak yang dijawab teriakan senang.

"Kalau mau mencapai cita-cita harus apa?" sambungnya. "Belajar," koor anak-anak Donggala itu. 

Di akhir pertemuan, mereka diminta berjanji untuk berjuang mewujudkan cita-cita yang sudah disampaikan. Anak-anak SMP itu pun kompak mengiyakan.

Tak ada gurat kekhawatiran terlihat di wajah mereka. Semuanya terlihat normal. Meski begitu, Kepala SMPN 1 Sirenja Umar mengatakan bahwa trauma itu masih ada. Hal itu terlihat saat gempa susulan terjadi di wilayah tersebut. Guncangan kecil saja bisa membuat mereka lari tunggang langgang.

"Bukan lagi berlarian di tempat seperti ini, tapi sampai lari ke rumah," katanya.

Para orangtua pun demikian. Memori buruk soal gempa membuat sebagian dari mereka bersikap reaktif. "Padahal gempa kecil saja, orangtua langsung datang ke sekolah jemput anaknya," imbuhnya.

Pihak sekolah berusaha mengatasi trauma itu dengan memberi penguatan. Menurut Umar, anak-anak kerap diingatkan hal apa saja yang harus dilakukan saat gempa terjadi. Utamanya soal menyelamatkan diri dengan aman. 

"Saat berlarian misalnya, lihat-lihat tempat mana yang aman, tidak menabrak, biar mereka tak celaka," katanya.

Pembekalan juga sempat diberikan NGO yang bertugas di sana lewat program disaster reduction. Tujuannya agar para siswa lebih tangguh menghadapi bencana. Namun, isu kebencanaan itu belum menjadi program rutin.

Untuk itu, pihak LSM mendekati pemerintah provinsi agar program tersebut masuk dalam kurikulum setiap sekolah di Sulawesi Tengah. Menurut M Mahyuddin Hatma, Community Engagement Manager Save The Children Donggala, kesadaran itu juga mulai muncul setelah melihat Palu dan Sulawesi Tengah secara keseluruhan termasuk daerah rawan bencana.

"Sehingga nanti bisa dilakukan reguler," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Rencana Masa Depan

Perihal bangunan sekolah yang tak layak lagi, Kepala SMPN 1 Sidareja mengungkapkan rencana pemindahan tempat. Keputusan itu diambil lantaran lokasi sekolah kini hanya berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai. 

Karena itu pula, sekolah tak merenovasi bangunan yang rusak. Mereka bertahan dengan bangunan sementara yang kini sudah mulai tak utuh. Kalau pun ada bangunan baru, itu merupakan lanjutan proyek pembangunan yang sempat terhenti akibat bencana gempa.

Sementara itu, lahan untuk sekolah baru sudah disiapkan. Jaraknya sekitar satu kilometer dari lokasi yang kini dipakai. Meski begitu, Umar mengaku belum diketahui pasti kapan pemindahan dilakukan. Semua tergantung Pemda setempat dan ketersediaan dana.

"Yang dipakai ini dana hibah yang sebagian juga dari Pemerintah Batam. Perkiraan, sampai dua tahun begitu, ini (sekolah) masih terpakai. Kita rencana akan bangun enam kelas dulu, jadi belajar di dua tempat dulu ke depannya," kata Umar.

 

SMPN 1 Sirenja termasuk sekolah terbesar di wilayah itu. Jumlah siswanya kini mencapai 615 anak, berkurang sedikit dari sebelum gempa sekitar 650 karena sebagian anak-anak ikut mengungsi ke kampung halaman orangtuanya. 

"Di awal itu kita tidak bilang dia keluar, tapi tidak juga diketahui beritanya anak-anak itu di mana. Selama beberapa bulan cari info. Dua bulan setelah gempa baru ketahuan ada yang di Bontang, Samarinda, Makassar, Gorontalo. Mereka lanjut sekolah di sana," tuturnya.

Sementara menunggu kepastian, sekolah memanfaatkan bantuan yang datang dari pihak swasta, termasuk dari P&G. Disalurkan melalui Save The Children, donasi itu akan dipergunakan untuk membangun empat ruang kelas sementara, merenovasi lima kelas lama, dan empat unit toilet bagi anak-anak.

"Kami sempat menggelar konser amal yang dihadiri Anggun, Maudy Ayunda, dan Yura Yunita. Kami berhasil mengumpulkan donasi hingga Rp4 miliar. Kami berikan donasi kepada partner dan mereka menyalurkannya untuk Lombok, Palu, dan Donggala," jelas LV. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.