Sukses

Setara Institute Desak Polri Tindak Tegas Pelaku Razia Buku di Makassar

Setara Institute juga mendesak Kapolri membuat kebijakan turunan yang memandu aparat Polri di lapangan agar tidak melakukan tindakan melawan hukum dan melanggar konstitusi.

Liputan6.com, Bandung - Setara Institute menentang keras razia buku dan pembiaran aparat negara terhadap tindakan main hakim sendiri atas dasar paranoia pada pemikiran-pemikiran filsafat, politik, dan gerakan kebudayaan. Hal itu diungkapkan Setara menanggapi peristiwa razia buku 'kiri' yang digelar di toko buku Gramedia Trans Studio Mall Makassar, Sabtu, 3 Agustus 2019.

Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, paranoia terhadap komunisme kembali menyasar kebebasan sipil dan hak atas kebudayaan warga. Dalam catatan Setara, sekurangnya sudah dua minggu berturut-turut razia buku yang dituding berbahaya karena bermuatan komunisme terjadi di masyarakat.

Pertama, dua mahasiswa di Probolinggo pada 29 Juli 2019, ditangkap Polsek Kraksaan karena menggelar lapak buku yang berisi buku biografi tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Buku tersebut diamankan lalu diambil alih oleh MUI.

Teranyar, aksi razia juga dilakukan oleh sekelompok orang di Makassar pada Sabtu, 3 Agustus 2019, terhadap sejumlah buku yang berisi ilmu pengetahuan tentang paham Marxisme termasuk sejumlah buku ajar.

Menurut Ismail, tindakan aparat kepolisian dan juga kelompok vigilante mencerminkan ketidakpahaman pada muatan buku dan konsep komunisme serta Marxisme yang menjadi alasan tindakan melawan hukum yang mereka lakukan.

"Tindakan ini jelas bertentangan dengan komitmen penegakan HAM, terutama kebebasan berpikir, hak milik pribadi, dan jaminan hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan," kata Ismail dalam pernyataan pers yang diterima Liputan6.com, Senin (5/8/2019).

Ismail menambahkan, Setara Institute juga menegaskan, razia buku yang dilakukan tersebut merupakan pelanggaran serius atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-VIII/2010, No. 13/PUU-VIII/2010, dan No. 20/PUU-VIII/2010, yang pada intinya mencabut keberlakuan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

"Putusan tersebut menegaskan bahwa pelarangan buku hanya dapat dilakukan setelah melewati proses peradilan. Oleh karena itu, segala tindakan pelarangan buku oleh aparat keamanan dan oleh kelompok masyarakat adalah tindakan extra-judicial yang tidak dapat dibenarkan," ujar Ismail.

Setara Institute juga mendesak Kapolri membuat kebijakan turunan yang memandu aparat Polri di lapangan agar tidak melakukan tindakan melawan hukum dan melanggar konstitusi. Kapolri juga diminta mengambil tindakan hukum pada kelompok masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri.

"Negara tidak boleh membiarkan kelompok masyarakat melakukan razia dan pemberangusan ilmu pengetahuan. Jika dibiarkan, maka sama saja elemen negara merestui tindakan pelanggaran HAM," kata Ismail.

Simak video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.