Sukses

Menyambangi Watu Pinawetengan, Menikmati Pagi dari Atas Bukit Leluhur Minahasa

Watu Pinawetengan dahulu menjadi tempat pertemuan leluhur Minahasa (apo) yang digunakan untuk menentukan sesuatu.

Liputan6.com, Minahasa - Diceritakan saat pemukiman awal orang Minahasa (Tu’ur Intana) telah dipenuhi Toar dan Lumi’muut (suku asli Minahasa), datanglah berbagai bencana. Bencana-bencana ini ibarat peringatan agar mereka mencari daerah pemukiman baru untuk meneruskan kehidupan.

Setelah mencari-cari, tibalah keturunan Minahasa pada sebuah bukit atau tonduraken, di tempat ini terdapat baru besar yang kemudian diberi nama Watu Pinawetengan. Pada batu inilah kebudayaan awal Minahasa terbentuk.

Berlokasi tidak jauh dari destinasi wisata Bukit Kasih, atau tepatnya di Desa Pinabentengan, Tompaso, Minahasa, Watu Pinawetengan bukan sekadar onggokan batu tak bermakna.

Ari, juru pelihara Situs Watu Pinawetengan saat ditemui Liputan6.com mengatakan, secara etimologi Watu Pinawetengan berasal dari kata dari bahasa Minahasa, Watu artinya batu, sedangkan Pinawetengan bermakna tempat pembagian. Watu Pinawetengan dahulu  menjadi tempat pertemuan leluhur Minahasa (apo) untuk menentukan sesuatu. Musyawarah terpenting yang pertama kali dilakukan adalah pembicaraan mengenai pembagian wilayah yang akhirnya menghasilkan sub-etnis minahasa.

"Pembagian tersebut terdiri dari 9 suku, yang setiap suku mempunyai bahasa dan wilayahnya masing-masing.  Sembilan suku tersebut antara lain suku Tontempoan, suku Tombolo, suku Tonsea, suku Tolowur, suku Tonsawang, suku Pasang, suku Penosakan, suku Bantik, dan suku Siau," ungkap Ari menjelaskan.

Uniknya, hasil pembagian wilayah dan etnis suku Minahasa yang dilakukan di Watu Pinawetengan tersebut  digoreskan pada batu.

"Banyak para peneliti yang datang ke sini, meneliti goresan-goresan yang terterah di batu. Mereka mengatakan ini bahasa simbol, namun belum ada yang berhasil menterjemahkannya," tutur Ari menanjutkan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Cagar Budaya

Selain awalnya digunakan sebagai tempat bermusyawarah membagi wilayah suku Minahasa, Watu Pinawetengan juga digunakan sebagai tempat pertemuan keluarga Minahasa. Hal ini dilakukan sebagai ajang untuk mempererat tali kekeluargaan antar sesamanya.

Dari pertemuan-pertemuan tersebut, tercetus beberapa amanat, antara lain Masawawangan yang artinya cipta rasa saling tolong menolong, Masasan yang artinya cipta rasa persatuan dan kesatuan, dan Malioliosan (baku-baku bae) yang berarti saling berbuat baik.

Menurut Ari, ketiga amanat tersebutlah yang kemudian menginspirasi Sam Ratulangi, sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, mencetuskan slogan 'Si Tou Timou Tomou Tou' yang memiliki makna, orang hidup bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk menghidupkan orang lain.

Tidak jauh dari Watu Pinawetengan, terdapat batu-batu lain, yaitu Watu Kopero dan Watu Siouw Kurur. Kedua batu ini menjadi tanda bahwa di tempat tersebut terdapat makam para leluhur suku Minahasa. Lokasinya yang berada di dataran tinggi membuat kawasan ini sejuk dan masih sangat alami. 

Mengingat arti penting Watu Pinawetengan sebagai awal mula peradaban suku Minahasa di Nusantara, pada 1 Desember 1974, HV Worang, sebagai Gubernur Sulawesi Utara pada saat itu meresmikan berdirinya Situs Watu Pinawetengan. Kemudian berdasarkan UU No 11 tahun 2010, Situs Watu Pinawetengan diangkat menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi pemerintah.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.