Sukses

Jatuh Bangun Mendidik Belasan Penyandang Disabilitas di Gubuk Ujung Hutan

Guru sering kali harus menjemput siswa penyandang disabilitas di rumahnya setiap pagi bila tidak ingin mereka hanya masuk seminggu sekali.

Liputan6.com, Kendari - Meski hanya berupa gubuk ujung hutan, sekolah yang terletak di ujung rimba di Kelurahan Anggoeya, Kecamatan Andounohu, Kendari, mampu menumbuhkan asa anak-anak penyandang disabilitas.

Setiap hari, orangtua siswa mengantar anak-anaknya ke sekolah itu. Alasannya, letak yayasan jauh dari permukiman warga dan butuh 30 menit jika berjalan kaki.

Tidak hanya itu, siswa penyandang disabilitas itu tidak bisa datang berjalan kaki sendiri. Mereka dikhawatirkan bisa tersesat jika dibiarkan berjalan sendiri.

"Awalnya, (yang belajar) hanya tujuh orang saja. Seiring waktu sudah ada belasan," ujar salah satu guru, Yanggi Yaddi, Jumat, 2 Maret 2018.

Kalau mereka tidak datang, Yanggi mengatakan, biasa mereka langsung dijemput dan diantar kembali ke rumahnya. Guru-guru yang punya kendaraan kadang langsung menuju rumah orangtua siswa untuk mengajak anak mereka bersekolah.

"Kita juga kadang biarkan mereka datang sendiri. Tapi, kalau nanti mau belajar dan mau datang sendiri, biasanya sampai seminggu sekali mereka datang," ujar wanita yang menamatkan kuliahnya di Universitas Lakidende itu.

 

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

14 Tahun Berbakti

Sekolah tersebut dirintis oleh pasangan suami istri Ninis Sudarwati dan Yapsin Yaddi. Sejak 2004, Yapsin Yaddi sudah mengajar anak-anak penyandang disabilitas. Dengan sabar, ia tidak pernah mengeluh.

Hanya berbeda setahun dengan istrinya, Ninis Sudarwati diangkat sebagai guru pada 2005. Hingga saat ini, Yapsin Yadi mengajar di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

Berjarak tiga jam perjalanan via kapal cepat dari Kota Kendari, di kabupaten itu, Yapsin Yaddi sudah mengajar di sekolah luar biasa hingga saat ini. Sudah ratusan anak dengan kemampuan terbatas menamatkan pendidikan di SLB Anugerah Hati yang dikelolanya.

"Bapak dan saya PNS, jadi punya gaji. Gajinya yaa selain untuk anak-anak dan dipakai sendiri, juga untuk murid-murid disabilitas ini," ujar Ninis.

Ia juga mengatakan biaya untuk membangun sekolah berasal dari kocek pribadi. Belum ada donatur atau LSM yang membantu.

"Gaji saya sama bapak dipakai patungan untuk bangun gubuk ini. Mudah-mudahan nanti ada yang berbaik hati menjadikan sekolah ini permanen," ujar guru SDN 11 Poasia Kendari itu.

3 dari 3 halaman

14 Guru Perempuan

Hingga saat ini, Yayasan Kusuma Bangsa Indonesia yang menaungi sekolah untuk siswa difabel itu memiliki 14 orang guru. Kurang satu orang lagi untuk menyamai jumlah siswa 15 orang.

Semua gurunya adalah kaum perempuan. Alasannya, perempuan lebih sabar dan telaten. Perempuan juga tidak gampang mengeluh menghadapi kelakuan murid disabilitas yang tak biasa.

"Mereka rela, meskipun gajinya tak seberapa. Hanya cukup untuk sewa ojek atau bensin selama sebulan. Kemampuan mereka hampir tak dibayar," ujar Ninis.

Meski dibayar seadanya, guru-guru itu berlatar belakang sebagai pendidik. Ada pula jebolan mahasiswi kejuruan yang tidak memiliki dasar ilmu mendidik.

"Mereka meskipun bergaji kecil, tapi tetap setia. Tujuannya satu, bagaimana anak-anak ini merasakan bangku sekolah sama seperti anak normal lainnya," ucap Ninis.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.