Sukses

Satai Lilit, Kuliner Kuno dari Bali

Di setiap perayaan nikah umat Hindu di Bali, satai lilit selalu tersaji di antara menu lainnya.

Liputan6.com, Denpasar - Pernah dengar satai lilit? Ya, para wisatawan bisa temukan satai ini saat berlibur di Pulau Dewata, Bali.

Campuran ikan tuna giling dan kelapa parut yang dipadukan dengan bumbu genep khas Bali, kemudian bahan itu ditempelkan pada gagang pohon kelapa yang telah dipotong kecil pipih. Setelah itu dibakar.

Jenis kuliner ini memang sangat membuat ketagihan yang sudah pernah memakannya, satai lilit juga merupakan warisan turun-temurun sejak berabad-abad lamanya. Di setiap perayaan nikah umat Hindu di Bali, satai lilit selalu tersaji di antara menu lainnya. Ini membuktikan jika satai lilit begitu lekat dengan kearifan lokal di Pulau Dewata.

Tak sulit jika ingin menikmati satai lilit apabila para pelancong telah tiba di Denpasar, Bali. Dengan paduan nasi putih, sup bening, tum ayam dan pepes ikan seharga Rp 17 ribu, wisatawan sudah bisa menikmati paket makan satai lilit di Jalan WR Supratman, Tohpati, Kota Denpasar.

Tempat tersebut adalah lokasi makan yang sering dikunjungi beberapa artis papan atas saat ke Bali. Di antaranya, komentator kuliner Bondan Winarno, Tyas Mirasih, dan masih banyak lainnya.

Bahkan, menurut pengelola warung satai lilit, Nengah Putradi rasa satai lilit buatannya mendapat pujian dari Bondan Winarno. Sate lilit buatannya termasuk enak yang pernah dimakan Bondan.

"Banyak artis yang datang ke sini, katanya mereka ketagihan sama satai lilit punya kita yang rasanya khas," ucap Nengah saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa, 20 Desember 2016.

Menurut Nengah, satai lilit sampai hari ini masih terus dilestarikan oleh masyarakat Bali. Makanan khas yang berasal dari Buleleng itu memang menjadi makanan pilihan nomor satu masyarakat Bali di meja makan mereka.

Rasa ikan tuna segar yang manis, dipadukan kelapa parut gurih dan campuran bumbu genep semakin membuat rasa satai lilit semakin digemari di berbagai kalangan.

"Dari anak kecil sampai orang tua pasti suka satai lilit, karena rasanya gurih dan sedikit pedas membuat nafsu makan makin bertambah. Satai lilit jarang digunakan untuk upacara besar, karena biasanya kalau hari besar kita gunakan babi atau bebek," ujar Nengah.

Boleh dibilang, satai lilit tak terlepas dari kearifan lokal Bali. Dan, benarkah satai lilit berkaitan dengan masuknya agama Hindu di Bali?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sejak Awal Abad Masehi

I Ketut Pramana, pegiat kuliner tradisional Bali menceritakan bahwa makanan ini pertama kali dibawa ke Pulau Dewata pada awal abad Masehi.

"Satai lilit itu ada di Bali ketika Hindu datang dan masuk ke Bali. Itu sekitar abad pertama," tutur Pramana.

Kendati begitu, satai lilit tidak ada kaitannya dengan persembahan dalam upacara keagamaan di Bali, melainkan soal terminologi dapur belaka. Perkembangan terbaru saja satai lilit berbahan dasar ikan laut dan berkembang di pesisir.

"Saya kira motifnya ekonomi saja, karena tidak ada hasil laut yang dipersembahkan ke langit," kata dia.

Pramana menjelaskan, satai lilit berasal dari kata "jatah" atau kata yang berarti matahari atau surya yang bersifat maskulin. Satai ini juga berasal dari kata "satt" yang mendapatkan akhiran "ang"‎ yang artinya murni. "Jadi, satai itu sebenarnya bersifat maskulin dari surya dan bersifat purusa atau lingga (simbol maskulin)," ujar dia.

Ia menceritakan, di Bali terdapat banyak upacara besar keagamaan, dan ada tiga kategori makanan yang bisa digunakan. Tiga kategori, yakni kuliner untuk upacara, kuliner untuk pesta dan kuliner menu harian.

Namun, satai lilit tak termasuk dalam kuliner upacara dan kuliner untuk pesta. Jika pun kini satai lilit disajikan di tengah pesta pernikahan misalnya, itu lantaran modifikasi dan untuk merespek para tamu undangan saja.

"Satai lilit sekarang ini kan bahan dasarnya ikan laut. Saya belum pernah dengar hasil laut dipakai sarana untuk persembahan," kata dia.

Pramana menuturkan, jika persembahan itu ditujukan ke langit, maka yang menjadi bahan dasarnya adalah bebek. "Bebek itu mewakili sifat maskulin karena dia bisa berkumpul, bergaul dan lain sebagainya," ucap dia.

Sementara itu, jika persembahan itu untuk bumi, maka kuliner yang menjadi persembahanya adalah berbahan dasar ayam dan babi. "Karena ayam dan babi itu sangat mudah diadu dan dia mewakili sifat maskulin. Satu lagi yang untuk persembahan bisa untuk langit dan bumi adalah penyu," tutur Pramana.

Penasaran dengan rasa satai lilit? Bali masih berada di negara Indonesia, jadi siapkan ranselmu untuk segera berlibur ke Pulau Dewata.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini