Sukses

Mendagri Tunggu KPU Soal Calon Tunggal Bisa Ikut Pilkada 2015

Pemerintah tidak akan ikut campur dalam proses mekanisme atau tahapan pemilihan calon tunggal dalam pilkada.

Liputan6.com, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon tunggal untuk maju di Pilkada membuka peluang 3 daerah yaitu Kabupaten Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara tidak ditunda pada 2017. Meski begitu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyerahkan keputusan untuk menunda atau melanjutkan pilkada kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Prinsipnya pemerintah menunggu keputusan rapat KPU terkait putusan MK soal calon tunggal. Pemerintah memahami bahwa pelaksanaan pilkada serentak ini, tahapannya diatur Undang-Undang dan peraturan KPU," ujar Tjahjo ketika dikonfirmasi, Rabu (30/9/2015).

Tjahjo mengatakan, dengan adanya putusan MK, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mekanisme pemilihan nanti. Karena itu, KPU diingatkan agar dapat mengakomodir hak konstitusional para calon tunggal.

"Pemerintah pada prinsipnya ikut dahulu apa yang menjadi keputusan KPU dan Keputusan MK yang sifatnya mengikat. Yang penting pasangan calon tunggal diakomodir hak konstitusionalnya, di mana KPU melaksanakan keputusan MK tersebut," tegas Tjahjo.

Mantan Sekjen PDIP itu menuturkan, dia tidak akan ikut campur dalam proses mekanisme atau tahapan pemilihan calon tunggal dalam pilkada.

"Pemerintah tidak mencampuri dulu apa yang akan dibahas dan diputuskan KPU," pungkas Tjahjo.

Usai putusan MK, KPU mengadakan rapat pleno pada Selasa 29 September 2015 sore hingga malam. Meski demikian, belum ada keputusan apapun dari KPU. Menurut Komisioner KPU Arief Budiman, hal itu lantaran ada banyak hal yang akan dibahas terkait hasil putusan MK.

MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 terkait calon tunggal, yang mana disebutkan daerah yang hanya ada satu pasangan calon (paslon) tetap dapat melaksanakan Pilkada serentak 2015.  MK mengatur, pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom setuju atau tidak setuju.

Dalam pertimbangan majelis hakim, pilkada merupakan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Artinya, pilkada harus menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.

‎Majelis hakim juga menimbang, bahwa dalam UU Pilkada mensyaratkan terselenggaranya pilkada dengan syarat minimal telah membuat kekosongan hukum dan tidak memberi solusi. Maka hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada, di mana kedaulatan rakyat jadi terlanggar. (Mvi/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.