Liputan6.com, Jakarta Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun, yakni 1825 hingga 1830, bukanlah sekadar pemberontakan spontan, melainkan ledakan dari akumulasi ketidakpuasan yang telah mengendap puluhan tahun.
Konflik terbesar yang pernah dihadapi Belanda di Nusantara ini lahir dari rangkaian peristiwa yang saling berkelindan, dimulai dari eksploitasi ekonomi sistematis, berlanjut pada degradasi moral keraton, hingga mencapai puncaknya dalam semangat spiritual-religius yang mengakar kuat dalam tradisi Jawa-Islam.
Kondisi sosial-politik menjelang 1825 mencerminkan situasi yang mengkhawatirkan. Setiap kebijakan menambah beban yang sudah mencapai titik jenuh. Rakyat Jawa menjerit. Dalam konteks inilah, sosok Pangeran Diponegoro muncul sebagai katalisator yang menyatukan berbagai elemen masyarakat dalam satu gerakan perlawanan.
Advertisement
Era Daendels: Awal Mula Eksploitasi Sistematis
Titik awal Perang Jawa sebenarnya telah muncul pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Menurut Dr. Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Daendels ini orang yang pertama memberi efek paling signifikan bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Dia punya ambisi mempertahankan Jawa dari serangan Inggris dengan membuat jalan besar itu, jalan poros Anyer sampai Panarukan. “Itu menimbulkan beban penderitaan rakyat yang luar biasa memanfaatkan elit pribumi untuk menindas rakyat," katanya dalam wawancara dengan Liputan6.com di Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta, pada Minggu (28/9/2025).
Kesengsaraan demi kesengsaraan rakyat makin menjadi-jadi dengan kebijakan yang eksploitatif. Kebijakan Daendels yang paling kontroversial dan berdampak jangka panjang adalah penjualan tanah di Jawa Timur kepada pengusaha Tionghoa.
"Kemudian orang-orang Tionghoa ini selama menduduki tanah ini juga melakukan banyak eksploitasi kepada rakyat, dan orang-orang Tionghoa dimanfaatkan untuk berhadapan langsung dengan rakyat," jelas Margana.
Keputusan ini menciptakan dinamika yang eksplosif. Pengusaha Tionghoa seperti keluarga Han yang membeli tanah Besuki-Probolinggo terpaksa melakukan eksploitasi berlebihan untuk melunasi utang kepada pemerintah kolonial. Akibatnya, sentimen anti-Tionghoa mulai tumbuh, yang kemudian memicu pemberontakan "Kepruk Cino" di bawah kepemimpinan seorang Demang dari Muneng Tengger.
Yang sangat disayangkan dari kebijakan ini adalah bahwa masyarakat Tionghoa, yang sebenarnya juga korban dari sistem kolonial, dipaksa berperan sebagai "wajah" eksploitasi langsung terhadap rakyat pribumi. Hal ini menciptakan konflik horizontal yang menguntungkan pihak kolonial, karena kemarahan rakyat teralihkan dari penjajah sebenarnya.
Meskipun Inggris pada akhirnya berhasil menggulingkan kekuasaan Daendels dengan mudah, pola eksploitasi yang telah dibangun justru menjadi lebih parah. Era Raffles dan gubernur-gubernur yang mengikutinya melanjutkan dan memperluas kebijakan yang telah memicu ketidakpuasan rakyat.
"Perlu saya bagi ada dua, satu terkait hal seluruh kondisi ekonomi sosial yang terjadi di masyarakat Jawa saat itu, saat pemerintahan Gubernur Jenderal Dandels, Raffles hingga Van Der Capellen, sampai nanti berujung ke Van Den Bosch ya, itu memang terjadi transformasi besar-besaran di Jawa," kata Budayawan Irfan Afifi yang diwawancarai secara terpisah melalui sambungan telepon pada Sabtu (27/9/2025).
Transformasi ini tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga mulai menggerogoti kedaulatan politik kerajaan-kerajaan Jawa. "Di kebijakan-kebijakan pertanahan yang begitu terasa ya, ini lanskap sosial ekonomi saat dijajah itu ya. Nanti ada Undang-Undang tentang penyewaan tanah, mulai muncul penambahan pajak, kemudian pembukaan lahan-lahan baru di desa-desa, yang semuanya itu disewakan, dan itu membuat situasi agraria di Jawa jadi sangat kacau," lanjut Irfan.
Advertisement
Pajak Tinggi dan Korupsi
Kontinuitas kebijakan eksploitatif ini mencapai puncaknya dalam sistem perpajakan yang semakin mencekik rakyat. Raden Adipati Ario Joyodiningrat dalam Sketsa Perang Jawa 1825 mencatat dengan detail berbagai jenis pajak yang memberatkan, antara lain pacumpleng (pajak pintu), grigajih (pajak orang), pengawang-awang (pajak pekarangan), pajigar (pajak kuda hingga kerbau), wilah welit (pajak sawah), pajongket (pajak pindah rumah)."
Sistem pajak ini begitu pervasif hingga menyentuh aktivitas sehari-hari yang paling sederhana. Bahkan memperbaiki gamelan atau mengecat, setiap 1 jung 50 duit dan memperbaiki kereta atau rakitan kuda setiap 1 jung f7.50 (gulden). Pajak-pajak ini bukan hanya memberatkan secara ekonomi, tetapi juga merendahkan martabat rakyat Jawa yang harus membayar hampir setiap aspek kehidupan mereka.
Joyodiningrat mencatat praktik korupsi yang sistematis. Misalnya, jika ada bupati, pangeran, atau priyayi yang meninggal, tanah bengkok yang mereka miliki statusnya digantung, ditahan di kantor Danurejan selama dua atau tiga tahun, belum diberikan atau diserah-terimakan kepada pengganti. Padahal pengganti mereka sudah ada. Adapun penghasilan tanah gantung itu menjadi uang pajak pemasukan kantong pribadi Patih Danurejo IV.
Korupsi ini berdampak langsung pada sistem pemerintahan desa, tingkat paling bawah yang bersentuhan langsung dengan rakyat. "Jika bekel tidak mau membayar (pajak tanah), posisi bekelnya akan dilepas digantikan orang lain yang sanggup membayar dengan jumlah tersebut. Itulah alasan yang membuat lama kelamaan terjadi perang di desa-desa," tulis Joyodiningrat.
Praktik ini menciptakan lingkaran setan di mana jabatan pemerintahan menjadi komoditas yang diperjualbelikan, bukan amanah untuk melayani rakyat. Para bekel dan pejabat desa yang mampu membayar "setoran" lebih tinggi akan memperoleh posisi, terlepas dari kapasitas atau integritasnya.
Sementara rakyat menderita dan birokrasi bawah terkorupsi, keraton sebagai pusat kekuasaan tradisional juga mengalami degradasi moral yang mengkhawatirkan. Irfan Afifi menggambarkan kondisi yang memprihatinkan. "Jadi saat itu dampak kerusakannya bukan hanya di masyarakat, tetapi juga di lingkungan keraton Diponegoro sendiri. Jadi, pangeran-pangerannya saat itu dibuat terlena oleh perempuan (diajari bejat), diajari kebudayaan barat, diajari mabuk, diajari kecurangan-kecurangan yang kemudian membuat pejabat keraton saat itu menjadi korup," jelasnya.
Degradasi moral ini bukan terjadi secara alami, melainkan hasil dari strategi kolonial yang sistematis untuk melemahkan resistensi elite tradisional. "Makin parah lagi, beberapa orang di lingkungan keraton menjadi penyedia perempuan-perempuan (istri orang) untuk dijadikan sebagai pemuas seksual bagi para residen dan keroco-keroconya,” lanjut Afifi.
Akumulasi dari semuanya adalah ketika pemasangan patok jalan di tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Sagimun MD dalam buku Pahlawan Dipanegara Berjuang, menjelaskan bahwa pada pertengahan tahun 1825 Patih Danurejo IV, yang sangat taat pada Belanda membuat kebijakan memperluas jalan melewati Tegalrejo, yang melalui tanah milik Pangeran Diponegoro tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada pemiliknya. Tanah-tanah itu kemudian dipasang patok kayu. Diponegoro melawan dengan mencabuti patok itu dan membuat tuntutan agar Patih dipecat. Tapi A.H. Smissaert (Residen Jogjakarta) menolak.
"Nah kondisi-kondisi sosial ini lah yang akhirnya, Pangeran Diponegoro meminta petunjuk harus melakukan apa. Jadi, Pangeran Diponegoro memiliki keistimewaan melalui spiritualnya, untuk meminta bimbingan dari Tuhan untuk melakukan tindakan apa di kondisi yang sedemikian parah," papar Afifi.
Diponegoro pun uzlah dan berkhalwat. Menyepi untuk untuk meminta bimbingan secara spiritual. Hasilnya, ia memutuskan mengangkat senjata melawan ketidakadilan tersebut. Dukungan dari rakyat pun membanjir. Keterlibatan berbagai lapisan masyarakat ini menunjukkan bahwa Perang Jawa bukan sekadar pemberontakan elite, melainkan sebuah gerakan populer yang menjangkau seluruh strata sosial.
Dan kemudian, Perang Jawa pun berkobar di mana-mana. Diponegoro menerapkan struktur militer Turki Ustmani. Nama-nama seperti Bulkiya, Barjumuah, Turkiya, dan lainnya dipakai di dalam pasukannya. Sejarah mencatat, perang ini telah merenggut nyawa 200.000 jiwa rakyat Jawa, 8.000 tentara Belanda dari Eropa dan 7.000 serdadu pribumi yang berpihak Belanda. Kerugian keuangan Belanda pun mencapai 20 juta Gulden.
Hingga akhirnya harus berakhir pada tahun 1830, ketika Pangeran Diponegoro dengan licik ditangkap dan diasingkan di Manado. Dan pada tanggal 8 Januari 1855, dalam usia 69 tahun, Sang Pangeran berpulang.
Dampak Kekalahan Diponegoro di Perang Jawa
Penangkapan Pangeran Diponegoro dan berakhirnya Perang Jawa pada 1830, bukan akhir dari semuanya. Perang yang melibatkan hampir seluruh elemen masyarakat Jawa, dari bangsawan, ulama, petani, hingga bandit, ternyata menjadi awal perubahan tatanan jawa.
Runtuhnya perlawanan Diponegoro membuka jalan bagi Belanda untuk memperkuat cengkeraman kolonialnya. Wilayah kerajaan menyusut, sistem birokrasi berubah, hukum adat diganti dengan aturan kolonial, dan para bupati yang sebelumnya berstatus penguasa lokal, kini hanya menjadi pegawai Belanda. Tak hanya politik, perang juga mengguncang sendi-sendi sosial, budaya, pendidikan, hingga agama masyarakat Jawa.
“Yang terjadi (pasca perang Jawa) adalah wilayah teritorial kerajaan dikurangi. Wilayah Mancanegara yang dulu masuk wilayah Jogja-Solo diambil oleh Belanda. Madiun, Banyumas, Kedu, semua dulu kan milik kerajaan, tapi kemudian diambil alih oleh Belanda,” jelas sejarawan Sri Margana, dalam wawancara di Fakultas Ilmu Budaya, Yogyakarta, pada Minggu (28/9/2025).
Lebih lanjut, Margana juga menjelaskan bahwa Belanda memiliki beberapa alasan terkait pengambilalihan wilayah Mancanegara. Pertama, karena raja-raja dinilai tidak cukup kuat lagi untuk bisa menguasai para Bupati di mancanegara itu. Kedua, untuk memperluas eksploitasi ekonomi. “Dan yang ketiga, Belanda ingin mengembangkan kebijakan ekonomi kolonial yang lebih luas terutama untuk mengembangkan perkebunan,” tambahnya.
Artinya, Perang Jawa tidak hanya kekalahan militer, melainkan awal dari pelemahan politik raja dan bangsawan Jawa. Seorang bupati yang awalnya sebagai raja kecil, menjadi pegawai kolonial saja. “Di bawah pemerintah Belanda, dia hanya pegawai kolonial yang nantinya bahkan digaji bulanan, tidak lagi menerima gaji berupa tanah,” kata Sri Margana menegaskan.
Selain itu, pemerintah Belanda juga menempatkan pegawai-pegawai di tingkat lokal, beberapa jabatan-jabatan administratif yang mengikuti model administrasi kolonial. Dengan begitu, tatanan feodal yang dulu menjadi ciri khas Jawa mulai bergeser ke sistem administratif kolonial. Meski peluang untuk naik jabatan terbuka melalui pendidikan, pada praktiknya jabatan tetap terkonsentrasi di kalangan priyayi.
“Walaupun begitu masih sulit bagi orang biasa untuk jadi Bupati, karena untuk syarat menjadi pejabat, antara lain Bupati, itu kan harus punya pendidikan yang diingini, persyaratan-persyaratan yang diingini dari pemerintah Belanda, dan yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah ala Eropa itu hanya anak-anak Bupati,” jelas Margana.
Advertisement
Intervensi Hukum Kolonial
Dominasi Belanda semakin nyata ketika hukum kerajaan pun diganti. Jika sebelumnya kerajaan memiliki aturan adat dan hukum sendiri, setelah perang hampir semua disesuaikan dengan kepentingan kolonial.
“Masalah kepemilikan tanah, sewa tanah kemudian pemanfaatan tanah, itu banyak termasuk bagaimana pejabat-pejabat di dalam pemerintahan desa di wilayah kerajaan itu hukum-hukumnya mulai dikembangkan berdasarkan kepentingan swasta kolonial di Belanda di Yogyakarta-Solo,” jelas Margana.
Meski demikian, Margana menjelaskan bahwa tidak setiap perubahan pada aspek hukum selalu negatif. Ada juga perubahan di sisi hukum yang menghadirkan dampak positif bagi masyarakat, terutama soal kepastian hukum.
“Misalnya undang-undang tentang pemerintahan desa, tentang bekel, tentang piagem, tentang macem-macem. Nah itu semua dikembangkan nyaris menjadi semacam hukum positif seperti yang diterapkan di wilayah kerajaan itu, karena orang-orang Eropa ingin mendapatkan lebih apa yang mereka sebut kepastian hukum yang positif. Jadi kalau orang salah itu hukumnya apa, jelas gitu,” tambahnya.
Hal itu dapat dilihat dari banyaknya orang yang terbantu dengan adanya aturan-aturan hukum positif ini. “Karena rakyat kecil lebih dilindungi secara hukum dan tahu harus bagaimana harus mengadu.”
Tak hanya politik dan hukum, perang ini juga berdampak pada ranah moral dan budaya. Sebagai saksi hidup di keraton, Diponegoro melihat secara langsung bagaimana para bangsawan mulai meninggalkan nilai-nilai luhur dan justru meniru gaya hidup Eropa. Baginya, perubahan ini adalah bentuk penyimpangan dari ajaran Islam.
Dia menyaksikan kebiasaan “molimo”—minum, main, madat, maling, dan madon—kian merajalela di lingkungan bangsawan. Opium dan madat menjadi hal yang lumrah di kalangan keraton, sebuah kondisi yang membuat Diponegoro semakin resah dan mendorongnya untuk bangkit melawan.
“Dan kebiasaan-kebiasaan seperti itu yang ingin diperangi sebetulnya, tapi karena kegagalan perang otomatis itu berlanjut,” jelas Margana menuturkan.
Warisan Perlawanan Diponegoro
Dari perlawanan Diponegoro, lahir inspirasi bahwa Islam bisa menjadi ideologi penting dalam perjuangan melawan kolonialisme—sebuah warisan yang kelak memengaruhi gerakan politik antikolonial, dari Sarekat Islam hingga NU.
“Jadi Islam tetap menjadi idiologi penting dalam gerakan politik di Indonesia dulu sampai sekarang masih penting itu,” jelasnya.
Selain itu, perang ini juga membuka akar konflik antara pribumi dan Tionghoa yang sering disalahpahami sebagai persoalan etnis. Padahal, masalah itu berawal dari struktur kolonial yang menempatkan Tionghoa di posisi sulit.
Advertisement
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5413265/original/060792600_1763118793-bansos_penerima.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5413226/original/046541900_1763117420-Cek_Fakta_Tidak_Benar_Ini_Link_Pendaftaran_-_2025-11-14T172823.946.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4458021/original/050263300_1686203280-sidang_aris_ashar_dan_fatia_dengan_saski_luhut_binsar_panjaitan-IMAM_10.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4937951/original/024942800_1725596554-Lowongan_Bersama_BUMN.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/avatars/3051591/original/000650000_1657289366-IMG_20220526_150737_149.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/1239761/original/010097400_1463735120-Penangkapan_Pangeran_Diponegoro_karya_Raden_Saleh.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4849575/original/080099600_1717201228-Herman_Willem_Daendels.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/3072723/original/045414300_1583822969-20200310-Kembalinya-Keris-Pangeran-Diponegoro--FANANI-8.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/2724821/original/044956100_1549778304-20190210-Pameran-Sastra-Perang-Diponegoro-Gholib6.jpg)

:strip_icc()/kly-media-production/avatars/3864018/original/051307000_1737543005-WhatsApp_Image_2025-01-22_at_17.47.52.jpeg)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5398908/original/086614100_1761900233-Lagidiskon__desktop-mobile__356x469_-_Button_Share.png)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5413217/original/016979500_1763117253-Blazer_Pria.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5409805/original/097393000_1762907774-Koko_Kurta.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5408885/original/051210600_1762838620-Armada_Vietjet__1_.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5407768/original/070203800_1762753906-Fujifilm_Instax_Mini_LiPlay__02.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4767838/original/039381300_1710008223-Beige_Chino___Tapered_Cotton_Stretch_Trouser_-_ASKET.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/4700848/original/089505300_1703763117-sandals-4273243_640.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/2255977/original/087039700_1529581269-Sofo_Olive__1_.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/3948052/original/092439800_1646031798-waldemar-brandt-UP9DtTjRYpI-unsplash.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/1304207/original/006758500_1470043812-20160801-pameran-lukisan-GMS-1.jpg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/1239763/original/051192500_1463735145-Perang_Diponegoro_lukisan.jpg)