Sukses

Leluka dan Bunga &quotPandito" Sunyi

Puluhan undangan menghadiri perayaan ulang tahun ke-82 mantan Presiden Soeharto. Belum seorang pun presiden dan jaksa agung yang sanggup menyeret Pak Harto ke ruang pengadilan.

Liputan6.com, Jakarta: Mantan Presiden H.M. Soeharto genap berusia 82 tahun, awal pekan kedua Juni ini. Meski berusia senja, bekas penguasa Orde Baru itu tampak masih dihormati. Buktinya, puluhan undangan--terutama bekas pejabat Orba--menghadiri perayaan hari ulang tahun Purnawirawan TNI yang pernah dianugerahi gelar jenderal besar berbintang lima ketika masih berkuasa dulu. Sayangnya, puluhan wartawan yang hendak meliput peringatan kelahiran Pak Harto yang dikabarkan cukup sederhana itu hanya bisa menggigit jari. Bukan apa-apa, soalnya para jurnalis cuma diizinkan meliput dari seberang kediaman Soeharto, Jalan Cendana Nomor 6, Menteng, Jakarta Pusat [baca: Selamat Ulang Tahun Pak Harto!].

Sejumlah wartawan tak kekurangan akal. Mereka mencoba menerobos melalui pintu belakang, tepatnya lewat jalan memutar. Usaha mereka pun sia-sia. Padahal, mereka ingin memastikan kondisi kesehatan orang yang paling ditakuti di Indonesia selama 32 tahun sebelum lengser pada 21 Mei 1998 [baca: Soeharto Lengser, Habibie Presiden Ketiga]. Sedangkan perayaan HUT ke-82 Pak Harto berlangsung sejak pukul 18.00 WIB. Meski puluhan tamu dan karangan bunga berdatangan, hingga pukul 19.30 WIB, anak-anak Soeharto tak terlihat datang melalui pintu depan. Karangan bunga di antaranya dari mantan Presiden B.J. Habibie, Ketua DPR Akbar Tandjung, Probosutedjo, Sudwikatmono, serta beberapa pengusaha seperti Tomy Winata dan Prajogo Pangestu.

Di usia yang menginjak 82 tahun, mantan Presiden Kedua RI ini masih berstatus sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi dana tujuh yayasan senilai Rp 1,4 triliun. Namun, dengan alasan kesehatan, Kasus Soeharto nampaknya berhenti begitu saja. Padahal, agenda utama reformasi yang digaungkan para mahasiswa adalah mendesak mengadili bekas penguasa rezim Orba tersebut. Sulit memang mengadili bekas "orang kuat" di republik ini. Selain penuh kontroversi, sejak awal kasus ini memang sarat muatan politik. Buktinya, empat tahun hampir berlalu, namun kasus yang telah ditangani tiga presiden dan tujuh jaksa agung itu seolah berjalan di tempat. Dan, boleh dibilang, Soeharto hampir mendekati sebagai sosok "Untouchable" atau tak tersentuh hukum [baca: Penyelesaian Kasus Soeharto Buram].

Buktinya, dari sekian banyak jeratan perkara seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran berat hak asasi manusia yang dialamatkan kepada Soeharto, hanya sebuah kasus yang diproses hukum. Tepatnya, kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang di bawah kendali Pak Harto. Ketujuh yayasan itu adalah Supersemar, Dharmais, Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri Sejahtera, Dana Gotong Royong, dan Trikora.

Namun, hingga saat ini, kasus tersebut terkatung-katung. Dengan alasan kesehatan, Soeharto tak dapat lagi diadili sebagai terdakwa. Pengadilan yang sempat digelar adalah pengadilan in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa di Gedung Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Agustus 2000 [baca: Peradilan Soeharto: Jaksa Akan Melawan]. Sejauh ini, sejumlah tim dokter juga menyuarakan kesimpulan yang sama: meski kondisi fisiknya sehat, Soeharto dinilai tak dapat berkomunikasi dengan baik yang tentu saja dianggap pula tidak bisa membela diri di pengadilan [baca: 2001, Status Hukum Soeharto Mandeg].

Atas kondisi itulah, Desember 2001, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan diam-diam mengeluarkan fatwa. Isinya, ia meminta agar proses hukum terhadap Soeharto dihentikan. Dua bulan sebelumnya, Bagir juga mengaku kesulitan melanjutkan persidangan Soeharto [baca: Ketua MA: Persidangan Soeharto Sulit Dilanjutkan].

Seiring dengan itu, beberapa pengacara Soeharto, seperti O.C. Kaligis dan Juan Felix Tampubolon, melakukan sejumlah manuver. Dalam suatu kesempatan, Tim Kuasa Hukum Soeharto ini malah sempat meminta agar perkara klien mereka segera ditutup [baca: Soeharto Meminta Kasusnya Ditutup]. Mereka juga mengajukan surat permohonan penghentian kasus kepada Kejaksaan Agung dengan tembusan Presiden Megawati Sukarnoputri. Padahal, saat itu, permohonan Kejagung untuk menyidangkan mantan Presiden Soeharto juga belum ditanggapi Pengadilan Negeri Jaksel [baca: Persidangan Soeharto Bakal Jalan Terus]. Sejumlah kalangan yang peduli masalah penegakan hukum dan keadilan di Tanah Air, jelas terkejut dan bertanya-tanya.

Belum hilang keterkejutan mereka, santer terdengar Presiden Megawati hendak memberikan abolisi atau pengampunan kepada Soeharto. Rencana ini pun mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Mereka jelas mempertanyakan niat pemerintah tersebut. Janggal memang. Memberi pengampunan, namun yang bersangkutan tak pernah dinyatakan bersalah di pengadilan [baca: Sebuah Abolisi yang Menguji Megawati].

Pemerintah akhirnya memang menangguhkan rencana tersebut. Namun, apa pun motif di balik rencana abolisi itu, keadilan dan penegakan hukum nampaknya masih jauh dari harapan. Tengok saja perkara Amir Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba`asyir. Meski sama-sama menghadapi masalah hukum, perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto jelas berbeda dengan Ba`asyir. Pekan keempat Oktober 2002, pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Jawa Tengah, ini diambil paksa dari rumah sakit tempatnya dirawat [baca: Evakuasi Ba`asyir Menelan Korban ].

Ironisnya, bersamaan Ba`asyir diambil secara paksa, Soeharto justru melenggang ke Solo, Jateng. Soeharto beserta rombongan berziarah ke makam istrinya--Siti Hartinah Soeharto--di Astana Giribangun, Mangadeg, Karanganyar, Solo. Bahkan, Soeharto yang pernah mengibaratkan dirinya sebagai pandito--lengser keprabon, madeg pandito--menyempatkan menjenguk putra bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jateng [baca: Soeharto Ziarah ke Makam Ibu Tien].

Contoh tersebut secara gamblang menggambarkan ketimpangan keadilan dan proses hukum di Tanah Air. Kendati demikian, seluruh elemen yang memperjuangkan reformasi hendaknya tak surut langkah. Meski pemerintah maupun aparat penegak hukum seolah terlena, para pendukung reformasi tetap harus menuntut pengusutan perkara Soeharto. Bila berhasil, pena emas sejarah bakal mencatat proses perjuangan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia yang berliku serta menelan nyawa banyak mahasiswa.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.