Sukses

Catatan dan Rekomendasi KPAI pada Rakor Pengawasan Perlindungan Khusus Anak 2023

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar Rapat Koordinasi Klaster Perlindungan Khusus Anak Hasil Pengawasan KPAI Tahun 2023.

Liputan6.com, Jakarta Guna mengkoordinasikan perlindungan khusus anak dengan stakeholders dan memberikan rekomendasi serta catatan terkait berbagai kebijakan dan program di tingkat K/L, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggelar Rapat Koordinasi Klaster Perlindungan Khusus Anak Hasil Pengawasan KPAI Tahun 2023.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, data kekerasan khususnya anak korban kekerasan seksual berdasarkan analisis dan temuan KPAI cenderung tinggi.

"Sehingga ini menjadi kolaborasi aktif antar pemangku kepentingan yang juga sedang gencar melakukan sosialisasi, baik peraturan perundangan di UU nomor 12 tahun 2022 terkait Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), juga terkait dengan Perpres untuk kekerasan terhadap anak, bagaimana ini dipastikan menjadi satu kolaborasi aktif dan melahirkan berbagai tujuan bahwa indonesia harus bebas dari situasi kekerasan,” ungkapnya. 

Pasalnya, selama tahun 2022, KPAI menerima 2133 aduan klaster Perlindungan Khusus Anak, di mana kasus yang dilaporkan masyarakat dalam sub klaster Anak Korban Kekerasan Seksual berjumlah 833 kasus, anak sebagai korban penganiayaan 363 kasus, dan 85 kasus anak korban eksploitasi dan perdagangan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Hambatan TPKS

Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yakni belum tersebarnya UPTD PPA di Kabupaten/Kota untuk menjangkau korban TPKS, UPTD PPA Kabupaten/Kota terkendala dalam menjangkau korban yang tinggal di daerah terpencil, masih sedikitnya jumlah Psikolog di UPTD PPA Kabupaten/Kota untuk mendampingi korban.

Selain itu, berdasarkan 303 kasus TPKS selama Tahun 2023 (KPAI), ada tiga isu utama yang ditemui saat Pengawasan, yakni: belum tersedianya cukup bukti untuk laporan korban diterima oleh Kepolisian; akses layanan pendampingan belum memadai dan terbatas dalam menjangkau korban; kriminalisasi terhadap korban (ancaman/diskriminasi) terhadap korban.

“Untuk itu, dalam rakor ini kita akan menghasilkan sebuah rekomendasi yang lebih kuat dan kritis dan tepat sasaran, sehingga kedepannya ada perubahan situasi dalam penegakan SPPA dan TPKS menjadi lebih baik lagi, dan anak-anak berhadapan dengan hukum apapun status hukumnya mereka korban dan mereka berhak terpenuhi hak-haknya selama proses hukum bahkan pasca,” ujar Komisioner KPAI, Dian Sasmita.

"Dalam pelaksanaan Diversi masih terkendala untuk kasus yang ancaman pidananya di atas 7 tahun sehingga tidak mendapatkan penetapan PN (e-terpadu), kemudian juga ditemukan beberapa faktor seperti sosial, ekonomi dan budaya yang menghambat pelaporan dan pengungkapan kasus anak," jelasnya.

Dian menyebut, hal itu akan menciptakan harmonisasi regulasi terkait SPPA dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sehingga tidak ada pengurangan hak anak pada aturan pelaksana dari undang-undang tersebut.

3 dari 6 halaman

Pengawasan Anak Korban Terorisme

Terdapat 5 definisi Anak korban jaringan terorisme yakni (1) anak pelaku aksi terorisme; (2) anak yang menjadi korban dengan aksi terorisme; (3) anak yang menjadi korban dengan mendapatkan stigma dari orang tua yang menjadi pelaku aksi; (4) anak yang menjadi saksi dan aksi terorisme; (5) anak yang terinfiltrasi radikalisme.

Sesuai dengan kesepakatan Rencana Aksi KPAI yang bersinergi dengan BNPT, lokus pengawasan anak korban jaringan terorisme yang dilakukan KPAI pada 2023 di 4 Provinsi yakni Kota Palu, Sulawesi Tengah; Kabupaten Lamongan, Jawa Timur; Kota Depok, Jawa Barat; Provinsi NTB. 

"Implementasi pengawasan ini masih sangat terbatas belum mencakup banyak, jadi kita kedepan akan meluaskan pengawasan kepada satu base on pada daerah/wilayah yang berkaitan dengan anak yang menjadi objek, kami juga berharap bahwa rekomendasi yang kami sampaikan nanti akan ditindaklanjuti oleh BNPT," ujar Komisioner KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah.

4 dari 6 halaman

Pengawasan Anak Korban Cybercrime

Data pengaduan yang diterima KPAI periode Januari-September 2023 sub klaster anak korban pornografi dan cybercrime sejumlah 33 atau sebesar 1,8%. Kawiyan menyebut, KPAI harus memberikan rekomendasi atau kerja sama dengan lembaga yang punya kewenangan agar dapat ditindaklanjuti dengan maksimal.

"Negara juga setiap orang wajib melindungi anak dari pengaruh pornografi sekaligus aksesnya, mengingat banyak sekali kejadian yang menimpa anak-anak Indonesia yang terpapar pornografi melalui media baru,” sebutnya.

“Sehingga Perlu adanya peningkatan koordinasi lintas sektor dalam menangani anak korban pornografi ini, tentunya Negara harus berada di garda terdepan untuk menyelamatkan generasi bangsa,” jelas Kawiyan.

Ia mengungkapkan bahwa cybercrime sangat erat dengan pornografi. Bagi Kawiyan, Pornografi itu big business karena berkaitan dengan eksploitasi ekonomi dan menghasilkan materi. 

"Berbagai persoalan terkait cybercrime atau kejahatan di dunia siber juga pornografi yang semakin erat dan dekat bahkan borderless dengan anak-anak Indonesia,” ungkap Kawiyan.

"Sehingga tentunya KPAI sesuai mandatnya terus meningkatkan berbagai upaya dalam pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak, agar anak-anak Indonesia terpenuhi hak serta perlindungannya terutama di dunia siber,” jelasnya.

Kawiyan pun membeberkan, hasil pengawasan anak korban Pornografi dan cybercrime begitu banyak begitu rawan anak-anak yang menjadi korban dari dunia digital.

"Anak-anak ke depan kita bimbing, kita awasi, kita literasi agar mereka benar-benar bisa memahami bahwa dunia digital itu disatu sisi sangat bermanfaat untuk belajar, untuk menggali berbagai informasi positif,” bebernya.

"Pemerintah dalam hal ini Kominfo dapat terus melakukan upaya menutup semua akses konten yang isinya bermuatan pornografi. Sebab ini menyangkut moral generasi bangsa,” jelas Kawiyan.

5 dari 6 halaman

Pengawasan Anak Korban Kekerasan Fisik

Data pengaduan yang diterima KPAI periode Januari-September 2023 sub klaster anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis sejumlah 141 atau sebesar 7,8%. Angka ini merupakan kedua tertinggi pada kasus klaster Perlindungan Khusus Anak. 

Diyah Puspitarini mengatakan, anak-anak masih terkena metode kekerasan fisik yang sangat “brutal”, terbatasnya Rumah Aman untuk anak korban kekerasan, terutama jika pelaku adalah keluarga.

"Sehingga Pemerintah dan DPR perlu bersinergi menjadikan perlindungan anak sebagai mainstream pembangunan melalui perbaikan kualitas regulasi, kelembagaan, program dan pendanaan untuk meningkatkan layanan, dan kualitas anak-anak di Indonesia,” katanya.

“Selain itu, Pemerintah juga harus memastikan anak berada dalam pengawasan dan pengasuhan positif baik dilingkungan keluarga, ruang bermain, ruang peribadatan dan lingkungan sekolah untuk menjamin pemenuhan hak dan menghindarkan anak dari kekerasan dan diskriminasi dimanapun anak berada,” jelas Diyah.

Ia pun berharap agar hal ini menjadi perhatian bersama dan KPAI mendorong berbagai pihak baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan juga seluruh elemen untuk betul-betul menggarap dan melakukan pencegahan serta penanganan terhadap kekerasan fisik dan psikis.

"Anak-anak kita hari ini adalah pemimpin masa depan sehingga mereka harus terbebas dan mereka harus terlindung dari kekerasan fisik dan psikis anak,” ujar Diyah.

6 dari 6 halaman

Pengawasan Pekerja Anak

Ai Maryati menyampaikan beberapa catatan dalam pengawasan dalam bidang pekerja anak. Dirinya mengatakan, masalah pekerja anak dalam hubungan industri masih ada kerentanan keterlibatan anak-anak terutama dalam proses rantai pasoknya.

Selain itu, Ai juga mengatakan, perusahaan belum sepenuhnya mengatur kebijakan terkait usia minimum yang dapat bekerja di perusahaan, termasuk pelarangan rekrutmen anak yang sudah menikah. Kerja sama lintas sektor pun terlihat rendah dalam penanggulangan pekerja anak dengan menggunakan pendekatan pentahelix untuk penguatan leading sektor.

 

Pemerintah Daerah juga belum optimal dalam menyusun Kebijakan dan Program penanggulangan Pekerja Anak yang terintegrasi untuk mendukung capaian Kota Layak Anak. Tak hanya itu, dunia usaha juga belum sepenuhnya berkontribusi dalam upaya penanggulangan Pekerja Anak dengan menerapkan prinsip bisnis yang menghargai hak anak termasuk melakukan remediasi Pekerja Anak.

Ai juga menyebut, media belum optimal mempublikasi dan mengkampanyekan isu Pekerja Anak, keterlibatan perguruan tinggi belum optimal dalam menjalankan fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi terkait isu Pekerja Anak. 

Dia juga mengatakan, masih rendahnya kolaborasi aktif masyarakat dan pendamping dengan pemerintah daerah, masih lemah terbentuknya jaringan Penanganan dan Lembaga Layanan Pekerja Anak di daerah, dan belum masifnya mekanisme pengaduan dan laporan pekerja anak dari masyarakat di tingkat pemerintah pusat dan  daerah  dan ketenagakerjaan.

"Beberapa hasil pengawasan menunjukkan bahwa tingginya peraturan daerah yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk perlindungan anak dan kota/kabupaten layak anak, itu belum memiliki rencana aksi daerah yang lebih spesifik terhadap pekerja anak," ujar Ai.

"Ini tentu menjadi sebuah kritik bagi kita karena ditengah komitmen dan program-program berkelanjutan pemerintah terkait perlindungan anak isu pekerja anak masih terpinggirkan dan belum optimal,” jelasnya.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini