Sukses

HEADLINE: Jokowi Pertimbangkan Hapus PPDB Sistem Zonasi, Alternatif Penggantinya?

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengakui akan mempertimbangkan untuk menghapus penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi. Namun, dia akan mengecek secara mendalam kekurangan dan kelebihan dari pelaksanaan PPDB sistem zonasi.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengakui akan mempertimbangkan untuk menghapus penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi. Namun, dia akan mengecek secara mendalam kekurangan dan kelebihan dari pelaksanaan PPDB sistem zonasi.

Wacana soal penghapusan soal PPDB ini juga disampaikan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muzani pada 8 Agustus 2023, di mana Jokowi mempertimbangkan untuk menghapus kebijakan PPDB pada tahun depan.

Dia menjelaskan bahwa kebijakan PPDB sistem zonasi banyak menimbulkan masalah baru di banyak daerah.

Muzani menilai tujuan PPDB untuk pemerataan sekolah-sekolah unggul bagi peserta didik justru tak tercapai. "Yang terjadi justru sekolah unggul jadi unggul, yang enggak unggul malah tidak unggul," ujarnya.

Terkait pernyataan Presiden Jokowi, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anang Ristanto mengatakan, pihaknya selalu terbuka terhadap segala masukan dari seluruh pihak.

"Kemendikbudristek selalu terbuka untuk menerima semua masukan dan saran sebagai bahan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan PPDB di daerah masing-masing," kata dia, Jumat (11/8/2023).

Menurut Anang, pihaknya terus melakukan pemantauan dan evaluasi PPDB di daerah.

"Saat ini, Kemendikbudristek telah membentuk Satuan Tugas yang bertugas khusus untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PPDB di daerah demi meningkatkan pelaksanaan PPDB di masa yang akan datang," jelas dia.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji justru mempertanyakan sikap Presiden Jokowi tersebut. Menurut dia, masalah utamanya bukan pada PPDB sistem zonasinya.

"Kalau zonasi dihapus terus diganti apa? Itu pertanyaannya. Kalau diganti prestasi atau berdasarkan nilai ya kita balik ke era primitif dan zaman jahiliyah. Korban diskriminasi kian merajalela. Problem sesungguhnya adalah bukan pada zonasi tapi tidak dapat kursi," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (11/8/2023).

Ubaid menerangkan, kursi di sekolah negeri itu sangat minim. Hanya tersedia 30-40 persen dari total kebutuhan. "Ibarat kata yang mau hadir di acara kondangan, itu 1.000 orang tapi porsi makanan dan kursi yang tersedia hanya 250. Ya pasti akan ricuh," jelas dia.

"Kewajiban pemerintah adalah sediakan kursi, bukan ribut buat sistem bagaimana mengatur 250 orang tadi. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana 1.000 orang tadi dilayani secara setara dan berkeadilan. Jangan 250 orang gratis masuk negeri sampai lulus, sementara mayoritas harus bayar sendiri," sambung Ubaid.

Berdasarkan pemantauan JPPI, pelaksanaan PPDB 2023 ini kian buruk dibanding tahun-tahun sebelumnya. Praktik manipulasi domisili, jual beli kursi, pengurangan kuota, sertifikat prestasi abal-abal, hingga surat miskin palsu, terus menjamur dan terjadi di mana-mana. Titik masalahnya selalu saja terdapat pada tiga jalur surga: jalur zonasi, jalur prestasi dan jalur afirmasi.

"Karena itu, orang tua akan melakukan apapaun untuk bisa masuk lewat jalur surga ini. Jika mereka gagal, maka dia harus tercebur di jalur neraka, yaitu terpaksa memasukkan anakknya di sekolah swasta dengan tagihan bulanan selangit, dan beragam uang sumbangan wajib yang tak jelas pula peruntukannya. Inilah yang disebut sebagai pelayanan mendapatkan hak dasar pendidikan yang diskriminatif dan tidak berkeadilan," jelas Ubaid.

JPPI, lanjut dia, baik jalur zonasi, prestasi, dan afirmasi adalah jalur tipu-tipu. Jalur ini sengaja dipasang oleh pemerintah sebagai jebakan, supaya masyarakat lupa dengan haknya. Lalu, jika masyarakat melakukan kesalahan, pemerintah akan pansos bak pahlawan kesiangan.

Ubaid menegaskan, sistem PPDB yang semacam inilah yang jadi biang kerok pemicu kisruh tiap musim awal tahun ajaran baru di sekolah.

Menurut dia, pemerintah harus bertanggung jawab, bukan malah sibuk mencari kesalahan orang tua. Yang terjadi di lapangan adalah orang tua melakukan praktik kecurangan untuk memperoleh haknya.

"Kita sepakat bahwa kecurangan itu tidak boleh dilakukan, tapi bagaimana dengan kesengajaan pemerintah dalam melepas tanggung jawab soal pendidikan? Mendapatkan akses ke sekolah adalah hak semua warga negara Indonesia. Pemerintah harus memastikan itu, bukan malah melakukan seleksi, yang menghasilkan ada yang lolos dan ada yang gagal," jelas dia.

Ubaid menegaskan, sistem seleksi PPDB tidak berkeadilan dan melanggar amanat konstitusi. Melihat pasal 31 ayat 2 UUD 1945 dan pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas, jelas termaktub di situ bahwa pemerintah berkewajiban untuuk memberikan jaminan dan kepastian semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkeadilan.

"Ganti sistem seleksi PPDB dengan sistem undangan. Kita sudah punya data berapa anak usia sekolah, berapa yang lulus jenjang SD, SMP, dan SMA. Mestinya, mereka ini langsung diberikan undangan untuk bisa lanjut sekolah, bukan malah disuruh rebutan bangku sekolah dengan kemungkinan rata-rata kegagalannya adalah 60% di tingkat SMP dan 70% di tingkat SMA," kata Ubaid.

"Contoh sederhananya adalah seperti terjadi saat musim pemilu, semua rakyat dapat undangan untuk memberikan suara di TPS, jadi tidak perlu lagi seleksi masuk TPS, karena semua punya hak yang sama," sambungnya.

Menurut dia, PPDB sistem undangan bisa diterapkan berbasis hak anak berdasarkan zonasi dan pemerataan kualitas sekolah. Supaya semua terjamin bisa mendapatkan sekolah yang layak, tentu pemerintah harus melibatkan swasta karena daya tampung negeri yang terbatas atau hanya mampu menampung sekitar 40% di SMP dan 30% di SMA dari total kebutuhan.

"Penerapan ini, mensyarakatkan dua hal utama. Pertama, kesepakatan pemerintah dan swasta soal pembiayaan yang mesti ditanggung pemerintah. Kedua, pemerataan kualitas supaya tidak terjadi penumpukan di sekolah-sekolah tertentu yang dianggap favorit/unggulan," kata Ubaid.

 

Perlu Evaluasi Total

Satriwan Salim, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kemdikbidristek hendaknya melakukan evaluasi total bagaimana regulasi dan implementasi PPDB di tiap daerah selama 7 tahun, mengingat persoalan dalam implementasi PPDB masih terus terjadi dengan masalah yang sama tiap tahun.

"Ini bukti indikasi bahwa Kemdikbudristek dan Pemda tidak melakukan evaluasi yang mendasar thd PPDB, adapun dilakukan hanya formalitas dan tidak ada perbaikan atau tindak lanjut yang signifikan selama ini," jelas dia kepada Liputan6.com, Jumat (11/8/2023).

Salim menuturkan, tujuan utama PPDB ini kan baik, untuk menciptakan keadilan dalam pendidikan; untuk mendekatkan anak bersekolah dekat dengan rumahnya sehingga relatif tidak berbiaya dr segi transportasi, dan aman dalam jangkauan rumah; memprioritaskan anak dari keluarga miskin atau ekonomi lemah untuk bersekolah. Jalur zonasi dan jalur afirmasi. "Nah PPDB begini kan rasanya sangat baik tujuannya," katanya.

Pihaknya, lanjut Salim, setuju untuk dikaji ulang, evaluasi total,,tapi bukan menghapus PPDB Zonasi dan Afirmasi tadi khususnya.

"Sebab jika dihapus maka sekolah akan makin berbiaya mahal,,anak-anak yang tak tertampung di sekolah negeri terpaksa bersekolah di swasta dengan biaya mahal. Padahal sudah menjadi kewajiban negara sesuai perintah Pasal 31 UUD 1945 untuk membiayai pendidikan," ungkap dia.

Salah satu pokok pangkal masalah PPDB selama ini adalah ketidakmerataan sebaran sekolah negeri di seluruh wilayah Indonesia. Ini persoalan hulunya sehingga pemerintah mestinya tuntaskan ini dulu, bangun sekolah dengan basis analisis data demografis.

"Sehingga tak ada lagi sekolah yang kekurangan siswa bahkan tak ada siswa atau sebaliknya sekolah negeri tidak mampu menyerap semua calon siswa karena keterbatasan ruang kelas," ungkap Salim.

Karena itu, menurut dia, kalau pemerintah langsung menghapus PPDB ini akan berpotensi melahirkan ketidakadilan baru dalam pendidikan,,dan terkesan ini adalah rencana yang reaktif.

"P2G berharap ada kajian mendalam, duduk bersama evaluasi PPDB 7 tahun melibatkan Kemdikbud, seluruh Pemda, Kemendagri, Kementerian PUPR, dan stakeholders lainnya. Jadi harus ada kajian yang komprehensif hendaknya, dari segala aspek sbb PPDB tak hanya terkait dg Pendidikan tapi juga dengan data demografis, infrastruktur sekolah, akses jalan, dan sarana transportasi," pungkasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

DPR Ingatkan Ada Jaminan Mutu Penggantinya

Pemerintah tengah mempertimbangkan menghapus penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi. Terkait hal itu, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda meminta pemerintah tak gegabah dan memastikan terlebih dahulu alternatif pengganti sistem PPDB zonasi.

"Kita perlu tahu dulu apa konsep penggantinya. Kalau itu clear, baru kita bicara soal penghapusan," kata Huda kepada wartawan, Jumat (11/8/2023).

Menurut Huda, meski ditemukan banyak kekurangan, sistem zonasi ini memiliki kelebihan untuk masyarakat ekonomi rendah mendapatkan hak pendidikan. Meski demikian, ia mengakui, pemerataan pendidikan belum tercapai hingga kini.

"Problem sesungguhnya adalah selama 10 tahun dilakukan sistem penerapan PPDB apa yang menjadi targetnya belum memenuhi, satu soal pemerataan," ungkapnya.

Huda menyebut, saat ini yang terpenting bagi dunia pendidikan adalah pemerataan kualitas mutu sekolah hingga tenaga pendidik di seluruh pelosok tanah air.

"Sebenarnya sistemnya mau apa pun clear gitu, jadi pemerintah saya kira akan lebih bagus untuk satu; peningkatan pemerataan kualitas mutu pendidikan di semua sekolah rata," kata Huda.

Selain itu, pembangunan sekolah atau perbanyak sekolah di daerah juga sangat dibutuhkan, dan hal itu bisa cepat terealisasi apabila ada kolaborasi dengan swasta.

"Kedua, pembangunan sekolah. Nah pembangunan sekolah itu bisa disiasati dengan sistem kolaborasi dengan sekolah swasta artinya pemerintah harus menyediakan pendanaan yang itu berlaku sama dengan diterapkan nanti di sekolah swasta," kata dia.

Politikus PKB ini meminta pemerintah melakukan intervensi dan pengawasan maksimal, agar mutu pendidikan merata dan semua sekolah menjadi favorit atau bermutu, tidak seperti saat ini di mana masih ada sekolag favorit dan tidak.

"Yang terjadi 10 tahun diterapkan masih saja sekolah yang dulunya favorit tetap favorit, yang tidak favorit tidak berubah jadi favorit. Karena intervensi pemerintah relatif tidak maksimal," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini