Sukses

Tanggapi Eksepsi Anang Achmad Latif, Jaksa: Keberatan Terdakwa Harus Ditolak Seluruhnya

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjawab nota keberatan atau eksepsi para terdakwa kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Jaksa pun meminta majelis hakim menolak eksepsi para terdakwa, salah satunya Anang Achmad Latif.

Liputan6.com, Jakarta Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjawab nota keberatan atau eksepsi para terdakwa kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Jaksa pun meminta majelis hakim menolak eksepsi para terdakwa, salah satunya Anang Achmad Latif.

Jaksa menguraikan, penasehat hukum terdakwa menyatakan penggunaan kontrak payung proyek BTS 4G bukanlah perbuatan melawan hukum sebagaimana dakwaan sesuai Pasal 17 ayat 1, 2 dan 3 Perdirut Bakti No.7 Tahun 2020.

"Pendapat Penuntut Umum, bahwa kami tidak mempermasalahkan penggunaan kontrak payung dalam penyediaan BTS 4G tahun 2020-2022, yang menjadi permasalahan adalah kontrak payung tersebut dijadikan sebagai siasat dan alat untuk menggabungkan dua pekerjaan yang sejatinya sangat berbeda," ujar jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Selasa (11/7/2023).

"Yaitu pekerjaan pembangunan Capital Ekspedentil atau Capek dan pekerjaan pemeliharaan atau Opec agar dapat dikerjakan oleh penyedia yang sama yang telah diatur sebelumnya," sambungnya.

Kemudian, jaksa merinci saat penasihat hukum menyatakan bahwa JPU mendakwakan perbuatan terdakwa yang tidak memutus kontrak ketika terjadi deviasi adalah sebagai perbuatan melawan hukum. Padahal keputusan tersebut sesuai dengan sikap pemerintah yang sampai sekarang tetap melanjutkan pelaksanaan proyek pembangunan BTS 4G BAKTI Kominfo.

Selain itu, penasihat hukum menyebut sikap terdakwa yang tidak memutus kontrak demi efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pekerjaan. Dakwaan JPU yang menyatakan perbuatan itu melawan hukum pun dinilai bertentangan dengan sikap pemerintah. Sebab Presiden Jokowi sendiri memerintahkan agar proyek BTS 4G BAKTI Kominfo tetap dilanjutkan sampai selesai.

"Oleh karenanya penasihat hukum beranggapan bahwa perbuatan terdakwa bukanlah perbuatan melawan hukum. Kami penuntut umum menyatakan bahwa tidak ada satu pun sikap kami yang bertentangan dengan sikap pemerintah. Kami tegak lurus dengan sikap pemerintah. Kami sependapat bahwa pekerjaan penyediaan BTS 4G harus tetap dilanjutkan sampai dengan selesai karena rakyat yang berada di daerah 3 T tidak boleh menjadi korban," jelas jaksa.

"Tetapi orang-orang atau pihak-pihak yang telah melakukan perbuatan curang, melakukan perbuatan korup dalam pelaksanaan pekerjaan penyediaan BTS 4G tahun 2020-2022, harus diproses secara hukum dan dimintai pertanggungjawaban secara pidana, apalagi perbuatan tersebut telah nyata-nyata menimbulkan kerugian keuangan negara," lanjutnya.

Kemudian, JPU yang mendakwa adanya kerugian keuangan negara berdasarkan keadaan per 31 Maret 2022 dinilai bukan keadaan faktual saat ini. Hal itu pun disebut tidak berdasar pada peraturan undang-undang, melainkan atas kewenangannya menyusun surat dakwaan, sehingga menurut penasihat hukum surat dakwaan tidaklah disusun secara cermat, jelas, dan lengkap sesuai ketentuan Pasal 142 ayat 2 huruf b KUHAP.

"Kami JPU telah meminta bantuan ahli, dalam hal ini BPKP untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dan hasilnya telah dituangkan dalam sebuah laporan resmi yang dapat dijadikan alat bukti di dalam laporan tersebut dan telah tercantum waktu dan nilai kerugian. Namun jika penasihat hukum tidak sependapat dengan hasil perhitungan kerugian keuangan negara yang telah dilakukan BPKP, itu sepenuhnya hak dari penasehat hukum," katanya.

Jaksa juga mengulas surat dakwaan yang dianggap penasihat hukum tidak cermat, lengkap, dan logis dalam menguraikan TPPU lantaran mendakwakan jumlah uang yang digunakan terdakwa lebih besar daripada penghasilan tidak sah yang didakwakan.

Bagi JPU, secermat apapun surat dakwaan yang dibuat tentu tidak akan logis dalam pandangan penasehat hukum, serta tidak akan didapatkan kebenaran yang sebenarnya jika hanya berdasarkan pada surat dakwaan, bukan melalui sidang pembuktian.

"Oleh karenanya guna mendapatkan kebenaran materiel sebagaimana tujuan pencarian kebenaran dalam hukum pidana dan keadilan bagi seluruh pihak, maka persidangan perkara a quo dilanjutkan pada sidang pembuktian. Oleh karena materi keberatan dari penasihat hukum sesungguhnya sudah memasuki materi pokok perkara, maka keberatan penasihat tersebut sudah selayaknya dinyatakan ditolak untuk seluruhnya," jaksa menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Anang Achmad Latif Nilai Dakwaan Jaksa Menyudutkan dan Tidak Fair

Dalam pembacaan nota keberatannya yang dibacakan kuasa hukum, Anang Achmad Latif selaku Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dan Kuasa pengguna Anggaran (KPA), menyampaikan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sangat menyudutkan terdakwa, tidak fair, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap dalam menguraikan perbuatan yang didakwakan.

"Perbuatan-perbuatan yang didakwakan juga tidak sesuai dengan fakta dan keadaan yang sesungguhnya. Bahkan terdapat uraian dakwaan yang saling bertentangan," kata kuasa hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (4/7/2023).

Menurut kuasa hukum, JPU mendakwakan peraturan perundang-undangan yang tidak berlaku bagi terdakwa sebagai Direktur Utama Badan Layanan Umum (BLU) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Dan Informasi (BAKTI).

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Yang Dikecualikan Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, telah memuat ketentuan yang mengecualikan BLU dari kedua aturan tersebut dan memberi kewenangan serta memerintahkan pimpinan BLU untuk membentuk sendiri peraturan pengadaan barang/jasa.

"Terdakwa antara lain didakwa melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak memutus kontrak para penyedia ketika terjadi deviasi pelaksanaan pekerjaan pada tahun 2021. Padahal saat ini, sekalipun menurut JPU ada tindak pidana korupsi, Presiden RI memerintahkan agar proses penyediaan BTS 4G di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) tetap dilanjutkan sampai selesai," jelas kuasa hukum.

Kuasa hukum menyatakan, semua pihak yang berakal sehat tentu dapat memahami alasan keputusan Presiden yang pada hakekatnya sama dengan keputusan terdakwa, bahwa pemutusan kontrak dalam pekerjaan itu akan mendatangkan kerugian yang lebih besar dari segi waktu dan biaya.

Namun, JPU malah bersikap dan berpendapat lain, sehingga terdakwa saat ini duduk di persidangan dan menjalani penahanan, sekalipun keputusannya tersebut sama dengan keputusan Presiden.

"Selain itu, JPU juga mendakwa terdakwa melakukan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan. Namun setelah mencermati uraian perbuatan yang didakwakan, ternyata perbuatan-perbuatan terdakwa telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan penyediaan BTS 4G di daerah 3T oleh BAKTI," kata kuasa hukum.

Surat Dakwaan seolah-olah menyatakan uang negara sebesar Rp8.032.084.133.795,51 telah hilang akibat perbuatan terdakwa. Padahal, lanjut kuasa hukum, uang tersebut telah menjadi berbagai barang yang diperlukan untuk penyelesaian pembangunan BTS 4G.

"Dengan kata lain, dalam penyediaan BTS 4G di daerah 3T yang diperkarakan JPU, yang terjadi adalah keterlambatan, bukan hilangnya uang negara," ujarnya.

Keterlambatan yang terjadi pun akibat dari berbagai faktor, antara lain pandemi Covid-19 pada 2021 yang sedang tinggi, serta situasi keamanan di daerah Papua. Bahkan pada Maret 2022 yang lalu, terjadi penembakan oleh Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) yang menewaskan 8 pekerja BTS serta dilanjutkan dengan penyanderaan pada Mei 2022.

"Kerugian keuangan negara yang didakwakan juga ternyata tidak dihitung berdasarkan fakta dan keadaan terkini/faktual. Tanpa pertimbangan dan dasar hukum yang jelas serta hanya berlandaskan pada kewenangan menyusun surat dakwaan, JPU membatasi rentang waktu penghitungan kerugian pada 31 Maret 2022 tanpa menguraikan bahwa proses penyelesaian pekerjaan yang dipermasalahkan masih berlangsung sesuai perintah Presiden RI," beber kuasa hukum.

"Bahkan JPU tanpa uraian alasan yang jelas telah mengesampingkan fakta adanya pengembalian pembayaran dari para penyedia pada tanggal 31 Maret 2022 sekitar Rp1.770.000.000.000," tandasnya.

 

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.