Sukses

Kisah Korban Tragedi 1965 yang Menjadi Stateless Sebab Tolak Berkhianat ke Soekarno

Kepada Presiden Jokowi, keduanya bercerita bagaimana saat momen pilu tragedi 1965 terjadi dan membuatnya dipaksa jauh dari Tanah Air sebab tidak bisa lagi kembali karena sudah hak kewarganegaraanya dicabut paksa pada masa itu.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi, memulai kick off dari program pemulihan hak para korban pelanggaran HAM berat yang terjadi dari 12 peristiwa masa lalu di Indonesia. Salah satunya, adalah tragedi berdarah di tahun 1965 yang kental dengan aura komunisme.

Adalah dua orang dari Rusia dan Cekoslavia yang bernama Suryo Martono dan Sudaryanto Priyono. Mereka hari ini didatangkan pemerintah ke Indonesia, sebagai perwakilan yang menerima program tersebut secara simbolik pada prosesi kick off yang berlangsung di Pidie, Aceh.

Kepada Presiden Jokowi, keduanya bercerita bagaimana saat momen pilu tragedi 1965 terjadi dan membuatnya dipaksa jauh dari Tanah Air sebab tidak bisa lagi kembali karena sudah hak kewarganegaraanya dicabut paksa pada masa itu.

"Adanya (info) Bung Karno mengkudeta Indonesia dan buat saya pribadi itu sangat tidak masuk akal! sebab Bung Karno waktu itu sudah menjadi presiden dan dengan kedudukan yang kuat," kata Suryo saat mengawali kisahnya dengan disaksikan Jokowi, seperti dikutip daring dari kanal Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (27/6/2023).

Saat itu Suryo mengaku baru berumur 22 tahun dan menjadi mahasiswa melalui program dari negara dan memiliki ikatan dinas. Namun betapa kagetnya pada tahun 1965 dirinya tidak bisa kembali karena paspornya dicabut (stateless).

"Paspor saya dicabut bersama 16 teman-teman lain juga dicabut semua paspornya. Kenapa? karena kita semua karena tidak mau menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru (bukan kepemimpinan Soekarno)," cerita Suryo yang saat ini sudah berusia 80 tahun.

Senada dengan itu, Sudaryatno mempunyai kisah yang mirip. Bedanya, tujuan negara studinya adalah Rusia. Dia mengingat, kesempatan belajar di luar negeri juga atas pembiayaan oleh negara untuk menempuh pendidikan tinggi terkait ilmu koperasi di Moskow.

Ketika tahun 1965, terjadi pergolakan. Nasib studinya mulai dipertanyakan. Negara hendak melanjutkan namun ada sebuah pernjanjian untuk mengutuk Bung Karno. Sudaryanto menolaknya.

"Saya sekolah di Institut koperasi karena dan saya tidak tidak memenuhi syarat skrining yang dilakukan karena di sana ada poin bahwa harus mengutuk Bung Karno dan akhirnya dalam seminggu sesudahnya saya menguras surat pemberitahuan bahwa paspor saya juga dicabut dan saya kehilangan keluarga saya (di Indonesia)," kenang dia pada saat itu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sekolah dengan Bantuan Pemerintah Setempat

Keterbatasan akses membuat Sudaryatno bertahan di Rusia. Dia bisa meneruskan pendidikan dengan bantuan pemerintah setempat hingga mendapatkan pekerjaan, berkeluarga, dan masa pensiun.

"Saya sempat menjadi dosen salah satu kampus di Rusia, saya juga sempat mengadakan beberapa kunjungan ke Indonesia dan menjadi pembicara dengan universitas-universitas Indonesia saat keadaan di Indonesia berangsur normal bertahun-tahun setelahnya," ungkap dia.

Mendengar kedua kisah tadi, Jokowi lalu menawarkan apakah keduanya ingin kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI). Terlihat raut kegembiraan yang bimbang, sebab baik Suryo dan Sudaryanto mengaku sama-sama sudah memiliki kehidupan, anak istri dan cucu di negaranya masing-masing pada saat ini.

"Soalnya saya Sebutkan sudah bukan sendirian jadi sudah punya tiga juga jadi istri dari Rusia, tapi saya kira bisa," Sudaryatno menutup.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.