Sukses

KPK Usut Kepemilikan Tanah Lukas Enembe

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kepemilikan beberapa tanah Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kepemilikan beberapa tanah Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe. KPK menduga Lukas membeli tanah tersebut dari hasil suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Provinsi Papua.

Dugaan tersebut diketahui usai tim penyidik KPK memeriksa Kepala Kantor Pertanahanan Jayapura Keliopas Fenitiruma dan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Roy Eduard Fabian Wayoi. Mereka diperiksa di Gedung KPK, pada hari ini, Rabu (15/2/2023).

"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan kepemilikan beberapa aset tanah dari Tersangka LE (Lukas Enembe)," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (15/2/2023).

Sementara satu saksi lainnya yang dijadwalkan diperiksa bersama Keliopas dan Roy, yakni Muhammad Markum selaku pensiunan tak memenuhi panggilan tim penyidik.

"Muhammad Markum (pensiunan), saksi tidak hadir dan dilakukan penjadwalan ulang," kata Ali.

KPK menyatakan ingin mempercepat pengusutan kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemprov Papua yang menjerat Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe.

"KPK berkomitmen untuk mempercepat proses hukum atas dugaan tindak pidana korupsi di Papua ini," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (8/2/2023).

Ali mengatakan, pengungkapan kasus Lukas Enembe ini menjadi momentum membersihkan tanah Bumi Cendrawasih dari tindak pidana korupsi. Menurut Ali, KPK sudah mendampingi dan memberikan edukasi antikorupsi kepada jajaran pemerintah daerah, pelaku usaha, dunia pendidikan, ataupun masyarakat di Papua.

"Momentum ini juga menjadi kesempatan yang tepat untuk berbenah dan membersihkan Tanah Papua dari tindakan dan perilaku-perilaku koruptif," kata Ali.

Ali mengatakan KPK mengapresiasi dukungan masyarakat Papua dalam penanganan perkara ini. Ali juga berterimakasih masyarakat Papua telah menjaga keamanan dan ketertiban demi terciptanya Papua yang kondusif.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Awal Mula Kasus

KPK menetapkan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua. Lukas Enembe diduga menerima suap atau gratifikasi sebesar Rp10 miliar.

Selain itu, KPK juga telah memblokir rekening dengan nilai sekitar Rp76,2 miliar. Bahkan, KPK menduga korupsi yang dilakukan Lukas Enembe mencapai Rp1 triliun.

Kasus ini bermula saat Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mendapatkan proyek infrastruktur usai melobi Lukas Enembe dan beberapa pejabat Pemprov Papua. Padahal perusahaan Rijatono bergerak dibidang farmasi.

Kesepakatan yang disanggupi Rijatono dan diterima Lukas Enembe serta beberapa pejabat di Pemprov Papua di antaranya yaitu adanya pembagian persentase fee proyek hingga mencapai 14 % dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.

Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar. Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.

Dari tiga proyek itu, Lukas diduga sudah menerima Rp1 miliar dari Rijatono.

Dalam kasus ini, Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.