Sukses

MK Kabulkan Gugatan Sebagian Perppu Covid-19, Pemerintah Tak Lagi Kebal Hukum

Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU Covid-19 berpotensi memberikan hak imunitas yang pada akhirnya bisa menyebabkan imunitas dalam penegakan hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Dengan begitu, pemerintah tidak kebal hukum terkait kebijakan dalam hal penanggulangan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertimbangkan dalil Pemohon dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah yang mempersoalkan ketentuan yang membuka kemungkinan dapat dituntutnya, baik secara pidana maupun perdata dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU Covid-19 dengan syarat harus terpenuhi unsur yang esensial, yaitu adanya “kerugian negara”, yang ditimbulkan karena adanya penggunaan keuangan negara yang dilandaskan pada iktikad tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Mahkamah berpendapat keadaan tersebut berakibat hukum terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU Covid-19 tidak dapat diberlakukan bagi siapa pun yang melakukan penyalahgunaan kewenangan berkaitan dengan keuangan negara," katanya dalam rilis resmi MK yang dikutip melalui laman MK RI, Jumat (29/10/2021).

Mahkamah, kata Saldi Isra, memandang bahwa ketentuan Pasal 27 Lampiran UU Covid-19 berpotensi pula memberikan hak imunitas yang pada akhirnya bisa menyebabkan imunitas dalam penegakan hukum.

Menurut Mahkamah, berdasarkan konstruksi Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19 yang secara spesifik mengatur perihal semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanggulangan krisis akibat pandemi Covid-19 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dan “bukan merupakan kerugian negara”.

Maka, hal utama yang menjadi patokan adalah hak imunitas yang dikhususkan bagi pejabat pengambil kebijakan dalam hal penanggulangan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Saldi menjelaskan Mahkamah Konstitusi mencermati adanya kata “biaya” dan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19 yang tidak dibarengi dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pada akhirnya telah menyebabkannya menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum.

“Penempatan frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ dalam pasal tersebut dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Oleh karena itu, demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ tidak dimaknai ‘bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” urai Saldi.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bunyi Pasal Bukan Kerugian Negara

Dalam pasal dimaksud, sambung dia, meskipun penggunaan biaya dari keuangan negara untuk kepentingan penanganan pandemi Covid-19 dilakukan tidak dengan iktikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka terhadap pelaku yang melakukan penyalahgunaan kewenangan dimaksud tidak dapat dilakukan tuntutan pidana.

“Sebab, hal tersebut telah terkunci dengan adanya frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19,” ujar Saldi.

Dalam pembacaan Pertimbangan Hukum Mahkamah berkenaan dengan konstitusionalitas frasa “bukan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19, Saldi Isra menilai norma tersebut berkaitan dengan keuangan negara sehingga tidak dapat dilepaskan dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Di dalam UU Tipikor termuat ketentuan unsur esensial yang harus dipenuhi dalam membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi, yakni terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Saldi menyebutkan dalam perspektif Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19, apabila dicermati dengan saksama tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara, baik terhadap biaya yang dipergunakan untuk penanganan pandemi Covid-19 yang dikeluarkan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan oleh Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Isi Pasal 27

Pasal 27 UU Covid-19 sejak awal terbitnya aturan tersebut dikhawatirkan akan menjadi tameng impunitas para penjabat negara yang mengelola dana penangan pandemi Covid-19. Pasalnya dalam Pasal 27 Ayat 1 desebutkan bahwa dana yang digelontorkan untuk penanganan pandemi bukan merupakan kerugian negara.

"Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara," bunyi pasal dimaksud.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.