Sukses

Epidemiolog: Dalih Herd Immunity dalam Vaksinasi Berbayar Tidak Bisa Dibenarkan

Program vaksinasi berbayar hanya menguntungkan dan mengutamakan masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas di perkotaan saja.

Liputan6.com, Jakarta - Ribuan orang ramai-ramai turut menandatangani seruan sebuah petisi yang menolak vaksinasi berbayar muncul di laman change.org. Di mana petisi tersebut kini sudah ditandatangai lebih dari 7.900 orang, sampai dengan Senin (12/7/2021) pagi.

Penolakan tersebut diserukan setelah pemerintah menetapkan adanya skema vaksin gotong royong individu atau vaksin berbayar sebagai pilihan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan vaksin dengan merogoh kocek sebesar Rp 879.140 untuk dosis lengkap vaksin Sinopharm.

Maka, melalui akun twitter @drpriono1, pakar epidemiologi Pandu Riono turut mengajak masyarakat untuk menggalang dukungan menolak adanya skema vaksin berbayar yang terkesan memunculkan komersialisasi di dalamnya.

"Regulasi yang membuka peluang komersialisasi vaksin harus dikoreksi. Hapus konsep Vaksin Gotong-royong! Jangan lupa tandatangan petisi," tulis pandu lewat akun twitternya yang dibarengi dengan tautan link petisi, yang dikutip Merdeka.com, Senin (12/7/2021).

Berdasarkan keterangan yang tercantum dalam petisi itu disebutkan, menurut WHO pun, program vaksinasi yang dilakukan pihak swasta hanya menguntungkan dan mengutamakan masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas di perkotaan saja.

Dengan suplai vaksin yang masih sangat terbatas, masyarakat di daerah dan ekonomi menengah ke bawah yang justru memiliki tingkat risiko penularan lebih tinggi. Karena itu, Petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri BUMN Erick Thohir meminta agar skema vaksin berbayar dibatalkan. Terlebih suplai vaksin COVID-19 yang kini masih terbatas dan diatribusinya masih terganggu.

"Pemerintah dan Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) berdalih skema vaksin mandiri akan membantu pemerintah mempercepat pencapaian kekebalan kelompok di Indonesia. Ini tidak bisa dibenarkan, karena vaksinasi mandiri justru menjadikan akses pada vaksinasi berdasarkan kemampuan ekonomi dan afiliasi dengan korporasi swasta," tulis dalam petisi tersebut.

"Karena itu, lewat petisi ini kami meminta Presiden Jokowi, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri BUMN Erick Thohir agar membatalkan program vaksinasi mandiri. Jika memang hendak mengajak kerja sama pihak swasta, sebaiknya pihak swasta diajak untuk melakukan distribusi vaksin, bukan untuk melakukan vaksinasi secara mandiri," lebih lanjut.

Selain Pandu Riono, dalam petisi ini turut tercantum nama Irma Handayani, pendiri LaporCovid-19, hingga guru besar bidang sosiologi bencana Universitas Teknologi Nanyang Singapura Prof Sulfikar Amir. Di mana mereka membuka petisi soal penolakan vaksinasi berbayar, untuk kemudian segera dibatalkan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Harga Vaksinasi Berbayar

Sebelumnya, Pemerintah menetapkan harga dosis lengkap vaksin Sinopharm berbayar Rp879.140. Harga tersebut untuk berlaku per orang, untuk dua kali dosis penyuntikan.

"Harga itu sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021," kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmizi, melalui pesan singkat di Jakarta. Demikian dikutip dari Antara, Minggu (11/7).

Keputusan Menteri Kesehatan tersebut berisi tentang sejumlah aturan terkait penetapan besaran harga pembelian vaksin produksi Sinopharm melalui penunjukan PT Bio Farma (Persero). Dalam pelaksanaan pengadaan vaksin COVID-19 dan tarif maksimal pelayanan untuk pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong.

Sesuai dengan aturan tersebut, kata dia, harga vaksin per dosis Rp321.660 ditambah dengan harga layanan Rp117.910. Sehingga harga per dosis vaksin yang dibebankan kepada penerima manfaat seharga Rp439.570 per dosis.

"Untuk satu orang kan butuhnya dua dosis, jadi dikalikan dua menjadi totalnya Rp879.140," kata Siti Nadia.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.