Sukses

Special Content: Self Radicalization Milenial dan Teroris Perempuan yang Dikorbankan

Kelompok teroris JAD (Jamaah Ansharut Daulah) masih menjadi ancaman. Milenial jadi sasaran perekrutan dan pelaku perempuan sebagai korban yang didesain para teroris.

Jakarta - Peran anak muda terbukti masih nyata dalam aksi terorisme di Indonesia. Dua aksi teror terkini, yang menyerang Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Jakarta membuktikan itu.

Para pelaku rata-rata masih berusia pertengahan 20-an. Dua pelaku bom bunuh diri di Makassar yang merupakan pasangan suami istri yakni L dan YSF, sama-sama kelahiran pertengahan 1990-an.

L dan YSF adalah anggota jaringan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok ini berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS, yang oleh media-media arab disebut dengan daulah (Da‛isy).

Sementara pelaku teror dengan pistol air gun di Mabes Polri, ZA, adalah perempuan yang baru berusia 25 tahun. ZA dianggap lone wolf terorist alias melakukan aksi teror seorang diri dan merupakan inisiatif pribadi, tanpa didesain oleh kelompok tertentu. Walaupun lone wolf, ZA berideologi radikal ISIS, yang dibuktikan dari unggahan di media sosial Instagram pribadinya.

Fakta pelaku teroris berusia muda sesungguhnya bukan hal baru. Pada Juli 2009, seorang anak muda bernama Dani Dwi Permana, juga melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan menewaskan sembilan orang serta mengakibatkan lebih dari 50 orang luka-luka.

Kala melakukan aksi bom bunuh diri, Dani yang merupakan anggota Jamaah Islamiyah (JI), baru berumur 18 tahun. 

Demikian pula dengan teroris perempuan. Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme juga bukan tren baru. Hal tersebut diungkapkan Analis Data Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Leebarty Taskarina.

"Karena, sejak 2016, Dian Yuli Novi (ketika itu berusia 27 tahun) juga sudah memulainya ketika mau melakukan pengeboman di Istana Presiden melalui bom panci. Jadi, kejadian di Makassar dan Mabes Polri adalah hal yang randomly terjadi, siapa yang memiliki kemauan untuk melakukan jihad atas nama agama, atas kefanatikan teks-teks agama tertentu, kemudian membuat mereka berani melakukan hal tersebut," ujar Leebarty kepada Liputan6.com.

Milenial Rentan Terpapar Radikalisme

Di sisi lain, berdasarkan survei BNPT yang dipublikasi Desember 2020, 85 persen generasi milenial Indonesia disebut rentan terpapar radikalisme. Setahun sebelumnya, lewat riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian, sebanyak 52 persen pelajar mendukung radikalisme berbasis agama.

Menurut Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, generasi muda yang berusia 17-24 tahun merupakan sasaran paham radikal. Media sosial menjadi alat teroris menyebarkan paham radikal sekaligus merekrut anak-anak muda.

Wawan Hari mengungkapkan, penyebaran radikalisme di media sosial lewat propaganda bisa dianggap menarik oleh generasi muda. Dia berkesimpulan, generasi muda berada di usia yang rawan, karena kebutuhan jati diri dan eksistensi.

"Penyebaran paham radikal yang sering dibumbui narasi heroisme, kemudahan akses internet dan banyaknya waktu luang, kemudian konten dan narasi radikal disebar dengan mudah dan diakses generasi muda," beber Wawan Hari dalam diskusi 'Mencegah Radikalisme dan Terorisme untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial' di Youtube TV NU, Selasa (30/3/2021).

Saksikan Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Lewat Media Sosial

Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, menjelaskan, kaum milenial memang kini banyak direkrut teroris. Namun, ini bukan berarti usia di atas 30 tahun tak menjadi target doktrin.

"Memang benar milenial direkrut, apalagi lewat media sosial dan propaganda yang disebarkan melalui smartphone. Saya kira milenial paling terbuka menerima pesan dan propaganda melalui teknologi baru. Tapi harus diingat bahwa bukan saja milenial yang direkrut, karena kita lihat keluarga di Makassar, Rizaldi dan adiknya yang ikut JAD Makassar, mereka semua umur 40 tahun," kata Sidney kepada Liputan6.com.

"Saya kira keliru kalau kita lihat ada tren seolah-olah milenial yang direkrut, padahal masih ada banyak orang dengan umur 30 dan 40 tahun yang masih tertarik dengan ideologi ekstrim."

Wanita lulusan University of Pennsylvania itu mengatakan, tidak ada latar belakang khusus dari kaum milenial yang direkrut teroris. "Bisa laki-laki atau perempuan, bisa terdidik atau hanya pendidikan SD, bisa dari golongan tengah ke atas atau relatif miskin. Tidak ada profil yang paling rapuh untuk rekrutmen," ujarnya.

Ia menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat milenial tertarik gabung paham radikal. "Ada aspirasi dari milenial untuk melakukan sesuatu yang heroik. Ada juga yang melihat bahwa mereka mungkin melalui terorisme bisa menolong kelompok Islam yang tertindas. Hampir ada motivasi yang boleh dikatakan kemanusiaan, walaupun salah arahnya."

"Ada juga yang tertarik ikut ISIS karena mereka melihat bahwa itulah negara yang paling murni islamnya di dunia, walaupun sebetulnya ISIS tidak ada lagi karena tidak menguasai tanah di Suriah dan Irak."

Data penangkapan teroris 2019-2020 (Institute for Policy Analysis of Conflict)

Berdasarkan data IPAC, dalam dua tahun terakhir, kepolisian telah menangkap sebanyak 345 terduga teroris. Rinciannya 262 orang pada 2019 dan 83 orang pada 2020.

Rata-rata usianya adalah 33 dan 36 tahun. Dari 345 terduga teroris tersebut, sebanyak 88 di antaranya masih berusia di bawah 26 tahun.

Menurut Sidney Jones, para orang tua kini harus bisa melihat tanda-tanda jika anaknya mulai terpapar radikalisme. "Kalau mereka melihat anaknya mulai berubah atau mulai tidak bergaul lagi dengan teman lama, orang tua harusnya ke mana? Kalau di Eropa biasanya ada satu orang tertentu dalam sekolah dimana orang tua bisa melapor, tanpa ada sanksi kepada anaknya."

"Saya kira Indonesia harus mulai memikirkan, kalau ada kekhawatiran dari orang tua, mereka harus melapor kepada siapa, tanpa melibatkan keluarga dalam proses hukum," ucap dia.

Psikologi Forensik Reza Indragiri, mengungkapkan, beranak-pinaknya pelaku teror banyak melalui mekanisme self-radicalization dan self-recruitment. Pasokan modul terorisme berserakan di dunia maya dan media sosial.

"Merisaukan, generasi milenial adalah warga asli dunia itu. Mereka adalah pembelajar mandiri. Sehingga, lewat dua mekanisme tadi, lone wolf yang berasal dari kalangan muda tampaknya akan tumbuh subur," kata Reza kepada Liputan6.com.

Reza menyarankan kepada BNPT untuk menangkal self-radicalization lewat internet dan media sosial dengan strategi pencegahan yang baru. Dia khawatir program pencegahan BNPT kalah cepat dibandingkan lalu-lalangnya informasi-informasi jahat di internet.

"Sebagai gantinya, kelola konten dan teknis semaksimal mungkin. Dari sisi konten, kita perlu perbanyak catatan prestasi positif tentang Pancasila yang kita sebut sebagai ideologi yang tergantikan. Sebarkan catatan hebat tentang Pancasila itu di dunia maya. Selama catatan itu dianggap masih minim, maka hal-hal lain akan menenggelamkan kedigdayaan Pancasila itu."

3 dari 6 halaman

Pribadi Ramah Teroris Makassar dan ZA yang Misterius

Salah satu pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, L, ternyata sebelumnya dikenal sosok pria yang ramah dan sabar. Setidaknya itu yang diceritakan Sudirman, tetangga L di Jalan Tinumbu.

Sementara di mata Nuraeni, Ketua RT setempat, L sejak dulu dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup. Setelah menikah dengan YSF pada Agustus 2020, perilaku L juga dinilai berubah.

L dan YSF dinikahkan oleh anggota JAD yang ditembak mati di Villa Mutiara pada Januari 2021, Ustaz Rizaldi. Setelah pernikahan itu, sosok L, menurut Nuraeni, jadi lebih agamis dan penampilannya berubah yaitu dengan menumbuhkan janggut dan memotong rambut menjadi pendek.

Sebelum nekat melakukan bom bunuh diri, L dan YSF dikenal sebagai kerap berjualan makanan secara daring. YSF membuat makanan dan L yang mengantar ke tempat pembeli. Usai menikah, L dan YSF mengontrak rumah sendiri yang lokasinya tidak jauh dari rumah ibunda L.

L dan YSF sesungguhnya masuk daftar teroris JAD Sulsel yang akan ditangkap oleh aparat bersama 24 anggota lainnya. Namun sebelum tertangkap, keduanya keburu melakukan aksi bom bunuh diri.

Sementara itu, aksi nekat ZA yang menyerang Mabes Polri di Jakarta Selatan pada Rabu (31/3/2021) begitu menggegerkan publik. Serangan ZA hanya berselang tiga hari setelah bom bunuh diri L dan YSF di Makassar. ZA memakai senjata jenis Airgun berkaliber 4,5 MM untuk menembaki petugas di pos, sebelum akhirnya dilumpuhkan hingga tewas di tempat.

Sejauh ini, ZA masih dianggap sebagai lone wolf terorist walaupun berideologi radikal ISIS. ZA membuat postingan berbau ISIS di Instagram hanya 21 jam sebelum melakukan aksinya di Mabes Polri. Tapi, Densus 88 Antiteror Mabes Polri telah menangkap penjual senjata airgun yang digunakan ZA untuk melakukan teror. Penjual senjata airgun berinisial MK dan berusia 29 tahun itu ditangkap di Kota Banda Aceh, Aceh.

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, menyebut bahwa MK sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dibawa ke Jakarta. Untuk saat ini, pelaku dijerat pasal terkait dengan senjata api ilegal, tapi ada kemungkinan menjerat tersangka dengan UU soal terorisme.

"Namun terus mendalami apakah nanti memenuhi unsur dalam UU terorisme. Artinya sudah jadi tersangka, namun masih tersangka yang diterapkan adalah kasus kepemilikan atau penjualan senpi ilegal," ujar Ahmad Ramadhan di Jakarta, Rabu (7/4/2021).

Sosok ZA dikenal sebagai perempuan yang sangat tertutup. Bahkan, ZA tidak banyak dikenal oleh warga di tempat tinggalnya. Perempuan berusia 25 tahun ini jarang bersosialisasi di lingkungan. Sang tetangga, Richard Tagori Pangaribuan, mengenal keluarga ZA dengan baik. 

Ayah ZA yang bekerja sebagai buruh bangunan dikenal taat beribadah dan sering salat di musala atau masjid dekat tempat tinggalnya. Ibunda ZA berhenti sebagai penjahit dan kini berjualan dengan membuka warung di rumahnya.

Menurut Richard, kepribadian ZA cenderung pendiam. Ketika sempat bertemu dengannya pun, ZA biasa hanya bertutur sapa sambil menganggukkan kepala tanpa berkata-kata lagi. Richard mengetahui ZA adalah anak yang pernah mengenyam bangku kuliah.

Rabani Harahap yang merupakan kerabat dekat keluarga ZA mengungkapkan bahwa sang ayah masih tidak mengetahui mengapa putrinya menyerang Mabes Polri. Saat bersilaturahmi ke rumah keluarga ZA, Rabani menilai, pelaku sangat sedikit bicara kepada orang lain.

Penuturan yang sama juga disampaikan Ketua RT setempat, Kusdi. Berdasarkan cerita keluarga kepada dirinya, ZA ternyata lebih banyak berdiam diri di dalam kamar. Sekalipun keluar, Zakiah hanya sampai di teras setelah itu kembali lagi masuk ke dalam kamar.

Pada hari kejadian, ZA meninggalkan rumah sejak pukul 9 pagi WIB dan pamit kepada ibunya. Ketika tidak ada kabar dari ZA sampai waktu maghrib, pihak keluarga cemas dan sempat terbesit melapor ke polisi. Kakak ZA sempat menghubungi nomor kontak ZA, tapi tidak aktif.

Berdasarkan laporan keluarga, Kusdi mengungkapkan bahwa ZA sering mengganti nomor ponselnya. Keluarganya merasa kesulitan melacak nomor ponsel ZA dan cuma ZA yang bisa menghubungi nomor kontak keluarganya. Penyelidikan polisi sampai saat ini masih belum menemukan kaitan ZA dengan JAD atau kelompok jaringan teroris yang menjadi antek ISIS. Lalu, apakah ZA betul-betul self-radicalize by social media? 

 Teror Lanjutan?

Mengenai serangan ZA ke Mabes Polri, Psikolog Forensik Reza Indragiri, berpendapat, pelaku diyakini sudah pasti mengetahui risiko apa yang bakal dia hadapi saat menyerang persis di inti dari intinya jantung lembaga kepolisian tanah air. Reza menilai, serangan ZA seperti sebuah aksi terencana untuk melakukan bunuh diri. Menurut dia, pelaku memang sengaja memprovokasi polisi dengan niat agar polisi kemudian menembaknya, di mana aksi ini dikenal dengan istilah suicide by cop.

Sementara itu, di mata Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, ZA berpotensi terinspirasi surat wasiat dari pelaku bom bunuh diri di Makassar, apabila melihat ada kemiripan juga dari surat wasiat kedua pelaku. Di sisi lain, Leebarty Taskarina melihat pola tiap aksi teror seringkali ada aksi teror lanjutannya.

Kemiripan surat wasiat dari pelaku teroris menurut Leebarty bukan terjadi di aksi Makassar dan Mabes Polri saja. Dian Yulia Novi, terdakwa kasus percobaan teror bom panci di Istana Negara pada 2016 juga memiliki konten surat wasiat yang serupa.

"Jadi bukan hanya terjadi ketika Makassar, kemudian isi suratnya sama. Kita bahas konten surat. Surga, teks keagamaan yang fanatik, semua dosa yang dia lakukan di masa lalu maka dia akan tebus sebagai ganti bahwa dia akan memperbaiki dirinya sendiri. Kemudian Dwi Djoko Wiwoho Direktur BP Batam yang berangkat ke Suriah kemudian satu keluarga bisa balik. Narasi SMS yang dia tinggalkan kepada bosnya, sama. Surga. Hampir semua wasiat atau pesan yang ditinggalkan di orang-orang yang tergabung atau terafiliasi kelompok-kelompok teroris, kontennya sama. Karena mereka diberikan narasi yang sama," beber Leebarty.

Mengenai apakah perbuatan nekat ZA merupakan gejala ikutan dari bom bunuh diri di Makassar, Leebarty menyatakan, itu pun ada polanya. Ketika kerusuhan Mako Brimob tahun 2018, narasi di grup-grup aktivitas kelompok teroris sudah mengajak para akhwat (perempuan) untuk maju di garda depan dalam aksi.

"Narasinya seperti: 'Sudah waktunya, para akhwat ada di depan, karena para ikhwan sudah banyak yang takut.' Akhirnya para akhwat itu terprovokasi lewat video yang sempat tersebar itu. Dua hari kemudian ada penusukan aparat Brimob di depan penjagaan. Hanya dengan menggunakan gunting. Perempuan hanya menggunakan gunting dan yang diserangnya Brimob, yang senjata di badannya bisa tiga. Bayangkan seberani itu, hanya untuk gejala ikutan terprovokasi karena kerusuhan Mako Brimob yang mengatasnamakan agama," kata Leebarty mengisahkan.

4 dari 6 halaman

Karakteristik JAD

Pasangan suami istri yang merupakan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Pengamat teroris Stanislaus Riyanta, mengatakan, ketika mengetahui peristiwa pengeboman dilakukan setelah ibadah Misa Palma di gereja, dia sudah menduga aksi itu dilakukan anggota JAD, yang memang memiliki karakteristik serangan seperti itu.

"Prediksi para analis sebagian besar mengatakan itu JAD dan memang benar ini bukan kejadian yang mengagetkan, pasalnya pada tahun 2018 ada kejadian serupa yang pelakunya berasal dari satu keluarga. Pada tahun 2019 juga terjadi pengeboman di sebuah gereja di Jolo, Filipina, yang pelakunya pasangan suami istri dari Sulawesi dan mereka juga JAD," ujar Stanislaus, seperti dilansir DW.

Kelompok teroris JAD diketahui merupakan antek dari ISIS. Mereka pula yang diketahui lebih memberikan ruang bagi perempuan untuk turun ke lapangan sebagai "pengantin" atau pelaku aksi bom bunuh diri. Pemboman di Makassar diyakini terjadi karena dilatarbelakangi tiga motif, yakni balas dendam, mencapai tujuan ideologi, dan eksistensi.

Balas dendam dilakukan setelah penangkapan terhadap 24 anggota JAD asal Sulawesi Selatan oleh Densus 88. Lalu, aksi bom bunuh diri di Makassar juga bertujuan menunjukkan bahwa kelompok JAD masih eksis saat situasi pandemi COVID-19.

"Kalau kita bicara tentang JAD, saya menduga jumlahnya lebih banyak lagi. Bisa lebih dari 20 ribu termasuk simpatisan, tetapi tersebar hampir merata di seluruh Indonesia. Semakin besar tekanan, ada dua kemungkinan mereka akan menghilang, menyembunyikan diri atau mereka melakukan aksi balasan yang dipercepat," ungkap Stanislaus.

Menurut mantan teroris Jamaah Islamiyah (JI), Ali Fauzi, kelompok JAD didirikan oleh Aman Abdurrahman dan kelompok ini pertama kali muncul di Indonesia seiring dengan munculnya ISIS di Irak dan Suriah.

"Jadi pada awalnya, kelompok-kelompok yang tergabung dalam JAD ini pada waktu itu lebih merespons konflik global seperti di Irak dan Suriah. Tapi belakangan, kelompok ini join juga dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), yang waktu itu dipimpin oleh Santoso, dan setelah Santoso tewas, diambil alih Ali Kalora yang sampai saat ini masih buron."

"Kelompok Ali Kalora sampai sekarang juga masih menebar teror di sekitar Morowali, Poso, Sigi, Sulawesi Tengah. Artinya masih terus menebar ancaman dan ini tidak boleh dianggap enteng."

Berdasarkan sejarah, JAD terbentuk atas inisiatif Aman Abdurrahman di Lembaga Pemasyarakatan Kembang Kuning Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dalam surat tuntutan yang dibacakan jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selata, Jumat (18/5/2018), disebutkan bahwa sekitar Oktober 2014, Aman Abdurrahman memanggil Marwan alias Abu Musa, Zainal Anshori alias Abu Fahry untuk datang menjenguknya di Lembaga Pemasyarakatan Kembang Kuning Nusakambangan, dan pada saat itu terdakwa menyampaikan tentang Daulah Islamiyah ISIS pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi.

Kala itu pendukung ISIS di Indonesia yang jumlahnya cukup banyak, memerlukan wadah organisasi. Wadah tersebut oleh Marwan alias Abu Musa dinamakan Jamaah Ansharut Daulah atau JAD pada Agustus 2014, yang maknanya adalah jamaah pendukung Daulah atau Khilafah Islamiyah atau ISIS dari Suriah. Sejak 2015, tercatat lebih dari seribu teroris ditangkap di Indonesia. Lebih dari 95 persen adalah pendukung ISIS.

Pergerakan kelompok jaringan JAD memencar sejak pemerintah menerbitkan Undang-Undang Terorisme Nomor 5 tahun 2018. Selain itu, JAD juga ditetapkan sebagai organisasi terlarang di Indonesia karena mendukung ISIS dan banyak operasi penangkapan dilakukan.

Tapi, data Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menunjukkan, dalam kurun waktu 2002 hingga 2020, sebanyak 11,4% dari 825 bekas narapidana teroris, atau lebih dari 90 orang, kembali terlibat gerakan terorisme selepas dari penjara. Yang mengkhawatirkan, dari 90 orang itu, sebanyak 38 orang di antaranya punya level militansi yang tinggi.

Setelah Aman Abdurrahman ditangkap kembali dan divonis pengadilan dengan hukuman mati, lalu Marwan yang disebut berangkat ke Suriah untuk melakukan jihad, posisi ketua JAD kini diduduki Zainal Anshori. Pola teror JAD sendiri dianggap cenderung acak.

Sebelum kejadian di Makassar 28 Maret lalu, serangkaian aksi keji JAD di antaranya bom bunuh diri di Thamrin, Jakarta pada Januari 2016, serangan Mapolres Surakarta pada Juli 2016, bom di Gereja Oikumene Sengkotek Samarinda pada November 2016, bom di Kampung Melayu, Jakarta pada Mei 2017, ledakan di Bandung pada Juni 2017, kerusuhan Mako Brimob pada Mei 2018, bom bunuh diri di tiga gereja dan Mapolresta Surabaya pada Mei 2018.

5 dari 6 halaman

Pelaku Perempuan, Korban yang Cuma Dimanfaatkan Teroris?

Beberapa tahun belakangan, sepak terjang perempuan dalam melakukan aksi bom bunuh diri menjadi hal yang tak asing. Mengenai fenomena ini, Analis Data Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Leebarty Taskarina, menilai memang terdapat perubahan pelibatan dalam aksi terorisme dari kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi ke Al-Qaeda dengan JAD yang berafiliasi ke ISIS.

"Beda dengan ISIS, yang justru mengabaikan status perempuan, mengabaikan dia janda, istri atau single. ISIS menempatkan perempuan kalau mau maju ke depan silakan maju ke depan atas nama agama, jihad, itulah yang mereka jual," ujar Leebarty.

"Saya sendiri masih meneliti ini, memang ada perubahan dari involuntary menjadi voluntary. Tetapi saya berpikir, kenapa akhirnya perempuan menjadi voluntary, itu karena dia tidak memiliki ruang moderasi berpikir, moderasi bicara, moderasi literasi. Yang dia lihat kelompok acuan dia, karena kelompok lain tidak memberikan tempat," imbuh dia.

Leebarty mengungkapkan, pada dasarnya, keterlibatan atau pelibatan perempuan itu memang menguntungkan kelompok dan jaringan teroris. Dia mengambil contoh bagaimana nyaris semua pembukaan rekening dan pendanaan untuk teror, justru rekeningnya milik perempuan atau istri. Sebab, dibanding laki-laki, perempuan lebih tidak dicurigai saat membuka rekening.

"Hampir semuanya perempuan, dari mulai kebutuhan logistik, pembelian barang lainnya, itu semua rekeningnya perempuan. Itu adalah contoh kecil bagaimana feminine wiles, yang dalam sebuah riset disebut sebagai tipu muslihat perempuan yang tidak mudah dicurigai itu nyata, termasuk dalam konteks Indonesia," tutur mahasiswi Doktoral Kriminologi UI ini.

Dari berbagai aksi yang pernah dilakukan teroris perempuan, Leebarty tetap menempatkannya sebagai korban. Dia sepakat bahwa perempuan hanya dimanfaatkan demi memuluskan rencana dan aksi-aksi keji teroris.

"Saya tidak memandang perempuan sebagai main actor, yang kemudian memang menjerumuskan mereka sendiri yang ingin melakukan itu, kemudian didasari tanpa ada viktimisasi struktural sebelumnya," jelas penulis buku "Istri Teroris, Korban yang Terlupakan" ini.

Namun, Leebarty menganggap sah-sah saja apabila terdapat perspektif bahwa teroris perempuan tetap dianggap bersalah dan pelaku mesti dihukum, karena memiliki bukti-bukti keterlibatan dalam dirinya.

"Silakan saja berpendapat demikian, karena hukum tidak memandang apa latar belakang keterlibatan dia bagaimana, selama hasil labfor menunjukkan ada bukti-bukti dia teroris. Tapi kalau pendapat saya, begitu. Saya ada pada opini di mana pastinya itu dikonstruksikan dia itu korban, ditunjuk seolah-olah pelaku. Mereka (perempuan) tetap subordinat di kelompok jaringan itu."

Leebarty menegaskan, dalam konteks terorisme, perempuan adalah designated victim, karena telah ditunjuk dengan sengaja dan ditempatkan sedemikian rupa untuk menjadi aktor atau di garda terdepan. Perempuan sejatinya merupakan korban dari amplifikasi narasi-narasi kekerasan yang dikemas dalam teks keagamaan yang menyimpang.

Dia menilai, kelompok teroris menanamkan narasi yang seakan-akan memberi ruang bagi perempuan mengaktualisasi diri sebagai "perempuan ideal"," yang terlibat dalam perjuangan melawan ketidakadilan atas nama agama.

6 dari 6 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.