Sukses

KPAI Sebut PJJ Selama Pandemi Covid-19 Picu Meningkatnya Kasus Putus Sekolah

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, pandemi Covid-19 dan pemberlakuan belajar dari rumah atau PJJ menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah.

Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, pandemi Covid-19 dan kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar dari rumah atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi salah satu pemicu putus sekolah.

Karena, siswa melakukan pernikahan dini atau memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orangtua kehilangan pekerjaan. Menurut Retno, ketika anak menikah atau bekerja, maka secara otomatis berhenti sekolah.

Hasil pengawasan KPAI menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 berpotensi kuat meningkatnya angka putus sekolah.

"Saat KPAI melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di masa pandemi pada delapan provinsi, ternyata beberapa kepala sekolah menyampaikan bahwa ada peserta didiknya yang putus sekolah, karena beberapa sebab. Misalnya tidak memiliki alat daring, kalaupun punya tidak mampu membeli kuota internet. Sehingga anak-anak tersebut selama berbulan-bulan tidak mengikuti PJJ, dan akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah," kata Retno dalam keterangannya, Rabu (17/2/2021).

Dia menuturkan, mulai Juni 2020 hingga Februari 2021, KPAI menerima pengaduan terkait masalah pembayaran SPP pada masa pandemi Covid-19, terutama di sekolah swasta. Kasus tersebut diselesaikan melalui mediasi dengan melibatkan Dinas Pendidikan setempat sebagai pengawas dan pembina sekolah negeri maupun sekolah swasta.

"Pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena adanya kebijakan Belajar Dari Rumah dan masalah tunggakan SPP, mulai dari tunggakan tiga bulan sampai 10 bulan. Pengaduan meliputi jenjang PAUD sampai SMA/SMK, baik sekolah negeri maupun swasta, tetapi yang terbanyak sekolah swasta," ujar Retno.

Retno menjelaskan, pengaduan tersebut berasal dari Provinsi DKI Jakarta yakni Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Kemudian Provinsi Jawa Barat meliputi Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Cirebon).

Lalu Jawa Tengah seperti Kota Surakarta dan Kabupaten Temanggung, Provinsi Banten seperti Kota Tangerang dan Kota Tangsel, Provinsi Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Provinsi Riau.

"Pengaduan terbesar berasal dari DKI Jakarta 45,2 persen, Jawa Barat 22,58 Persen, Banten 9,67 persen," terang Retno.

Retno mengungkapkan, meskipun DKI Jakarta masuk pengaduan terbanyak, Dinas Pendidikan DKI Jakarta sangat kooperatif dalam upaya menyelesaikan dan memiliki program Kartu Jakarta Pintar dan KJP Plus bagi anak dari keluarga tidak mampu, sehingga memudahkan penyelesaian.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kemendikbud Sebut PJJ Berdampak Buruk Bagi Siswa

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebut pendidikan jarak jauh (PJJ) akibat pandemi COVID-19 memberi dampak negatif bagi siswa.

"Mulai dari ancaman putus sekolah, yang disebabkan anak terpaksa bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah pandemi COVID-19," ujar Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri di Jakarta, Selasa (1/12/2020).

Dia menjelaskan pelaksanaan PJJ membuat orangtua memiliki persepsi tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar-mengajar apabila pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.

Dampak berikutnya adalah kendala tumbuh kembang, yang mana terjadi kesenjangan capaian belajar.

"Perbedaan akses dan kualitas selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio ekonomi berbeda," jelas dia seperti dikutip dari Antara.

Kemudian, akan terjadi risiko kehilangan pembelajaran yang terjadi secara berkepanjangan dan menghambat tumbuh kembang anak secara optimal.

Dampak selanjutnya adalah tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga yang mana mengakibatkan anak stres akibat minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan luar. Ditambah tekanan akibat sulitnya pembelajaran jarak jauh yang menyebabkan stres pada anak.

"Juga kasus kekerasan banyak yang tidak terdeteksi, tanpa sekolah banyak anak terjebak pada kekerasan di rumah tanpa terdeteksi oleh guru,” kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.