Sukses

Serambi Mekah Berkalang Tanah

Nasib rakyat Aceh ditentukan tiga pilihan dari pemerintah. Status darurat sipil paling memungkinkan untuk diberlakukan. Sayang, belum tentu menjamin Aceh tenang.

Liputan6.com, Jakarta: Nasib Provinsi Aceh bak di ujung tanduk. Pemerintah telah menelurkan tiga pilihan yang berhubungan dengan kondisi terakhir keamanan di Negeri Serambi Mekah: menggelar dialog, mengembalikan kepercayaan rakyat Aceh, dan memberlakukan status darurat sipil. Ketiga opsi yang diduga bakal dapat menyelesaikan konflik usang ini, rencananya akan dilakukan secara bertahap. Kendati demikian, sayangnya hanya soal pemberlakuan status daerah darurat sipil saja yang mengemuka. Jangan heran, banyak yang menganggap persoalan provinsi paling barat di Indonesia ini sudah menemui jalan buntu.

Palu keputusan memang belum diketuk. Kendati begitu, pemerintah juga tak menganggap enteng situasi di Aceh yang tak kunjung beres. Apalagi, korban masih saja terus berjatuhan. Menurut Menteri Pertahanan Mahfud M.D., pemerintah akan mengambil tindakan tegas bila kekerasan masih terjadi. Misalnya dengan memberlakukan status daerah darurat sipil maupun militer.

Langkah pemerintah ini, tambah Mahfud, nantinya juga termasuk rencana mempercepat realisasi berbagai program pembangunan yang telah direncanakan. Namun, bila keadaan tetap tak aman, niat tadi pasti akan berubah. Mahfud juga menambahkan, pemerintah akan terus mencari formulasi yang tepat untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Dalam kesempatan berbeda, Ketua MPR Amien Rais mendesak pemerintah segera menyelesaikan formulasi penyelesaian masalah Aceh paling lambat akhir 2000. Soalnya, jika kondisi keamanan dan perekonomian di Aceh tak segera ditangani, tuntutan referendum untuk memisahkan diri akan semakin kuat.

Menurut Amien, selama berada di Sumatra dan melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat Aceh, isyarat tuntutan referendum terus menguat. Sebab, menurut masyarakat Aceh, pemerintah pusat tak memiliki format jelas dalam penyelesaian kasus Aceh. Selain itu, pemerintah juga hanya dianggap mengumbar janji dalam menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh. Seharusnya, pemerintah bisa membatasi gerakan militer di Aceh.

Sebenarnya, pemerintah tak berpangku tangan. Menurut Menteri Koordinator Politik Sosial dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah telah memberikan beberapa opsi untuk menyelesaikan masalah Aceh. Tak hanya itu, menurut Susilo, masalah Aceh yang sangat kompleks tak tepat untuk pemberlakuan darurat sipil. Apalagi, konflik di wilayah itu pun amat berbeda dengan masalah yang tengah terjadi di Maluku.

Di Aceh, menurut Susilo, masalahnya meliputi segala aspek termasuk soal keadilan, ketimpangan pembangunan, perkembangan aspirasi lokal, dan tuntutan otonomi daerah. Apalagi, tambah Susilo, pemerintah juga tak hanya memandang kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka dan Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) saja. Namun, juga keberadaan seluruh masyarakat.

Lantaran itulah, pemerintah juga tidak akan mentolelir kehendak untuk menghadirkan perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga internasional lainnya di Aceh [Baca: Kehadiran Perwakilan PBB Melecehkan Kedaulatan RI, 21/11/2000]. Sebab, menurut Mahfud, keinginan tadi dinilai amat meremehkan kedaulatan Indonesia.

Usulan yang dicetuskan dalam Sidang Rakyat Aceh ini jelas membuat naik pitam. Mahfud berpendapat, kehadiran perwakilan PBB atau lembaga internasional di Aceh tidak beralasan. Sebab, kata dia, Aceh adalah bagian dari Indonesia. Dengan demikian, lanjut dia, pemerintah memiliki wewenang penuh untuk menegakkan hukum dan kedaulatan di sana. "Keberadaan perwakilan internasional hanya akan menyinggung perasaan bangsa Indonesia," kata Mahfud menegaskan.

Semangat senada pun tampaknya muncul dalam Rapat Koordinasi bidang Politik dan Keamanan yang mengulas soal tuntutan cerai dari beberapa daerah di Tanah Air. Syahdan, niat sekelompok masyarakat itu bakal dilaksanakan pada 1 dan 4 Desember 2000 ini [Baca: Pemerintah Akan Memastikan Keutuhan RI, 20/11/2000]. Namun menurut Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak, sikap pemerintah telah jelas. Negara ini tetap mempertahankan Aceh, Riau, dan Irianjaya dalam kesatuan Republik Indonesia.

Kasak-kusuk soal pemisahan diri dan niat pemberlakuan status daerah darurat sipil memang tengah menghangat. Kendati begitu, menurut Wakil Ketua Komisi I DPR Ferry Tinggogoy, pemerintah mestinya tak terlalu terpengaruh oleh aksi kaum separatis SIRA dan GAM. Sebab, mayoritas masyarakat Aceh tidak terwakili oleh kedua komponen masyarakat Aceh tersebut. Karena itu, status daerah sipil untuk Aceh belum relevan untuk dilakukan [Baca: Ferry Tinggogoy: Status Darurat Sipil Hanya Wacana, 26/11/2000].

Menurut Ferry lagi, status daerah darurat sipil tersebut lebih relevan apabila di Aceh terjadi bencana alam yang besar, bukan untuk penegakan keamanan. Jadi, keinginan menerapkan darurat sipil di Aceh hanyalah sebuah wacana semata. Sebab, masih ada tiga upaya yang perlu diprioritaskan pemerintah. Yakni, melanjutkan dialog dengan kaum separatis untuk mencapai kesepakatan damai, melakukan penegakan hukum yang lebih tegas jika pertikaian yang terjadi bertambah besar, dan terakhir, baru menerapkan status darurat sipil atau darurat militer.

DPR sendiri, menurut dia, tetap mengharapkan bahwa pemberlakuan darurat sipil itu menjadi alternatif terakhir. Apalagi saat ini, wakil rakyat telah banyak mengupayakan perumusan Undang-undang masalah Aceh. Di antaranya, mengupayakan 10 butir rekomendasi Panitia Khusus mengenai masalah Aceh, perpanjangan Landasan Udara, serta mengupayakan Daerah Perdagangan Bebas Sabang. UU mengenai hal itu, katanya, sudah diserahkan kepada pemerintah. Namun, ia menjelaskan, pelaksanaannya tentu tidak bisa serta merta dan masih memerlukan waktu.

Sayang, pernyataan Ferry ini tak didukung rekan sejawat. Buktinya, Ketua Komisi I DPR Yasril Ananta Baharudin dan Ketua Komisi II Amin Aryoso malah memberi dukungan penuh atas usulan pemberlakuan status darurat sipil bagi Aceh [Baca: DPR Dukung Pemberlakuan Darurat Sipil, 23/11/2000]. Menurut keduanya, pemerintah sebaiknya segera memberlakukan "kebijakan" itu sebelum Ramadhan ini, sehubungan dengan meningkatnya ancaman disintegrasi.

Dalam pemahaman dua ketua komisi yang masing-masing membidangi masalah politik dan keamanan serta hukum itu, pemerintah mesti bertindak serius dalam mengantisipasi ancaman disintegrasi di Aceh. Bahkan, pelanggaran program Jeda Kemanusiaan yang dilakukan oleh kaum separatis GAM mengharuskan pemerintah tak bisa main-main lagi. Jadi mereka menilai, pemberlakuan darurat sipil jangan ditunda.

Meski keduanya tampak berapi-api, dualisme kembali hadir di kubu legislatif negara ini. Sejumlah anggota Komisi II DPR memprotes desakan ketuanya untuk memberlakukan darurat sipil di Aceh. Mereka menilai desakan tersebut bersifat pribadi, karena Komisi II tak pernah merekomendasikan pemberlakuan status khusus itu buat Serambi Mekah.

Menurut Wakil Ketua Komisi II Hamdan Zoelva dan anggotanya Julius Usman, penyelesaian masalah Aceh tak cukup dengan pemberlakuan darurat sipil saja, tapi harus disertai dengan langkah amnesti. Selain itu, dialog intensif dengan berbagai komponen masyarakat di sana juga harus ditempuh.

Pernyataan ini rupanya mendapat sokongan dari hasil Rapat Kerja Nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sebab, menurut satu poin penting yang dihasilkan, pemerintah harus melakukan pendekatan yang sifatnya agamais, sosial, dan kebudayaan terlebih dulu, sebelum menetapkan kondisi darurat sipil di daerah Serambi Mekah.

Keputusan itu tak berlebihan. Pasalnya, pemerintah harus memperhatikan masalah keamanan masyarakat. Bukan sebaliknya yang selama ini terjadi, justru semakin menyebabkan masyarakat menjadi korban. Selain itu, sesuai yang akan direkomendasikan, sebaiknya pemerintah segera menindak tegas kelompok separatis GAM yang dinilai telah membuat keadaan semakin tak aman saja.

Sementara itu Ketua DPR Akbar Tandjung juga menegaskan hal senada. Menurut dia, Pemerintah dan DPR sepakat untuk memprioritaskan dialog dalam penanganan kasus Aceh. Selain upaya penegakan hukum harus konsisten juga otonomi khusus untuk Aceh harus dipercepat. Sebab, yang dibutuhkan masyarakat Aceh adalah keadilan dan jaminan rasa aman. Menurut Akbar, satu langkah nyata yang harus dilakukan adalah membahas Rancangan Undang-undang Nangroe Aceh Darussalam.

Bak gayung bersambut, niat Akbar ditanggap ahli hukum tatanegara Universitas Indonesia Ismail Suny. Menurut dia, pemerintah harus segera mengeluarkan Undang-undang Otonomi Daerah bagi Aceh. Pasalnya, saat ini keadaan di Aceh itu sangat genting dan tuntutan merdeka kian kuat. Menurut Ismail, UU tersebut diharapkan dapat menjadi jalan tengah terhadap mengantisipasi keinginan memisahkan Aceh dari Indonesia.

Meski begitu, nasib Provinsi Aceh memang tak hanya ditentukan oleh pemerintah semata. Sebab, keinginan yang sama juga harus datang dari lubuk hati seluruh lapisan masyarakat di Tanah Rencong. Itu pun, jika memang masih ingin bersatu di bawah payung Ibu Pertiwi.(BMI)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.