Sukses

HEADLINE: Suntikan Dana Rp 4,7 Triliun, KPU Siap Gelar Pilkada di Tengah Pandemi?

Komisi II DPR dan Kementerian Keuangan sepakat menambah anggaran Rp 4,7 triliun untuk KPU dalam menyelenggarakan Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang.

Liputan6.com, Jakarta - Pilkada serentak 2020 memasuki babak baru. Setelah dipastikan akan digelar 9 Desember mendatang, pemerintah menggelontorkan dana melimpah agar hajatan demokrasi tersebut terjamin. Komisi II DPR RI bersama Kementerian Keuangan sepakat menambah anggaran KPU RI untuk Pilkada 2020 sebesar Rp 4,76 triliun. Dana tersebut bersumber dari APBN 2020.

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyatakan, penambahan anggaran tersebut untuk menjamin pilkada 2020 berjalan sesuai protokol kesehatan Covid-19. Penambahan anggaran akan direalisasikan selama tiga tahap. Tahap pertama akan dicairkan sebesar Rp 1,02 triliun.

"Menteri Keuangan berkomitmen merealisasikan anggaran tahap pertama sebesar Rp 1,02 kepada KPU dan Bawaslu RI pada Juni 2020," ujar Doli di gedung parlemen Senayan, Kamis (11/6/2020).

Sedangkan realisasi anggaran tahap berikutnya akan diputuskan berdasarkan hasil rekonsiliasi kebutuhan riil anggaran antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, KPU, Bawaslu, DKPP, dan Gugus Tugas percepatan Penanganan Covid-19 selambat-lambatnya pada 17 Juni 2020.

Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menyatakan, keputusan penambahan anggaran pilkada 2020 belum cukup. Menurutnya, yang jauh lebih penting adalah bagaimana memastikan keputusan itu terimplementasi dan sesuai dengan tujuan.

"Pastikan anggaran itu sampai ke daerah dan penyelenggara yang dibutuhkan, serta dapat digunakan untuk pelaksanaan pilkada. Ini yang harus dipastikan," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (12/6/2020). 

Menurutnya, merealisasikan hal tersebut jelas bukan hal mudah mengingat tahapan pilkada sangat mepet dan sudah akan dimulai pada Senin 15 Juni 2020.

Infografis Suntikan Dana Pilkada 2020 di Tengah Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

"KPU mesti tegas, kalau kebutuhan protokol kesehatan Covid-19 belum ada, tahapannya jangan dimulai. Karena itu jadi prasyarat pilkada di tengah pandemi yang sudah diputusakan bersama," ucapnya.

Fadli menambahkan, meski anggaran dana dipastikan aman, pilkada di tengah pandemi Covid-19 mempunyai risiko tinggi. Mepetnya masa transisi dan adanya sejumlah daerah daerah yang masih belum aman dari Covid-19, membuat pilkada 2020 dibayang-bayangi pandemi.

"Idealnya kalau memang jumlah korban terinfeksi di suatu daerah tinggi, rekomendasi pilkadanya jangan dilanjutkan dulu," tukas Fadli Ramadhanil.

Peneliti Utama Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Gumay menyatakan, penambahan dana pilkada menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Sebab, pilkada 2020 digelar di tengah pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya habis.

Yang perlu dilakukan saat ini, kata Hadar, adalah memastikan anggaran tersebut turun segera dan bisa digunakan untuk operasional di lapangan. Terlebih tahapan pilkada 2020 sudah dimulai Senin 15 Juni mendatang. 

"Ketersediaan dana yang cukup, diterima dan dapat digunakan tepat waktu, serta melalui proses yang tidak rumit menjadi hal penting," ujar Hadar kepada Liputan6.com, Jumat (12/6/2020).

Mantan anggota KPU ini menyatakan, hasil keputusan Komisi II DPR dan Kementerian Keuangan belum memastikan ini. Komitmen yang ada baru realisasi dana sebesar Rp 1,02 triliun yang belum dipastikan kapan akan diterima. Demikian juga untuk jumlah sisanya. Padahal waktu mulai pilkada sudah sangat mepet.

Hadar menyatakan, selama ini dana pilkada berasal dari APBD yang disepakati melalui naskah perjanjian hibah daerah (NPHD).

"Sekarang jika akan diturunkan dana dari APBN perlu dipastikan lancar dan aman bagi penyelenggara," tambahnya.

Satu hal yang penting penting lainnya yang harus ada saat pilkada di masa pandemi adalah tersedianya alat pengaman diri (APD) Covid-19. APD harus dipastikan siap saat hari H pilkada. 

"Ketrampilan dan kedisiplinan menggunakan APD dan melalui prosedur tahapan yang diatur juga  menjadi sangat penting agar pemanfaatan menjadi efektif," sambungnya.

Menurutnya, dibutuhkan cukup waktu untuk mempersiapan semua itu. "Kalau dirasa tidak tersedia waktu cukup, sebaiknya rencana pilkada lanjutan tidak usah diteruskan tahun ini," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Rp 4,7 Triliun untuk Apa?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) membeberkan peruntukan dana tambahan Rp 4,7 triliun yang disetujui DPR dan Kementerian Keuangan. Ketua KPK Arief Budiman menyatakan, penambahan anggaran yang berasal dari APBN tersebut, bakal digunakan untuk menyelenggarakan pilkada serentak 2020. 

Tambahan dana tersebut mencakup kebutuhan tambahan anggaran dari KPU Pusat maupun KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Juga tambahan anggaran bagi lembaga ad hoc. Adapun usulan tambahan anggaran dari KPU Pusat Sebesar Rp 83,7 miliar, KPU Provinsi sebesar Rp 6,791 miliar, KPU Kabupaten/Kota sebesar Rp 38,241 miliar. Sedangkan tambahan anggaran untuk lembaga ad hoc Rp 3,782 triliun.

Menurut Arief, usulan tersebut sudah mengalami perubahan dari jumlah sebelumnya sebesar Rp 5,6 triliun. Pihaknya melakukan berbagai perubahan sehingga besaran tambahan anggaran yang diajukan berkurang. Salah satunya pengurangan pada besaran usulan tambahan anggaran untuk KPU Pusat. 

"Sebelumnya KPU (Pusat) mengusulkan anggaran Rp 129 miliar. Perubahan sehingga hasilnya kami hanya usulkan Rp 83,7 miliar untuk KPU. Terdapat perubahan Rp 45,2 miliar," ungkapnya, Jumat (12/6/2020).

Usulan anggaran untuk badan ad hoc juga mengalami pengurangan dari sebelumnya Rp 4,088 triliun menjadi Rp 3,782 triliun besaran pengurangan sebesar Rp 306,07 miliar. Sementara usulan tambahan anggaran untuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak mengalami perubahan.

"Sehingga total anggaran yang diajukan KPU dari Rp 5,6 triliun menjadi Rp 4,7 triliun. Atau terjadi pengurangan sebanyak Rp 926 miliar," kata dia.

"Kami usulkan agar tambahan ini dapat disetujui," imbuhnya.

Arief juga mengusulkan agar pencairan dana tersebut dapat dilakukan dalam tiga tahap. Untuk tahap pertama KPU mengusulkan agar dapat dicairkan bulan Juni sebesar Rp 1,024 triliun.

"Tahap kedua Agustus Rp 3,286 triliun. Tahap ketiga Oktober sebesar Rp 457 miliar," tandas dia.

Arief menambahkan, penambahan anggaran tersebut juga untuk memenuhi kebutuhan penyelenggara dalam penerapan protokol kesehatan yang ketat di masa pandemi Covid-19. Di antaranya adalah masker kain 13 juta lembar, masker sekali pakai untuk petugas KPPS 304.927 boks. Kemudian masker sekali pakai cadangan untuk pemilih di TPS sebanyak 609.854 boks.

"Selain itu ada juga hand sanitizer, desinfektan, dan seterusnya," ujar Arief.

Arief menyatakan, setiap petugas nantinya juga perlu dibekali vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh agar tidak mudah tertular Covid-19. Petugas pilkada harus memakai masker sejak dari rumah hingga di TPS.

Selain itu, KPU juga ingin pemilih dapat disediakan masker, sabun pencuci tangan cair, dan gentong air pada setiap TPS. KPU ingin menerapkan aturan dilarang bersalaman, dilarang berdekatan guna mematuhi physical distancing.

Komisioner KPU Hasyim Asyari mengatakan, KPU sudah cukup siap menyelenggarakan Pilkada 2020. Jika menilik sisi kesiapan secara kelembagaan, kata dia, maka tingkat kesiapan KPU sudah mencapai 80 persen. 

"Itu ada beberapa indikator. Pertama kesiapan regulasi atau aspek kerangka hukum untuk menyelenggarakan Pilkada 2020. UU sudah siap. Peraturan KPU juga sudah siap," kata Hasyim, Jakarta, Kamis (11/6/2020).

Menurut dia, lembaga atau unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pilkada pun sudah dibentuk. Mulai dari pusat hingga kecamatan.

"Penyelenggara pemilu dalam arti personel di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota termasuk badan ad hoc apakah sudah siap," ujar Hasyim.

Hanya saja, Hasyim mengatakan petugas untuk melakukan pemutakhiran data serta anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS  memang belum direkrut. 

"Untuk petugas pemutakhiran data pemilih belum direkrut. Anggota KPPS juga belum direkrut. Jadi dari segi kelembagaan bukan dari jumlah orang  dapat dikatakan 80 persen sudah siap untuk kelembagaan tapi kalau personel yang belum ada adalah PPDP dan KPPS karena memang tahapannya belum," kata Hasyim.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat Wahyu Sanjaya menyatakan, penambahan anggaran Pilkada menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan saat ini.

Penyelenggara pemilu, kata dia, harus menjalankan Pilkada serentak di tengah pandemi karena menjalankan perintah Perppu Nomor 2/2020. Karena itu, konsekuensi naiknya anggaran untuk penyelenggaraan Pilkada harus dipenuhi oleh pemerintah.

"Ini adalah dampak dari diterbitkannya Perppu 02 dimana mereka harus melaksanakan Pilkada pada 9 Desember 2020," tegas dia, Jumat (12/6/2020).

Dia pun membandingkan antara besaran tambahan anggaran dengan besaran penyertaan modal negara (PMN) yang dikucurkan pemerintah kepada BUMN. Padahal risiko yang harus ditanggung penyelenggara pemilu sangat besar bila pilkada dilaksanakan di tengah Pandemi Covid-19.

"Hutama Karya Rp 7,5 triliun (PMN). KPU, Bawaslu, DKPP kalah sama Hutama Karya. padahal mereka menyelenggarakan pilkada di 270 kabupaten/kota dan berpotensi terjadi penularan massal terhadap 100 juta pemilih dan hampir 200 ribu penyelenggara. Jadi kita tidak bisa bermain-main dengan protokol Covid-19 atau menjadi ajang uji coba," tandasnya.

3 dari 3 halaman

Wajib Pahami Protokol Covid-19

Menggelar pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir, mengundang kecemasan sejumlah pihak. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo pun mewanti-wanti penyelenggara pemilu memperhatikan risiko yang akan dihadapi saat melaksanakan Pilkada 2020. 

"Kami melaporkan, Covid-19 masih berlangsung dan kita belum tahu kapan berakhir. Tapi kita pun selalu mempersiapkan diri mengantisipasi program yang tetap harus dilakukan. Termasuk  pilkada untuk 270 kabupaten kota" ujar Doni, Kamis (11/6/2020).

Doni menyatakan, meski pihaknya telah merekomendasikan pelaksanaan pilkada serentak, tapi tetap ada syarat yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pemilu. Penyelenggara harus mematuhi protokol kesehatan.

"Protokol kesehatan yang harus ditaati adalah tidak dibenarkan adanya pertemuan dalam jumlah besar. Kalau toh akan dilakukan pertemuan harus skala terbatas. itu pun harus dipastikan mendapatkan pengawasan yang ketat," tegas Doni.

Sebab saat ini kondisi risiko daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak sangat bervariasi. Selain itu, perkembangan penyebaran Covid-19 di daerah-daerah tersebut juga fluktuatif.

"Bisa jadi yang merah jelang pelaksanaan menjadi kuning misalnya. Juga sebaliknya, yang kuning berubah jadi oranye atau merah," ungkap dia.

Jika menilik data Gugus Tugas Penanganan Covid-19, hingga hari ini terdapat 40 kabupaten/kota yang akan melaksanakan Pilkada daerah masuk dalam daerah berisiko tinggi. 

"43 (kabupaten/kota) tidak terdampak, kemudian 72 risiko ringan, 99 risiko sedang, dan 40 berisiko tinggi. Data ini akan berkembang terus setiap minggu," imbuh Doni. 

Doni meminta penyelenggaran Pilkada 2020 benar-benar paham daerah mana yang masuk zona hijau, kuning dan merah covid-19. Hal tersebut menurut Doni penting untuk menghindai penyebaran virus corona.

"Mohon kiranya penyelenggara pilkada bisa mengetahui secara detil daerah mana saja yang zona hijau, kuning dan merah,”kata Doni.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini