Sukses

Manuver PKS di Pusaran Koalisi Prabowo

Koalisi pendukung Prabowo dinilai belum solid.

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi partai politik pendukung Jokowi telah menyepakati nama calon wakil presiden yang akan diusung. Di sudut lain, parpol pendukung Prabowo Subianto masih saling ngotot meminta jatah kursi RI-2.

Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mempertimbangkan abstain atau tidak bersikap pada Pilpres 2019 jika kadernya tidak dipilih menjadi calon wakil presiden oleh Prabowo Subianto.

"(Abstain) itu salah satu opsi yang mungkin diambil kalau memang situasinya tidak memungkinan," kata Direktur Pencapresan PKS Suhud Alynudin saat dihubungi, Rabu 1 Agustus 2018.

Ia menegaskan, PKS tak membuat opsi untuk berkoalisi dengan Jokowi. Untuk itu, PKS lebih memilih abstain dalam Pilpres 2019 bila kadernya tak jadi cawapres pendamping Prabowo.

"Garis kebijakan PKS tidak membuka opsi koalisi dengan Pak Jokowi," ujarnya kepada Liputan6.com.

Suhud pun mengungkap adanya kesepakatan antara Prabowo dengan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufrie bahwa di Pilpres 2019, Gerindra mengusung capres dengan figur cawapres dari internal PKS.

"Berdasarkan itu, maka penambahan anggota koalisi Demokrat atau PAN, itu harus memperhatikan aspek tersebut," ujar Suhud. 

Prabowo, sambung dia, harus berkomitmen dengan kesepakatan PKS mendapat posisi cawapres. Kehadiran Demokrat diminta tidak mengganggu kenyamanan Gerindra-PKS yang sudah terbentuk sebelumnya.

"Ini harus dipertimbangkan serius keinginan dari umat. Ini tidak bisa dianggap main-main. Karena kalau ini tidak disikapi secara tepat bisa menjadi blunder bagi Pak Prabowo dan Gerindra," ungkap Suhud.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai rencana PKS untuk abstain atau tidak bersikap di Pilpres 2019 hanya bagian dari strategi politik. Wacana abstain digulirkan PKS jika kader mereka tidak dipilih sebagai calon wakil presiden oleh Prabowo Subianto.

"Ya setiap partai punya strategi, ada yang pakai strategi abstain. Tapi saya pikir itu hanya bagian dari strategi," kata Hasto.

Koalisi pedukung Prabowo pun dinilai belum solid. Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan melihat, masih ada kemungkinan koalisi Prabowo pecah. Menurut dia, PKS bisa saja balik badan karena tak dapat jatah cawapres.

"PKS mungkin mengambil sikap tak bergabung dengan Prabowo bila cawapres tidak dari PKS," kata Djayadi, Jumat 3 Agustus.

PKS ingin Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufrie yang direkomendasikan ijtima ulama GNPF menjadi cawapres. Bahkan, Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyudin menyebutkan bisa saja partainya membuka opsi abstain pada Pilores 2019 jika Prabowo tidak memilih kader PKS sebagai cawapres.

Sebaliknya, Djayadi menilai, jika Prabowo lebih memilih kader PKS sebagai cawapres, Partai Demokrat tidak akan total dalam memenangkan Prabowo. "Demokrat mungkin memainkan peran minimal bila AHY tidak dijadikan cawapres," ucap dia.

Sementara itu, pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, menilai Partai Demokrat memiliki agenda politik mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Pilpres 2019.

"Safari politik AHY ke sejumlah daerah dan pemampangan balihonya secara masif di berbagai pelosok negeri menjadi indikasi kuat dari agenda itu," kata Said.

Penilaian tersebut, kata Said, diperkuat dengan pernyataan elite-elite Demokrat yang terus bersuara tentang peluang AHY menjadi capres atau cawapres. Karena itu, sangat tidak logis jika Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan berkoalisi dengan Gerindra tanpa mengajukan nama AHY sebagai cawapres.

"Agenda untuk mengusung AHY sebagai cawapres tentu tidak bisa dilakukan secara pasif, melainkan harus dibarengi oleh sebuah proses komunikasi intens dengan pihak capres dan parpol lainnya," ungkap Said. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hubungan Mesra

Sekjen Gerindra Ahmad Muzani tak meyakini PKS bakal abstain di Pilpres 2019 nanti bila salah satu kadernya tak dipilih jadi cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2019. Sebab, hubungan Gerindra dan PKS sudah telanjur mesra.

"Hubungan Gerindra dan PKS sudah terlalu dalam, sehingga saya kira tidak bisa dipisahkan oleh suatu pandangan yang berbeda," ujar Muzani di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 2 Agustus 2018 malam.

Muzani juga menampik bila PKS cemburu karena partai Demokrat yang tiba-tiba bertamu ke Gerindra. Demokrat sendiri menjagokan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai cawapres. "Enggak juga (PKS kecewa), semuanya bisa diselesaikan," ujar dia.

Sampai saat ini komunikasi Gerindra dan PKS terjalin harmonis. Muzani mengaku siang tadi bertemu dengan Sekjen PKS Mustafa Kamal.

"Komunikasinya bagus, bagus dan bagus sekali tadi siang saya juga ketemu sama sekjen PKS sebelum saya kesini (Kertanegara) tadi siang saya ketemu sama Sekjen PKS," ungkapnya. 

Muzani pun mengaku rencananya Jumat ini akan bertemu dengan sejumlah jajaran PKS.

"Besok saya masih harus ketemu lagi dengan teman-teman PKS, jadi enggak ada problem. Lagi cocok-cocokkan waktu tempatnya," ucapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono justru menilai akan ada partai politik di koalisi Joko Widodo atau Jokowi yang pindah dan membentuk poros ketiga atau baru. Salah satu partai yang disebut akan angkat kaki adalah PKB.

"Kalau sekiranya mau bentuk poros baru, peluang itu relatif besar dari kubu Pak Jokowi. Karena kecukupan kursi yang ada. Yang lebih terbuka keluar koalisi di kubu Jokowi seperti PKB dan Golkar," ucap Ferry dalam sebuah diskusi di Gado-gadi Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/8/2018).

Dia memandang, hal ini karena para Ketum Parpol di koalisi Jokowi menghendaki untuk bisa menjadi cawapres. Sehingga kemungkinan pecah ada.

"Jadi relatif lebih besar peluang pecah itu di Jokowi. Kalau di kami relatif kecil sekali. Karena di kubu kami kekurangan cukup kursi untuk buat poros baru," ungkap Ferry.

Dia menegaskan, di kubu koalisi Prabowo Subianto relatif tak mudah rapuh karena hanya diisi partai yang sudah dekat dan sejalan dengan Gerindra. Terlebih dengan Prabowo Subianto, Ketua Umumnya.

"Jadi sebenarnya empat koalisi lebih gampang dibanding enam (koalisi jokowi) dalam memustukan," Ferry memungkasi.

3 dari 3 halaman

Koalisi Jokowi Lebih Siap

Hingga dua hari jelang  pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, kubu koalisi Prabowo Subianto hingga kini masih belum mendeklarasikan figur yang akan mendaftarkan diri sebagai capres dan cawapres yang akan diusung.

Terkait hal itu, Wasekjen DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menilai partai-partai pendukung Prabowo hanya sibuk melakukan pertemuan tanpa ada keputusan jelas. "Kalau di sana (koalisi Prabowo) bentuknya enggak ada sama sekali. Kalau kita (koalisi Jokowi) sudah ada bentuknya‎," kata Jazilul, kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 2 Agustus 2018.

Menurut dia, koalisi pendukung Prabowo lama mendeklarasikan capres-cawapresnya karena sadar kuatnya Jokowi sebagai capres yang akan dihadapi.

Selain itu, Jokowi juga menorehkan banyak prestasi selama memimpin di periode pertama dan partai pendukungnya sangat solid untuk memenangkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu pada periode kedua.

Saat ini, Jokowi sudah mendapat dukungan dari enam partai yang berada di parlemen, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP, dan Hanura. Jokowi juga sudah mengantongi nama cawapres yang akan mendampinginya pada Pilpres 2019 dan tinggal menunggu waktu tepat untuk diumumkan.

"Kubu sebelah (pendukung Prabowo) ada pertemuan-pertemuan, tapi enggak ada bentuknya sampai hari ini. Karena, kan, Pak Jokowi ini kuat. Jadi, mereka masih mencari bentuk," sambung dia.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, menilai koalisi partai pendukung Jokowi sangat siap menghadapi Pilpres 2019.

Sebaliknya, kata Pangi, koalisi pendukung Prabowo justru tidak kunjung menemukan kesepakatan mengenai figur yang akan diusung menjadi cawapres.

Prabowo yang sudah sejak lama diajukan menjadi capres oleh Gerindra tidak kunjung menetapkan cawapresnya, meski PKS sudah menyediakan sembilan nama berdasarkan rekomendasi majelis syuro, dan ada dua nama yang direkomendasikan hasil ijtimak ulama.

Sulitnya Prabowo memilih cawapres semakin tampak setelah Partai Demokrat merapatkan dukungan. Bahkan, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengajak putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, bertemu dengan Prabowo untuk membicarakan koalisi politik.

Setelah itu, muncul dugaan SBY mengajukan syarat dukungan pada Prabowo dengan AHY menjadi cawapres. Kehadiran Demokrat membuat posisi PKS terancam tersingkir dari bursa cawapres Prabowo.

"Poros Jokowi dianggap lebih siap dan sudah lebih solid ketimbang poros Prabowo. Itu harus kita akui. Sementara poros Prabowo dalam koalisi Partai Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN belum jelas ujungnya," ujar Pangi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.