Sukses

Fitra: KPK Beri Harapan Penyelesaian Kasus BLBI

Fitra khawatir terhadap eksistensi KPK yang berani mengungkap skandal kejahatan ekonomi terbesar, kasus BLBI.

Liputan6.com, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengapresiasi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung sebagai tersangka dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Deputi Bidang Hukum Fitra Apung Widadi mengatakan, dalam penyelidikan, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.

"Kami mengapresiasi langkah KPK, ini kasus hampir menjadi fosil. Kasus korupsi ekonomi terbebar di Indonesia," kata Apung di Kantor Seknas Fitra, Mampang, Jakarta Selatan, Rabu, 26 April 2017.

Apung menjelaskan SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator atau pihak yang berkewajiban membayar utang BLBI kepada BPPN. KPK, kata dia, menduga Syafruddin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara.

"Pertanyannya kenapa baru satu tersangkanya, padahal secara kasat mata banyak sekali yang menerima SKL," ujar dia.

Meski mengapresiasi langkah KPK, Apung juga khawatir terhadap eksistensi lembaga antirasuah tersebut setelah berupaya mengungkap skandal kejahatan ekonomi terbesar, yakni kasus BLBI ini.

"Selain mengapresiasi, kami juga khawatir nasib KPK ke depan saat ada kasus mega skandal kejahatan ekonomi terbesar ini. Makanya, di sini kami menunggu konsistensi Presiden Jokowi dalam memberantas korupsi," kata Apung.

Dalam kasus SKL BLBI ini, KPK baru menetapkan Syafruddin Arsyad Tumenggung. Syafruddin Temenggung menjabat sebagai Kepala BPPN sejak April 2002.

Pada Mei 2001, dia mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk mengubah proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BDNI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Hasil dari restrukturisasi tersebut, Rp1,1 triliun dibebankan kepada petani tambak yang merupakan debitur BDNI. Sedangkan sisanya Rp 3,7 triliun, tetap harus dibayarkan BDNI.

"Akan tetapi pada April 2004, tersangka selaku Ketua BPPN mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap obligor Sjamsul Nursalim atas semua kewajibannya kepada BPPN. Padahal, saat itu masih ada kewajiban setidaknya Rp 3,7 triliun," tutur Komisioner KPK Basaria Panjaitan.