Sukses

Caddy dan Pasal Zombie di Kasus Patrialis Akbar

Salah satu pasal di Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan pernah dibatalkan MK. Namun hidup kembali oleh pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Mantan Menteri Hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini ditangkap terkait praktik korupsi terkait perkara sengketa Undang-undang 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Undang-undang ini pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi tahun 2009 lalu. Saat itu undang-undang tersebut bernomor 18 tahun 2009. Objek gugatan adalah terkait pasal dan frasa yang mengatur mengenai pemberlakuan sistem zona importasi daging.

Adalah Hermawanto, pengacara probono yang mewakili peternak, koperasi susu, konsumen daging dan susu segar Indonesia, yang melayangkan gugatan tersebut.

"Kami saat itu keberatan dengan frasa zona di Indonesia. Kalau sistem zonasi dilakukan, keamanan ternak di Indonesia tidak ada. Oleh sebab itu kami meminta negara memperlakukan sistem importasi daging country base," kata Hermawanto saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (27/1/2017).

Dia menerangkan, sistem zona mengatur negara dapat mengimpor daging atau ternak dari zonasi yang ada bila didapati penyakit kuku dan mulut pada peternakan. Misalnya, di negara A terdapat 3 zonasi; A1, A2, dan A3 impor daging dan ternak. Bila daging atau ternak di Zona A1 terdeteksi penyakit kuku dan mulut, impor akan diberlakukan untuk zona A2 dan A3.

"Apakah zona tersebut bisa menyatakan bebas dari penyakit kuku dan mulut? Berbeda dengan sistem country base. Bila di satu negara diketahui (ternak) ada penyakit maka daging dan ternak dari negara tersebut akan di-banned untuk impor," Hermawanto menjelaskan.

Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar saat masuk mobil tahanan usai diperiksa KPK, Jakarta, Jumat dini hari (27/1). Patrialis diduga menerima suap uji materi undang-undang tentang peternakan dan kesehatan hewan. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Dalam perjalanan uji materi pasal tersebut, pada 2010, MK mengabulkan gugatan para peternak. Sistem zona dihapuskan dan diberlakukan sistem country base.

Namun, pada 2014, pemerintah mengeluarkan UU 41/2014 perubahan atas UU 18/2009. "Ternyata di dalam undang-undang tersebut, pasal yang sudah mati dihidupkan kembali. Ini kan jadinya pasal zombie," tutur Hermawanto.

Hermawanto dan para pegiat peternakan kembali mengajukan uji materi Oktober 2015. Persidangan berjalan. Dalam persidangan tersebut, sempat terjadi perdebatan antara pihak pemohon dengan Patrialis Akbar.

Saat itu, pemerintah mengajukan ahli yang keterangannya pernah dikutip majelis untuk membatalkan uji materi UU 18/2009. Kubu pemohon keberatan karena secara akademik dan etik tidak layak ahli yang pernah digunakan oleh pemohon di uji materi 2009 digunakan oleh lawan sengketa.

"Namun, Patrialis bilang 'ya enggak apa-apalah orang mau ngomong apa, terserah dia,'" kata Hermawanto mengutip ucapan Patrialis kala itu.

Dia ingat persidangan terakhir digelar pada Mei 2016. Hermawanto berharap pemerintah segera mengetuk palu terkait permohonan uji materinya. Pasalnya, saat itu Indonesia bersiap untuk menghadapi lebaran. Tentunya kebutuhan daging meningkat drastis.

"Dan perlindungan daging-daing impor yang masuk dari negara-negara yang ternaknya terjangkit penyakit," ujar Hermawanto.

"Seharusnya kalau dianggap penting untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyakit hewan bisa cepat diputuskan, tapi entah kenapa ini tidak kunjung ada putusan," dia menambahkan.

Bisnis impor daging Indonesia, kata Hermawanto, bukan perkara kecil. Indonesia membutuhkan 250 ribu ton per tahunnya. Bila dipukul rata harga daging Rp 170 ribu per kilo maka kalkulasi perputaran rupiah mencapai Rp 17,5 triliun. Itu baru dari jalur impor legal.

Lalu, motif apa dalam korupsi 'jual-beli' UU 41/014 yang libatkan Patrialis dan pengusaha impor daging?

"Ada menyebut Basuki Hariman mendukung uji materi saya, artinya mendukung penghapusan zonasi impor daging. Sementara pemerintah saat ini membuka keran impor daging India melalui satu pintu, Bulog," jelas Hermawanto.

"Dengan demikian, pemerintah akan bersaing dengan dia yang disebut-sebut penyelundup daging. Dengan maraknya daging ilegal maka dia akan menutup keran pemerintah dari India," dia menambahkan.

Lobi Stop Daging Asal India

Tersangka Basuki membenarkan ia pernah bertemu Patrialis sekitar Agustus dan November 2016. Dalam obrolannya, dia menyampaikan keluhan peternak lokal yang merugi lantaran banyaknya daging dari India.

"Saya sampaikan keluhan bagaimana peternak lokal ini pada kolaps, karena masuknya daging India terlalu banyak, termasuk saya juga. Saya sendiri juga impor daging dari Australia, yang jauh lebih mahal. Ini mengganggu bisnis saya," ucap Basuki di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1/2017).

Karena itu, jika uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dikabulkan MK, dia bisa melanjutkan bisnis. Sebab, dia mengatakan daging India bukan masuk dalam zona yang harus dijual.

"Kalau ini bisa berhasil, saya bisa bisnis lagi. Karena yang paling penting Indonesia impor daging dari India. India itu katanya kan zone, sebenarnya tidak ada zone di sana. Memang ada maksudnya (kepentingan bisnisnya). Kan biar daging India tidak masuk lagi supaya saya bisa jualan lagi," beber Basuki menceritakan isi obrolannya ke Patrialis.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, Basuki pernah diperiksa menjadi saksi dalam kasus impor daging yang melibatkan Lutfhi Hasan Ishaq.

"Pemberi suap ini memang pernah diperiksa KPK, berhubungan dengan penyidikan suap impor daging sapi yang dilakukan KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif saat jumpa pers di kantornya, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis, 26 Januari 2017.

Sementara, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basarian Pandjaitan sebelumnya mengatakan, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) bersama barang bukti sejumlah uang ribuan dolar Amerika Serikat dan Singapura.

Basaria mengatakan uang tersebut merupakan hadiah yang dijanjikan pemberi suap kepada Patrialis Akbar. "PAK (Patrialis Akbar) menerima hadiah US$20 ribu dan  200 ribu dolar Singapura," ucap Basaria dalam konferensi pers yang digelar di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis 26 Januari 2017.

Basaria mengatakan, Patrialis Akbar menyanggupi untuk membantu agar uji materi kasus tersebut dikabulkan. Patrialis lantas ditangkap di Mal Grand Indonesia, Jakarta, pada Rabu 25 Januari 2017, sekitar pukul 21.30 WIB.

Patrialis Akbar ditangkap bersama 10 orang lainnya. Patrialis ditangkap bersama seorang wanita di Mal Grand Indonesia. 10 orang lainnya ditangkap di dua tempat terpisah, salah satunya di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur. Dari jumlah tersebut, 4 di antaranya adalah wanita.

Informasi yang diperoleh Liputan6.com, empat wanita itu berinisial F, R, A, dan D. Para wanita itu dikabarkan bekerja sebagai caddy yang membantu pemain di lapangan golf

1

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.