Sukses

Mbah Surip, RBT, dan Budaya Instan

Apa yang luar biasa dari lirik dan musik lagu Tak Gendong yang diciptakan dan dinyanyikan Mbah Surip? Dari aspek lirik, tentu tidak sebanding dengan lagu ciptaan Ebiet G. Ade atau Katon Bagaskara. Lantas bagaimana dengan musiknya? Cukup dengan lima kunci nada, maka dengan mudah musik pengiring 'Tak Gendong' dimainkan.

Liputan6.com, Jakarta: Apa yang luar biasa dari lirik dan musik lagu Tak Gendong yang diciptakan dan dinyanyikan Mbah Surip? Dari aspek lirik, tentu tidak sebanding dengan lagu ciptaan Ebiet G. Ade atau Katon Bagaskara. Lantas bagaimana dengan musiknya? Cukup dengan lima kunci nada, maka dengan mudah musik pengiring Tak Gendong dimainkan.

Namun kesederhanaan ternyata bisa bernilai jual tinggi. Selama tiga bulan terakhir ring back tone (RBT) atau nada sambung pribadi (NSP) selalu masuk sepuluh besar dalam pengunduhan. Tak heran jika diperkirakan Tak Gendong menghasilkan Rp 9 miliar hanya dari RBT. Dari jumlah itu, Mbah Surip mengantungi setidaknya Rp 4,5 miliar. Mbah Surip pun menjadi fenomena, dari pemusik jalanan menjadi miliarder berkat bisnis konten penyedia bernama RBT.

Bisnis Menggiurkan

Di awal kemunculan RBT (2005), tak ada yang menyangka bisnis ini menjadi sangat besar. RBT dengan sekejap menjadi mesin pencetak uang bagi para musisi, penyedia konten, dan terlebih lagi bagi operator telepon seluler. Kini, jutaan orang rela mengeluarkan uang hanya untuk sepenggal lagu. Padahal RBT yang mereka sewa (bukan beli), tidak untuk mereka nikmati, melainkan untuk sebatas gengsi atau sekadar ingin menyampaikan kepada penelepon lagu apa yang sedang ia suka.

Nilai total bisnis RBT (2008) mencapai Rp 3 triliun. Jumlah itu meningkat rata-rata 20 persen per tahun dan pada 2009 bisnis RBT diperkirakan naik menjadi Rp 3,6 triliun. Direktur Enterprise dan Wholesale PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Arief Yahya mengatakan kelompok musik yang menyumbang pendapatan paling besar tahun 2008 adalah D'Masiv. Mereka menghasilkan Rp 48 miliar dari lagu Cinta Ini Membunuhku  [baca: D`Masiv Meraup Sukses Besar].

Pada 2006 grup pendatang baru ‘Samsons’ mencetak pendapatan terbesar dengan nilai Rp 32 miliar melalui lagu Kenangan Terindah yang diunduh oleh sekitar empat juta orang. Tahun 2009 bisnis RBT diperkirakan naik menjadi Rp 3,6 triliun. Andreas Wullur, manajer Samsons, mengakui RBT menyumbang 30 persen dari pendapatan total Samsons. Pendapatan lain diperoleh dari penjualan CD atau kaset dan manggung

Tidak Adil
Dalam bisnis RBT ini, operator telepon selulerlah yang paling berbahagia. Coba perhatikan. Telkomsel, misalnya, mendapat rata-rata 3,3 juta pengunduh lagu atau sekitar sepuluh persen dari total pelanggannya. Setiap hari permintaan RBT mencapi seratus ribu. Dari angka-angka  tersebut, bisa diperkirakan, keuntungan yang diperoleh Telkomsel dari RBT bisa mencapai Rp 900 juta per hari.

Ketua Umum Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) Dharma Oratmangun meradang. Dalam acara konferensi pers di sela-sela acara Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) di JCC beberapa waktu silam, ia menilai NSP adalah bentuk pembajakan legal. Alasannya, para operator justru yang paling banyak meraup keuntungan bukan seniman musik.

Di Telkomsel pencipta lagu hanya mendapatkan bagian 1,14 persen atau Rp 68 per lagu. Dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Singapura, penulis lagu mendapat 9,04 persen . Sementara untuk operator XL, mendapatan bagian Rp 4.000 atau 80 persen setiap lagu. Sedangkan untuk label dan penyedia konten Rp 750 atau 15 persen, artis Rp 125 atau 2,5 persen, pencipta lagu Rp 63 atau 1,25 persen. Lihatlah betapa tidak adilnya pembagian keuntungan dalam bisnis ini.

Beralih ke RBT

Meski para musisi tentunya sadar, keuntungan yang mereka dapatkan jauh di bawah operator telepon, toh mereka tetap memilih ‘berjualan’ lewat RBT dibandingkan masuk dapur rekaman. Alasan utamanya adalah keuntungan yang mereka peroleh masih jauh lebih besar daripada membuat album lalu dibajak.

Penyanyi Andre Hehanusa misalnya. Ia memilih merilis album mini dan menjualnya lewat RBT.  Menurut Andre, membuat album rekaman itu mahal. "Jadi yang disukai beberapa aja lagunya," ucap Andre, usai manggung di acara musik Playlist SCTV di Studio Penta, Kebon Jeruk, Jakarta beberapa waktu lalu.

Pria bernama lengkap Andre Ronald Benito Hehanusa ini ternyata ingin mengekor kesuksesan penyanyi nyentrik Mbah Surip. "Kalau mau kaya, ya concern saja ke RBT kayak Mbah Surip," ujar Andre. Hanya saja, menurutnya musisi yang kaya dengan hanya berjualan RBT adalah bukan karya seni dan seniman sesungguhnya [baca: Mau Kaya? Jualan RBT Aja].

Hal serupa juga dilakukan penyanyi Dewi Gita dan Ikhsan pemenang Indonesia Idol. Selain jauh lebih menguntungkan, mereka tidak rela album mereka dibajak. Dewi Gita lantas hanya membuat dua buah lagu, dan Ikhsan hanya menyanyikan satu lagu untuk dijual sebagai RBT.

Budaya Instan

Apa yang dilakukan Andre Hehanusa dan musisi lainnya mungkin bisa kita terima sebagai strategi meraup untung lebih besar. Anggap saja ini sebagai imbalan atas kiprahnya selama ini dalam mengembangkan musik tanah air. Namun, dihapuskannya aspek kualitas di dalam bisnis RBT juga dapat menciptakan budaya instan di masyarakat yang memang sudah terlanjur serba instan. Sebuah jalan pintas untuk mencapai tujuan akhir : ketenaran dan kekayaan.

Mbah Surip dan sejumlah band-band pendatang baru telah membuktikannya. Ketenaran dan kekayaan tidak lagi harus melalui proses panjang seperti yang dilakukan grup band besar seperti God Bless, Padi, Dewa, Gigi atau penyanyi-penyanyi senior seperti Vina Panduwinata atau Harvey Malaiholo.

Tidak sepenuhnya salah, karena kemajuan teknologi tanpa bisa dihindari juga ikut memfasilitasi musisi yang memilih ‘jalur kilat’. Bisnis RBT memberi jalan kepada siapa saja untuk menjual karyanya. Itu pun jika layak disebut sebagai sebuah karya, karena saat ini RBT tidak hanya terbatas pada lagu. Celotehan artis pun bisa laris manis sebagai RBT seperti kalimat yang keluar dari mulut artis sinetron Cinta Laura : “Mana Hujan, Becek, Gak Ada Ojek”.

Tren bisnis RBT didukung oleh pola konsumsi masyarakat yang juga berubah. Dari rajin membeli kaset, kini berubah lebih memilih untuk membeli pulsa. Pengamat musik Denny M.R. menilai secara ekonomis, RBT lebih murah dan instan untuk dinikmati. Namun keberadaan RBT bukannya tanpa konsekuensi.

Menurut Denny, musisi juga harus mengantisipasi menurunnya kualitas lagu seiring maraknya penggunaan RBT. "RBT itu kan hanya direkam pada bagian refrein saja,. Yang saya takutkan adalah banyak musisi yang ingin instan kaya mendadak tapi dengan mempercantik bagian refreinnya saja, sedangkan bagian lain dari lagu terkesan asal, hanya untuk mengejar angka penjualan RBT," ujar Denny dalam wawancaranya dengan harian Pikiran Rakyat.

Benang merah dari itu semua adalah dampak positif sekaligus juga negatif. Di zaman kini, orang tak perlu lagi merangkak atau bahkan berjalan jongkok untuk menuju tangga kesuksesan. Tapi konsekuensi lain yang patut diterima, jangan lagi berharap menemukan karya-karya besar di dunia tarik suara, karena segalanya sudah serba instan. (diolah dari berbagai sumber/ROM)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini