Sukses

KPK Sebut Ahli dari Bupati Morotai Tak Netral

‎Sidang praperadilan yang diajukan Bupati Morotai Rusli Sibua kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Liputan6.com, Jakarta - ‎Sidang praperadilan yang diajukan Bupati Morotai Rusli Sibua kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dalam sidang kali ini, pihak Rusli sebagai pemohon menghadirkan saksi ahli Nur Basuki Winarno.

Namun, Nur Basuki yang merupakan pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga, Surabaya, mendapat kritik keras dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku termohon.

Pihak KPK menilai Nur Basuki tidak netral dalam menyampaikan pendapatnya. Hal itu disampaikan KPK kepada hakim tunggal Martin Ponto di ruang sidang 3 PN Jakarta Selatan.

"Yang Mulia Hakim, apa yang disampaikan dalam pendapat ahli tidak netral," ujar Suryani Siregar selaku anggota tim hukum KPK di PN Jakarta Selatan, Jumat (7/8/2015).

Suryani merasa apa yang disampaikan ahli tersebut tidak netral karena Nur Basuki menyebutkan bahwa dirinya mengetahui detil kasus perkara yang sedang menjerat Rusli Sibua. Menanggapi keberatan KPK, hakim tunggal Martin Ponto menyampaikan agar keberatan tersebut dilampirkan dalam kesimpulan sidang.

Sebelumnya dalam kesaksian sesuai bidang hukum yang dikuasainya, Nur Basuki mengungkapkan bahwa terdapat pertentangan antara undang-undang KPK dengan KUHAP. "Tidak ada harmonisasi antara KUHAP dan UU KPK," ujar Guru Besar Hukum Pidana Korupsi Universitas Airlangga tersebut.

Rusli ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap sengketa Pilkada Pulau Morotai yang disidangkan di Mahkamah Konstitusi pada 2011 silam. KPK menetapkannya sebagai tersangka pada 25 Juni 2015.

Namun, KPK harus menjemput Rusli secara paksa karena tidak kooperatif ketika akan dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka. Rusli diduga memberikan sejumlah mahar sebesar Rp 2,989 miliar kepada Akil Mochtar yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua MK untuk memenangkan sengketa pilkada.

Rusli dijerat KPK dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terlebih dahulu, Akil telah didakwa terkait transaksi sengketa pilkada. Semula, Akil meminta uang berjumlah Rp 6 miliar dari Rp 2,989 miliar yang diterimanya. (Cho/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.