Sukses

Ketua MK: Pasal Incumbent 'Garuk Sesuatu yang Tidak Gatal'

Arief mengatakan, apa yang perlu digaruk, yakni aturan pengawasan terhadap petahana.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r terkait konflik kepentingan incumbent atau petahana. Atas putusan tersebut, maka para keluarga petahana dapat leluasa mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam Pilkada serentak Desember 2015.

Namun putusan MK itu menuai pro-kontra dari sejumlah elemen masyarakat. Putusan tersebut dianggap memuluskan praktik politik dinasti di sejumlah daerah. Bahkan dapat berpotensi mencederai demokrasi.

Menanggapi hal tersebut, Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, Pasal 7 huruf r UU Pilkada itu seperti menggaruk sesuatu yang tidak gatal. Artinya, tujuan agar tidak terjadi praktik politik dinasti sejatinya bukan hanya melalui aturan membatasi keluarga petahana. Karena aturan tersebut inskonstitusional dengan undang-undang HAM.

"Jadi prinsipnya filosofinya begini, sebetulnya jawaban yang bisa saya sampaikan hanya satu saja. Undang-undang yang membatasi keluarga petahana menjadi calon itu sama dengan menggaruk yang tidak gatal. Yang gatal itu sebetulnya bukan di situ," ujar Arief saat ditemui di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (9/7/2015).

Apa yang perlu digaruk, lanjut Arief, yakni aturan pengawasan terhadap petahana. Pengawasan terhadap petahana agar tidak menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan demi kepentingan memenangkan calon tertentu dalam Pilkada, harus dioptimalkan.

"Misalnya, dalam APBD, petahana memainkan program-program untuk mendekati Pilkada supaya dia bisa mendukung istrinya, anaknya, atau kerabatnya. Itu tidak boleh harus diawasi. Lah siapa yang mengawasi, ya DPRD pada waktu penyusunan anggaran. Behitu juga dalam pelaksanaan program," papar dia.

Dalam tahap teknis, proses pengawasan bisa dilakukan oleh beberapa badan yang telah dibentuk negara. Seperti pengawas di tingkat TPS, kecamatan, Panwaslu, dan Bawaslu.

"Selain itu, setiap parpol juga punya saksi-saksi semua, calon juga punya saksi. Nah kalau semua itu diefektifkan, diefisiensikan, maka petahana itu tidak akan bisa apa-apa," tandas dia.

Garuk Kesadaran Hukum

Komisi Pemilihan Umum (KPU) meresmikan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 2015 di Kantor KPU Pusat.

Selain pengawasan terhadap petahana, yang perlu digaruk juga adalah soal kesadaran hukum. Setiap aparatur sipil negara hendaknya menaati aturan yang telah ditetapkan bahwa tidak boleh memanfaatkan birokrasi pemerintahan untuk kepentingan pemenangan calon tertentu.

"Yang gatal juga soal kesadaran hukum. Misalnya gini, presiden melalui Menpan RB sudah mengatakan birokrasi netral. Ya itu harus dijalankan dengan baik. Sehingga petahana tidak bisa memainkan birokrasi PNS, tidak bisa memainkan TNI/Polri untuk mendukung," ucap Arief.

UU Pilkada Pasal 7 huruf r mengatur tentang bagaimana cara menjadi calon kepala daerah melalui Pilkada serentak 2015 nanti. Dalam pasal itu seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan petahana tidak diperbolehkan maju menjadi calon kepala daerah.

Dalam frasa ini, yang dimaksud 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana' adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. (Mvi/Sss)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.