Sukses

Angeline dan Momentum Perlindungan Anak

Beberapa kalangan setuju sistem perlindungan anak perlu dibenahi dan menghukum berat para pelakunya, bahkan hukuman mati.

Liputan6.com, Jakarta - Kaki-kaki kecilnya memainkan air, sementara wajah bocah berbaju renang biru tersebut tersenyum simpul ke arah kamera. Jari tangan kanannya memegang mainan. Itulah masa-masa bahagia Angeline yang diabadikan dalam sejumlah potret.

Potret-potret penuh senyum itu diunggah keluarga Margriet Megawe, orangtua angkat Angeline melalui Fanpage Facebook 'Find Angeline-Bali's Missing Child'. Di akun itu tampak foto-foto bocah cantik itu sejak bayi hingga duduk di bangku sekolah.

Di potret lainnya, Angeline balita tengah menggenggam telepon seluler. Dia mengenakan baju rajut berwarna-warni dengan hiasan kerang. Sambil menempelkan ponsel tersebut ke telinga, Angeline tertawa kecil memperlihatkan gigi-gigi susunya.

Namun senyum itu kini telah hilang, direnggut kebiadaban Agus, seorang yang justru dibayar orangtua angkatnya untuk melindungi rumahnya. Jenazah Angeline yang ditemukan terkubur dalam lobang sedalam 1,5 meter itu mengenaskan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka lebam, luka sundutan rokok, bahkan jeratan tali di lehernya.

Hamidah, ibu kandung Angeline langsung mendatangi Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, Bali saat mendengar buah hatinya pergi untuk selamanya. Perempuan asal Banyuwangi itu tiba di Instalasi Kamar Jenazah Rabu 10 Juni 2015 malam.

Dia tak kuasa menahan tangis di depan kamar jenazah. Berkali-kali ia berteriak memanggil sang anak yang 8 tahun berlalu tanpa pernah bersua lagi, harus menyaksikan anaknya terbujur kaku.

"Siapa yang bunuh kamu nak, kenapa kamu dibunuh, ibu tidak terima kamu diperlakukan seperti ini. Pak polisi, tangkap pelaku yang membunuh anak saya, Pak. Hukum mati saja dia," seru Hamidah seraya terus menangis.

Hamidah menuturkan Angeline merupakan anak kedua dari 3 bersaudara. "Kalau tidak mau jaga anak saya, kembalikan pada saya saja. Janganlah dibunuh," ujar dia tersedu-sedu.

Hamidah sempat tenang karena kelelahan menangis, namun kembali terisak saat meninggalkan rumah sakit. Oleh pihak keluarga, perempuan berambut panjang itu kemudian dibawa pulang untuk beristirahat.

Sebelum Angeline diadopsi, ternyata ada kesepakatan antara Hamidah dengan keluarga Margriet. Kesepakatannya, Hamidah tak boleh menemui bocah yang dinyatakan hilang pada 16 Mei lalu itu, sebelum berusia 18 tahun.

Dalam proses adopsi tersebut, Hamidah dan Margriet sebelumnya tak pernah saling mengenal. Saat itu keduanya berkenalan di klinik di Canggu, Denpasar. Karena ketiadaan biaya melahirkan, Margriet kemudian membantu biaya persalinan dan bayi Angeline diadopsinya. Hamidah terpaksa merelakan bocah mungilnya.

"Usia bayi Angeline saat itu baru berumur 3  hari dan dibawa oleh ibu angkatnya," ungkap Supri, seorang kerabat Hamidah.

Supri menjelaskan, selama 8 tahun, Hamidah tidak pernah bertemu atau sekadar menjenguk Angeline. Saat berita kehilangan Angeline mencuat, ibu kandungnya itu juga tidak pernah bertemu dengan Margriet.

Sementara di rumah orangtua angkat Angeline ramai dipenuhi warga. Siang itu polisi menggelar rekonstruksi pembunuhan ini, Wayan Lempot, salah satu warga yang meneriaki Agus. Dia geram dan berharap pria asal Nusa Tenggara Timur itu dihukum mati.

"Saya geram mbak. Tolong Pak Polisi dia dihukum mati saja," kata Wayan di lokasi.

Warga yang seolah ingin 'menghakimi' Agus dengan luapan kemarahan terus berdatangan. Mereka memadati sekitar halaman rumah yang beralamat di Jalan Sedap Malam Nomor 26 Sanur, Bali. Arus lalu lintas pun tersendat di jalan itu. Polisi terpaksa menutup satu untuk menghindari kemacetan.

Warga juga berbondong-bondong membawakan bunga ke rumah Angeline. Sebagian di antara mereka ada yang sembahyang, mendoakan bocah bernasib tragis itu itu. Rangkaian bunga juga datang dari pejabat negara seperti menteri.

Polisi berusaha mendalami kasus ini dengan memeriksa 7 saksi terkait meninggalnya bocah kelas 2 SDN 12 Sanur itu. Namun baru Agus yang ditetapkan tersangka. 6 Saksi lainnya di antaranya ibu angkat Margriet, 2 kakak angkat, 2 penghuni kos, dan 1 orang penjaga rumah.

Sedangkan Pemkab Banyuwangi dan Ikatan Keluarga Banyuwangi (Ikawangi) di Bali, siap memfasilitasi pemulangan jenazah Angeline dari Bali ke Banyuwangi. Juga melibatkan Dinas Sosial, Camat Glenmore--kecamatan tempat orangtua asli Angeline di Banyuwangi--dan kepolisian.

Camat Glenmore sudah mengurus persiapan kedatangan jenazah Angeline di Dusun Tulungrejo, Wadungpal. Aparat kepolisian juga siap membantu pemulangan jenazah Angeline dari Bali ke Banyuwangi.

"Kami juga sudah mengontak pihak operator penyeberangan untuk kelancaran penyeberangan dari Bali ke Banyuwangi saat membawa jenazah adik Angeline," kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi sempat mendatangi Polda Bali dan mendatangi kediaman Margriet untuk menggali informasi hilangnya Angeline, namun orangtua angkat Angeline itu menolak menemui.

Karena itu, tanpa bermaksud mencampuri urusan kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus Angeline, dia meminta pengurusan dan pemakaman jasad Angeline sepenuhnya dilakukan orangtua kandungnya.

Sebab, sesuai informasi yang berkembang selama ini, orangtua angkat Angeline dipandang tidak mampu merawat dengan baik dan terindikasi melakukan kekerasan terhadap anak.

"Saya akan membantu biaya autopsi sampai dengan pemakaman Angeline. Saya juga sudah mengirimkan dokter dan penasihat hukum untuk membantu dan mendampingi ibu kandung Angeline dalam proses autopsi dan pengurusan jenazah Angeline," ujar Yuddy yang semula berniat ingin mengadopsi bocah itu.

Ada Pelaku Lain?

Kematian bocah Angeline menyisakan luka mendalam banyak pihak, terutama di hati guru-guru dan teman SDN 12 Sanur, sekolah tempat Angeline menuntut ilmu. Mereka pun meminta agar pembunuh Angeline di hukum mati.

Untuk mengenang kepergian Angeline, pukul 10.00 WIB Wali Kelas 2B Sri Wijayanti mengheningkan cipta bersama teman-teman kelas Angeline. Terlihat Sri tak kuasa menahan tangis, sehingga teman-teman Angeline pun ikut menangis.

Sri memiliki banyak kenangan dengan Angeline. Dia pernah memandikan Angeline di sekolah saat melihat kondisi bocah itu benar-benar tidak terawat.

Kepala Sekolah SDN 12 Sanur, Ketut Ruta tidak percaya atas penetapan tersangka yang hanya seorang. Dia yakin ada tersangka lain. Karena itu, polisi diminta mengusut kasus pembunuhan Angeline sampai tuntas.

"Tidak mungkin kalau hanya satu orang tersangkanya. Di rumah itu ada orang banyak. Pasti ada orang lain yang membantunya. Kami minta kepada pihak kepolisian untuk mengusut tuntas pembunuhan Angeline," Kata Ruta saat ditemui di ruang kerjanya di Sanur.

Ruta juga menyebutkan, Sri Wijayanti, wali kelas Angeline beberapa kali pernah memandikan anak didiknya itu. Karena badan dan pakaian Angeline bau kotoran ayam.

"Wali kelasnya mandikan Angeline, menggantikan bajunya dan dibelikan makanan. Karena Angeline mengeluh pusing akibat belum makan," kata Ketut di Denpasar, Bali.

Pengacara Agus, Haposan Sihombing menyebut ada banyak kejanggalan dalam prarekontruksi tersebut. Salah satunya tentang tali yang terlilit di leher Angeline.

Haposan menyebut tidak melihat tali yang terlilit di leher Angeline diperagakan dalam prarekonstruksi itu. "Hasil penyidikan tadi malam Agus melancarkan aksinya pukul 13.00 Wita dikubur pukul 20.00 Wita."

"Padahal dari BAP di Polsek Denpasar Timur, Margriet melaporkan Angeline tengah bermain di halaman rumah," ujar Haposan usai mengikuti prarekonstruksi.

Dia berharap polisi dapat mengusut kejanggalan tersebut. Sebab, jeda waktu dari Angeline dibunuh hingga dikubur cukup panjang. Bahkan, Margriet sempat menyuruh Agus untuk mencari Angeline.

Dalam kasus pembunuhan ini, Margriet dan 2 kakak angkat Angeline juga diperiksa polisi. Ibu angkat Angeline juga dites kejiwaan oleh psikiater yang ditunjuk Polresta Denpasar yaitu Lely Setyawaty. Hasilnya, Margriet psikopat, seseorang yang karena kelainan jiwa menunjukkan perilaku yang menyimpang.

Semasa hidupnya, Angeline disebut-sebut sering bekerja memberi makan 50 ekor ayam peliharaan ibu angkatnya dan selalu berjalan kaki sejauh 2 km menuju dan pulang sekolah. Dia juga melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak seusianya.

Sedangkan Kepala Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, dr Dudut Rustyadi menyatakan pihaknya tidak menemukan tanda kekerasan seksual di jenazah Angeline yang ditemukan tewas di kubur di kediamannya.

"Tidak ada (tanda kekerasan seksual). Tidak bisa ditentukan," katanya saat ditemui usai prarekonstruksi di kediaman Angeline.

Menurut dia, hal itu disebabkan karena kondisi jasad bocah malang itu telah membusuk karena telah meninggal lebih dari tujuh hari atau hampir selama tiga pekan sejak anak itu dikabarkan hilang pada Sabtu 16 Mei lalu.

Kepala SMF Kedokteran Forensik RSUP Sanglah dr Ida Bagus Putu Alit juga menyebutkan, pengungkapan dugaan kekerasan seksual sulit dilakukan, akibat kondisi jenazah yang mulai rusak.

"Untuk mengungkap adanya tindakan kekerasan seksual pada tubuh Angeline sangat sulit, karena kondisi jenazah sudah membusuk," kata Bagus di Denpasar.

Tim dokter Forensik RSUP Sanglah, Denpasar, sebelumnya menemukan sejumlah tanda kekerasan fisik di sejumlah bagian tubuh korban di antaranya wajah, kepala bagian belakang, tangan dan kaki akibat benda tumpul. Selain itu, dokter juga menemukan luka bekas jeratan pada bagian leher korban.

Sementara berdasarkan keterangan Kepala Polresta Denpasar, Komisaris Besar Anak Agung Made Sudan, Angeline selain mengalami kekerasan fisik juga diduga mengalami kekerasan seksual berdasarkan pengakuan Agus.

Namun Agung menyatakan, Margriet tidak terlibat pembunuhan anak angkatnya itu. Sebab diduga tidak ada bukti sidik jarinya. Dia diperiksa pada Rabu 10 Juni kemarin.

"Tidak ada keterlibatan ibunya (Margriet). Tidak terlibat," kata Sudana di Mapolresta Denpasar, Bali.

"Sekarang kalau saya (tetapkan) sebagai tersangka, siapa (juga) korbannya? Kan akibat matinya Angeline tidak ada andil Margriet. Sidik jari juga tidak ada. Komando juga tidak ada," sambung dia.

Di lain sisi, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Anton Charliyan menyatakan, salah satu pihak yang saat ini sedang dimintai keterangannya secara intensif terkait luka-luka yang diderita Angeline adalah Margriet.

Anton menjelaskan, dalam penyidikan tidak menutup kemungkinan akan ditemukan sejumlah bukti baru yang dapat menjerat siapa pun yang terlibat dalam penghilangan nyawa dan penganiayaan terhadap Angeline.

"Ibunya (Margariet) masih dalam pemeriksaan serius. Baru ada satu tersangka, yaitu Agus tadi," ujar Anton Charliyan di Mabes Polri, Jakarta.

Hukuman Berat

Kematian bocah Angeline menyedot perhatian semua kalangan, termasuk Komisi VIII DPR yang membidangi urusan sosial, agama, perempuan, dan anak.

Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay menilai, pembunuhan terhadap bocah cantik berumur 8 tahun tersebut merupakan perbuatan yang tidak berperikemanusiaan.

"Wajar jika banyak anggota masyarakat yang menginginkan agar pelakunya dijatuhi hukuman berat. Tidak manusiawi," ucap Saleh di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.

Menurut Saleh, Angeline yang seharusnya mendapatkan perlakuan layak tersebut tidak bersalah. Anak-anak seusianya dinilai tidak mungkin melakukan kesalahan besar yang menyebabkan dia harus dibunuh.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani berpendapat, pembunuh sadis terhadap bocah kelahiran Denpasar 19 Mei 2007 itu, sebaiknya dikenakan sanksi berdasarkan peraturan perlindungan anak. Namun lebih tegas.

‎"Di KUHP baru ditambah hukumannya. Misalnya, saya lebih setuju dia (pelaku) dimasukkan di lembaga pemasyarakatan yang terisolir. Seperti Pulau Seribu khusus pulau tahanan," kata Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Atas alasan itu, kata Arsul, bentuk hukuman lain tidak mungkin diakukan. Sebab, dalam Revisi KUHP (RKUHP) yang tengah direncanakan, baru ada penambahan hukuman kerja sosial saja.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, kasus Angeline menjadi pelajaran kepada pemerintah untuk memikirkan sistem yang lebih baik lagi dalam perlindungan anak.

"Saya kira, Indonesia perlu memikirkan sistem perlindungan anak yang lebih komprehensif," kata Fahri.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai, hingga saat ini masalah perlindungan anak lebih banyak diurusi lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena itu, dia berharap pemerintah meninjau kembali sistem perlindungan anak.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris berpendapat, pembunuhan Angeline harus dijadikan momentum untuk menyatakan perang terhadap segala macam bentuk kekerasan anak. Maka itu, perlu shock therapy terhadap para pelaku kekerasan anak, agar mereka berpikir dua kali sebelum melakukan kekerasan terhadap anak.

"Perlu shock therapy untuk menyadarkan siapa pun di Indonesia bahwa kekerasan terhadap anak. Apalagi sampai menghilangkan nyawa adalah kejahatan luar bisa, sama seperti korupsi dan terorisme," ujar Fahira, dalam keterangan tertulisnya.

"Saya harap, siapa pun pembunuh Angeline dihukum mati saja. Di-dor saja," sambung dia.

Komisi Nasional Perlindungan Anak sebelumnya mengusulkan, revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ke DPR, salah satunya, menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan kelamin.

Beberapa anggota Komisi VIII sepakat dengan usulan Komnas Anak ini. Bahkan, mereka menilai hukuman yang lebih berat dari kastrasi atau kebiri bagi pelaku kejahatan seksual anak perlu dilakukan.

Sementara sejumlah elemen masyarakat Kamis 11 Juni malam menggelar aksi 1.000 lilin, sebagai bentuk solidaritas terhadap Angeline. Dalam aksi tersebut hadir pula Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri Irjen Pol Anton Charliyan.

Sambil membawa lilin, jenderal polisi bintang dua itu mengungkapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas kematian Angeline. Ia berharap kasus itu bisa menjadi tonggak sejarah agar seluruh masyarakat lebih memperhatikan perlindungan anak.

"Ini menjadi refleksi terhadap kasus perlindungan anak. Kejadian ini harus menjadi tonggak sejarah, agar ibu, bapak, dan masyarakat semua lebih bisa melindungi anak," ucap Anton dalam 'Gerakan 1.000 Lilin untuk Anak Indonesia' di Bundaran HI, Jakarta Pusat. (Rmn/Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini