Sukses

Jakarta Tidak Baik-baik Saja, Duduki Peringkat Kedua Dunia dengan Kualitas Udara Terburuk pada 16 September 2024

Kualitas udara di Jakarta pada Senin pagi masuk kategori tidak sehat dan menduduki peringkat kedua sebagai kota dengan udara terburuk di dunia. Bagaimana kondisi ini mempengaruhi kesehatan kita dan apa yang bisa kita lakukan untuk melindungi diri?

Liputan6.com, Jakarta - Kualitas udara di Jakarta pada Senin (16/9/2024) pagi kembali masuk kategori tidak sehat. Jakarta bahkan menduduki peringkat kedua sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir di Jakarta pada pukul 05.30 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 148 atau masuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara PM2.5 dan nilai konsentrasi 54,5 mikrogram per meter kubik. Angka itu bermakna kualitas udaranya tidak sehat bagi kelompok sensitif karena dapat merugikan manusia ataupun hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.

Dengan situasi tersebut, situs tersebut merekomendasikan agar masyarakat sebaiknya menghindari aktivitas di luar ruangan. Jika berada di luar ruangan, gunakanlah masker. Sementara, mereka yang berada di dalam rumah diminta menutup jendela untuk menghindari udara luar yang kotor.

Melansir Antara, Senin (16/9/2024), kota dengan kualitas udara terburuk urutan pertama di dunia pada pagi ini adalah Lahore, Pakistan, di angka 176. Menyusul Jakarta adalah Delhi, India di angka 132, urutan keempat Tashkent, Uzbekistan di angka 132, urutan kelima Dubai, Uni Emirat Arab di angka 132, dan urutan keenam Kuching, Malaysia di angka 117.

Dikutip dari kanal Bisnis Liputan.com, Deputi Transportasi dan Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin membeberkan penyebab utama polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Adalah emisi gas buang atau asap knalpot yang menjadi biang kerok parahnya kualitas udaradi Jakarta.

2 dari 4 halaman

Buruknya Kualitas Udara Bikin Biaya BPJS Kesehatan Bengkak

Rachmat menjelaskan, berdasarkan data yang dihimpun oleh Kemenko Marves dan sejumlah pihak, kualitas udara di Jakarta sangat buruk pada 2019. Kualitasnya sempat membaik saat pandemi cCovid-19 di 2020.

"Tetapi pada 2022 dan 2023 mundur lagi, bahkan pada 2024 hampir sama dengan kondisi 2019," jelas Rachmat saat bertemu dengan media, ditulis Sabtu 14 September 2024. "Rata-rata hari tidak sehat sepanjang Agustus 2024 kemarin mencapai 13 hari. Ini masalah serius," tambah dia.

Rachmat beralasan dampak pencemaran udara kepada kesehatan sangat signifikan. Hal ini tentu saja akan juga berpengaruh juga atau berdampak juga ke keuangan.

Dalam hitungan BPJS Kesehatan, klaim kesehatan terkait masalah yang diakibatkan oleh penyakit pernafasan mencapai Rp 12 triliun setiap tahunnya. Angka ini bisa terus bertambah jika tak tertangani dengan baik. Kemudian, berdasarkan penelitian Kemenko Marves, penyebab utama pencemaran udara ini adalah emisi gas buang atau asap knalpot.

"Jadi penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel polusi dan diteliti sumber dari mana," kata dia.

3 dari 4 halaman

KLHK Klaim Kualitas Udara Jabodetabek Lebih Baik dari 2023

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Sigit Reliantoro menyatakan bahwa kualitas udara di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada tahun ini lebih baik dari 2023. Ada beberapa faktor penyumbang perbaikan tersebut.

Salah satunya dipengaruhi La Nina. Ia menyebut dibandingkan tahun lalu, musim kemarau tahun ini jauh lebih pendek. Bahkan, hujan masih turun pada Juli dan Agustus, walau diperkirakan akan berkurang pada September 2024.

"Oktober diharapkan normal lagi, ada hujan sehingga udara lebih bersih," kata Sigit dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.

Ia juga menyebut program elektrifikasi kendaraan mulai berdampak. Semakin banyak yang beralih dari menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak bumi menjadi kendaraan listrik di seputar Jabodetabek dianggap bisa menurunkan emisi gas buang dan meningkatkan kualitas udara Jabodetabek.

Selain itu, masyarakat semakin banyak yang menggunakan sepeda atau transportasi umum lantaran lebih terintegrasi dari sebelumnya. "Orang mulai senang menggunakan kendaraan umum, kampanye kendaraan listrik juga masif sekali, mudah-mudahan bisa terus ditingkatkan," imbuhnya.

4 dari 4 halaman

Sanksi bagi Pelaku Pencemaran Udara

Sementara itu, Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Rasio Ridho Sani menerangkan sejumlah sanksi untuk para pelaku pencemaran udara dan pelanggar perizinan lingkungan dan pelaku pencemaran udara berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Sanksi administrasi yang dapat diterapkan berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan Perizinan Berusaha, dan/atau pencabutan Perizinan berusaha (Pasal 82C Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023). Penerapan hukum perdata dapat dilakukan melalui Hak Gugat Pemerintah (Pasal 90 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009).

"Sedangkan, ancaman pidana dapat dilakukan dengan menerapkan Pasal 98-99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar," terang Rasio, dalam keterangan tertulis yang diterima Lifestyle Liputan6.com.

Dirjen Gakkum LHK telah memerintahkan Pengawas Lingkungan Hidup untuk berpatroli di lokasi yang kualitas udaranya tidak sehat dan mengawasi kegiatan/usaha yang terindikasi mengakibatkan pencemaran.

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Terkini