Sukses

Bukan Indonesia, Negara Mana Saja yang Serius Atasi Polusi Udara dalam Rencana Penanganan Krisis Iklim?

Indonesia dan Arab Saudi berada di peringkat terendah dalam ranking negara yang serius atasi polusi udara dalam rencana penanganan krisis iklim.

Liputan6.com, Jakarta - Polusi udara telah jadi masalah yang melanda sejumlah kota di Indonesia, bahkan bertambah intens dalam beberapa tahun terakhir. Solusi yang ditawarkan pemerintah belum membuat Negeri Khatulistiwa masuk daftar negara yang "serius mengatasi polusi udara dalam rencana penanganan krisis iklim."

Mengutip Euronews, Sabtu, 21 Oktober 2023, sebuah studi baru menemukan bahwa negara-negara G20 gagal mengintegrasikan polusi udara ke dalam rencana penanganan perubahan iklim mereka. "Polusi udara merupakan hal yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dan perubahan iklim," kata Nina Renshaw, kepala kesehatan di Clean Air Fund.

"Namun, masih banyak negara yang gagal menjamin udara bersih dan (melakukan) aksi iklim," imbuhnya. "Ini berarti mereka kehilangan kualitas udara yang lebih baik, yang secara signifikan akan mengurangi jumlah penderita penyakit jantung, stroke, kanker paru-paru, dan asma."

Semua kondisi ini disebabkan atau diperburuk polusi udara, tambahnya. Menindaklanjuti penemuan ini, Aliansi Iklim dan Kesehatan Global (GCHA) meneliti negara mana saja yang memasukkan kualitas udara ke dalam rencana penanganan krisis iklim nasionalnya.

Melihat kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) dari 170 negara, kartu skor udara bersih tercatat jelas, menurutnya. Kolombia dan Mali berada di puncak peringkat NDC Udara Bersih GCHA, mencetak 12 dari 15 poin.

NDC Kolombia mengakui pentingnya melindungi kesehatan pernapasan melalui kontrol kualitas udara. Negara Amerika Selatan ini juga menyatakan bahwa kebijakan memantau udara yang lebih bersih akan merujuk pada kepentingan kesehatan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Negara yang Serius Atasi Polusi Udara

Kebijakan ini mengacu pada berbagai polutan udara, termasuk partikel dan nitrogen oksida, dan menetapkan tujuan mengurangi "karbon hitam" sebesar 40 persen. Kolombia mengidentifikasi sektor-sektor yang mendorong polusi udara, yaitu pertanian, pembangkit listrik, industri, dan transportasi, dengan rencana progresif khususnya untuk bike sharing.

Mali juga melakukan banyak hal untuk mengatasi polusi udara. Negara di Afrika Barat ini mencatat dampak buruk karbon hitam terhadap kesehatan, dan bahwa PM2.5 dapat menyebabkan masalah kardiovaskular dan pernapasan. NDC-nya pun menyebutkan harga yang harus dibayar untuk mengurangi polusi udara dan air terkait pestisida.

Disebutkan pula bahwa peningkatan kualitas udara dapat menghindari 2,4 juta kematian dini pada 2030. Seperti negara-negara lain dengan skor udara bersih yang tinggi, seperti Pantai Gading, Nigeria, Pakistan, dan Togo, angka kematian akibat polusi udara di Mali berada di atas 80 kematian per 100 ribu orang.

Hal ini, kata GCHA, menunjukkan perlunya peningkatan pendanaan untuk membantu negara-negara tersebut mewujudkan rencana pemurnian udara mereka.

3 dari 4 halaman

Indonesia di Peringkat Terendah

Menurut GCHA, sebagian besar negara yang menerapkan pertimbangan kualitas udara dalam rencana iklim mereka berada di wilayah selatan. Namun, ada dua negara yang memimpin di Eropa, yakni Albania dan Moldova. Albania menyebut dampak buruk kualitas udara terhadap kondisi kardiovaskular dan pernapasan, terutama di Tirana dan kota-kota lain.

NDC-nya mengacu pada pilar-pilar Kesepakatan Hijau UE untuk Balkan Barat, yang mencakup aksi iklim dan upaya memerangi polusi udara. Sementara langkah-langkah spesifik sektoral juga disebutkan untuk pertanian dan pengolahan limbah. Namun, negara-negara Eropa lain, termasuk anggota Uni Eropa, berada pada peringkat lebih rendah.

Meski UE memasukkan beberapa polutan udara dalam komitmennya, mereka gagal menjelaskan hubungan antara polusi udara, kesehatan, dan tindakan iklim secara eksplisit. Karena itu, wilayah ini tertinggal dibandingkan negara-negara G20 yang memiliki skor lebih tinggi, seperti Kanada dan China.

Pemimpin kebijakan di GCHA, Jess Beagley, berkata, "Sebagai negara-negara penghasil polusi terbesar di dunia, penting bagi negara-negara G20 untuk memasukkan pertimbangan kualitas udara ke dalam NDC mereka, namun tidak ada pemerintah G20 yang mendapat skor bahkan setengahnya."

Indonesia dan Arab Saudi berada di peringkat terendah dengan skor masing-masing satu dan nol.

4 dari 4 halaman

Desak Solusi Nyata Selama COP28

Dengan 99 persen populasi dunia menghirup udara yang melebihi batas aman yang ditetapkan WHO, jelas bahwa diperlukan tindakan lebih besar untuk mendapat udara bersih. Para pegiat melihat COP28 sebagai waktu yang tepat untuk mengatasi masalah ini.

"Pada bulan Desember ini, presiden COP28 mempunyai kesempatan memasukkan polusi udara ke dalam agenda dan mengkatalisasi komitmen nasional dan pendanaan internasional untuk meningkatkan kualitas udara," kata direktur eksekutif GCHA, Jeni Miller.

"Komitmen COP28 untuk jadi 'COP kesehatan' akan jadi janji kosong jika konferensi tersebut tidak menghasilkan kemajuan substantif dalam mengatasi polusi udara sebagai salah satu isu paling nyata dalam kaitannya dengan iklim dan kesehatan," ia menambahkan.

Lebih khusus lagi, para pegiat ingin melihat komitmen kualitas udara dirangkai jadi pilar-pilar utama dalam perundingan. "Penghentian total pembakaran bahan bakar fosil sangat penting untuk mendapat manfaat tambahan yang sangat besar dari udara bersih," tambah Beagley.

Ia juga menekankan bahwa teknologi penangkapan karbon yang spekulatif tidak akan membantu kesehatan masyarakat. Kelompok pemantau kualitas udara itu telah menulis surat pada Presiden COP28 Dr Al Jaber, memintanya fokus pada polusi udara selama pertemuan puncak iklim.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.