Sukses

Temuan Komnas Perempuan: Praktik Keadilan Restoratif Masih Abaikan Pemulihan Korban Kekerasan Berbasis Gender

Komnas Perempuan meluncurkan laporan pemantauan pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender, khususnya terhadap perempuan.

Liputan6.com, Jakarta - Komnas Perempuan meluncurkan laporan pemantauan pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender, khususnya terhadap perempuan, pada Selasa, 19 September 2023. Pemantauan itu sebelumnya dilakukan selama 1 tahun 5 bulan dengan melibatkan 449 narasumber di 23 kabupaten/kota dari sembilan provinsi.

Ke sembilan provinsi itu meliputi Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, NTT, Maluku, dan Papua. Para responden merupakan perwakilan dari aparat penegak hukum, korban, lembaga layanan pemerintah, lembaga layanan masyarakat sipil, dan lembaga adat/sosial/agama. Seluruh informasi narasumber utamanya suara korban memberikan landasan pemahaman situasi ketidakadilan yang mereka alami. 

Berdasarkan pemantauan, mereka menemukan lima ciri utama dalam praktik keadilan restoratif. "Lima ciri praktik tersebut adalah pelibatan prosedural bukan substantif, membuka celah impunitas dan keberulangan, mengabaikan pemulihan korban, mengutamakan citra semu harmoni dan minim akuntabilitas," kata Komisioner Theresia Iswarini, Ketua Subkom Pengembangan Sistem Pemulihan, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Rabu (20/9/2023).

Dia menjelaskan bahwa praktik dengan kelima ciri tersebut disumbang oleh empat faktor utama yang memungkinkan praktik ini terus berlangsung, yaitu kondisi kebijakan yang masih sumir dan belum lengkap, keterbatasan SDM yang mumpuni, pengawasan yang langka dan budaya patriarki dan feodalisme yang diadopsi dalam penyelenggaraan keadilan restoratif.

Situasi ini menimbulkan konsekuensi pada terhambatnya pemenuhan hak konstitusional warga, khususnya perempuan korban kekerasan serta transformasi yang tertunda, baik dari aspek pembangunan hukum maupun upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. 

"Jika membasiskan pada Konstitusi dan Konvensi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan atau CEDAW, khususnya rekomendasi umum CEDAW Nomor 33 tentang Akses Keadilan terhadap Perempuan, dampak bagi korban adalah kehilangan hak kedaulatannya sebagai subjek hukum dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya, kehilangan hak atas rasa aman, dan tidak mendapatkan hak atas pemulihan," tambah Komisioner Siti Aminah Tardi, Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Kebijakan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Apa Itu Keadilan Restoratif?

Mengutip laman LBH Pengayoman Universitas Parahyangan, keadilan restoratif dimaknai sebagai penyelesaian perkara tindak pidana secara bersama-sama dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban/pelaku, dan pihak lain yang terkait untuk dapat mencari penyelesaian yang adil dengan mengutamakan pemulihan pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Dalam praktik di lapangan, Komnas Perempuan melihat upaya pemulihan bergeser menjadi cara penghentian perkara dan upaya menekan kepadatan lembaga pemasyarakatan yang telah melebihi kapasitas. Akibatnya, celah impunitas pelaku dan keberulangan tindakan semakin terbuka.

"Dengan menekankan pada pemenuhan prinsip-prinsip keadilan bagi perempuan korban, terutama korban kekerasan seksual, hasil pemantauan ini diharapkan akan menjadi bahan advokasi untuk pembaharuan kebijakan keadilan restoratif dalam penanganan perempuan korban kekerasan dan perempuan berhadapan dengan hukum," ujar Mariana Amirrudin, Wakil Ketua Komnas Perempuan.  

Pemberian informasi juga menjadi hal yang penting mengingat mekanisme serupa keadilan restoratif ini juga dilakukan di tingkat masyarakat. "Sosialisasi tentang keadilan restoratif penting dilakukan kepada masyarakat dan aparat penegak hukum, agar keadilan restoratif tidak diterapkan dengan salah sehingga merugikan korban," kata Bahrul Fuad, Ketua Subkom Pemantauan.

3 dari 4 halaman

Kasus Pembunuhan Ibu Muda di Bekasi

Salah satu kasus kekerasan berbasis gender yang menyita perhatian publik adalah pembunuhan seorang ibu muda berinisial MSD di Cikarang, Bekasi. Ia dibunuh suaminya, Nando, setelah lehernya digorok pada Kamis malam, 7 September 2023. Keduanya terlibat cekcok sebelum pembunuhan terjadi. 

Kasus pembunuhan tersebut terungkap saat ibu korban mendatangi rumah kontrakan pada Sabtu, 9 September 2023, sekitar pukul 01.30 WIB. Kemudian, ia melihat anak perempuannya sudah tergeletak tak bernyawa di atas kasur.

Saat peristiwa suami bunuh istri itu terjadi, kedua anak korban yang masih balita disebut berada di dalam kontrakan. Pelaku sudah ditangkap setelah menyerahkan diri.

"Kata pak polisinya, itunya (digorok lehernya) di depan kamar mandi dekat dapur," ucap ibu korban, Linda (52), saat ditemui di kediamannya Perumahan Tridaya Indah Estate 1, Desa Tridayasakti, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Minggu, 10 September 2023, dikutip dari kanal News Liputan6.com.

Linda mendapatkan informasi itu ketika berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Saat itu, Linda juga diberi tahu kalau korban dalam keadaan sadar ketika lehernya digorok oleh suaminya.

 

4 dari 4 halaman

Sempat Buat Laporan KDRT ke Polisi

Sebelum pembunuhan terjadi, MSD pernah melaporkan suaminya ke Polres Metro Bekasi pada awal Agustus 2023 dengan tuduhan melakukan KDRT. Namun, kasus dugaan KDRT tersebut penanganannya dihentikan.

Melansir Antara, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut bahwa proses penanganan laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dibuat oleh M ke polisi, dihentikan, karena laporan tersebut telah dicabut kembali oleh M.

"Istri yang meninggal pernah melaporkan tindakan KDRT ke polisi pada Agustus (2023), namun prosesnya dihentikan, karena laporan tersebut telah dicabut kembali oleh yang bersangkutan dengan alasan anak-anak," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 14 September 2023.

Eni mengatakan, pencabutan laporan oleh korban KDRT memang sering menjadi penghambat kasusnya untuk diproses lebih lanjut. Hal ini karena dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur bahwa tindak pidana kekerasan fisik, psikis, dan seksual merupakan delik aduan.

"Sehingga ketika korban mencabut laporannya, kasus itu jadi berhenti, tidak diproses lebih lanjut," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini