Sukses

Mark Zuckerberg Saja Tutupi Wajah Anak-Anaknya dengan Emoji demi Privasi

Pada 4 Juli 2023, CEO Meta Mark Zuckerberg membagikan momen keluarga yang istimewa melalui akun Instagram pribadinya. Namun, wajah anak-anaknya ditutup dengan emoji wajah kacamata dan emoji wajah tersenyum bahagia.

Liputan6.com, Jakarta - Pada Selasa, 4 Juli 2023 lalu, CEO Meta Mark Zuckerberg membagikan momen keluarganya melalui akun Instagram pribadinya. Namun, dalam foto tersebut, terdapat dua hal yang mencuri perhatian.

Pertama, terlihat bahwa Zuckerberg mengenakan topi koboi suvenir bergaris, memberikan sentuhan unik pada penampilannya. Kedua, yang lebih menarik perhatian adalah wajah anak-anaknya yang diganti dengan emoji wajah kacamata dan emoji wajah tersenyum bahagia.

Unggahan Zuckerberg itu segera dikritik oleh beberapa orang yang melihat keputusan untuk mengaburkan wajah sebagai cerminan dari masalah privasinya untuk berbagi foto anak-anaknya secara online, meskipun dia membuat platform besar yang memungkinkan jutaan orangtua lainnya melakukan hal itu.

Meta, perusahaan induk Instagram, telah lama diselidiki tentang cara menangani privasi pengguna dan cara algoritmanya dapat digunakan untuk mengarahkan pengguna muda ke lubang hitam yang berpotensi bahaya. Namun pilihan tersebut juga menyoroti tren yang lebih luas di antara beberapa pengguna media sosial, khususnya di antara individu terkenal, untuk lebih berhati-hati dalam membagikan foto anak mereka secara online.

Selama bertahun-tahun, selebritas dari Kristen Bell dan Gigi Hadid hingga Chris Pratt dan Orlando Bloom telah mengaburkan gambar atau menggunakan emoji untuk membantu melindungi privasi anak-anak mereka di media sosial. Zuckerberg juga sebelumnya mengunggah foto bagian belakang kepala putrinya dan profil samping mereka alih-alih menunjukkan seluruh wajah mereka.

"Dengan memberi contoh kepada kami bahwa dia berhati-hati untuk tidak membagikan lokasi keluarganya atau identitas anak-anaknya, dia mungkin menyampaikan kepada pengguna bahwa pada akhirnya, kita harus bertanggungjawab kepada diri kita sendiri untuk melindungi dari kejahatan online," kata Alexandra Hamlet, seorang psikolog yang berbasis di New York City yang mengikuti dengan cermat dampak media sosial pada remaja.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Isu Peretasan dan Pencurian Data dari Wajah

Selama bertahun-tahun, semakin banyak orangtua dan para ahli menyuarakan keprihatinan tentang berbagi gambar-gambar anak di media sosial, termasuk potensi untuk mengekspos anak-anak ke teknologi identifikasi dan pengenalan wajah, yang tentunya akan menghantui mereka sampai dewasa.

Beberapa orangtua memilih untuk membatasi berapa banyak yang mereka bagikan tentang anak-anak mereka atau membatasi berbagi ke platform yang tidak terlalu publik. Alternatif lain, melawan peretasan melalui cara pintar dengan menutupi wajah anak-anak mereka.

Leah Plunkett, penulis “Sharenthood” dan Wakil Dekan Pengalaman Belajar dan Inovasi (LXI) di Harvard Law School, mengatakan menutup wajah anak adalah simbol bahwa kita memberi mereka kendali atas narasi mereka sendiri. Dalam konteks ini, menutupi wajah anak-anak dapat dianggap sebagai tindakan yang melindungi privasi mereka dan menghormati hak mereka untuk mengontrol bagaimana cerita atau gambar mereka dibagikan secara online.

"Setiap kali Anda memposting tentang anak-anak Anda, Anda berusaha membiarkan mereka menceritakan kisah mereka sendiri tentang siapa mereka dan ingin menjadi siapa mereka," kata Plunkett.

Dia menambahkan, sebagai manusia, kita mengalami fase-fase di mana kita membuat kesalahan atau menyebabkan kerusakan dalam kehidupan kita atau kehidupan orang lain. "Jika kita kehilangan privasi remaja dan anak-anak untuk bermain dan menjelajah serta untuk hidup dan belajar dari pengalaman, kita akan menghambat kemampuan mereka untuk berkembang dan mengekspresikan cerita mereka dengan cara mereka sendiri,” jelasnya.

3 dari 4 halaman

Orangtua Harus Paham Teknologi

Jelas, Zuckerberg tidak mengaburkan wajah bayi perempuannya, yang mungkin menunjukkan lebih sedikit perhatian terhadap risiko wajah bayi daripada anak kecil. Namun, Plunkett mengatakan teknologi kecerdasan buatan dapat digunakan untuk melacak perubahan wajah dari waktu ke waktu dan mungkin nantinya masih dapat menghubungkan anak mana pun, bahkan bayi, dengan gambar mereka saat lebih tua.

Plunkett percaya perusahaan media sosial dapat berbuat lebih banyak, seperti menawarkan pengaturan yang secara otomatis mengaburkan wajah anak-anak atau mencegah gambar apa pun dengan seorang anak digunakan untuk tujuan pemasaran atau periklanan. Untuk saat ini, tanggung jawab tetap pada orangtua untuk membatasi atau tidak membagikan foto anak-anak mereka secara online.

"Bukan hanya orangtua, kakek, nenek, pelatih, guru, dan orang dewasa tepercaya lainnya juga harus menjauhkan anak-anak dari foto dan video untuk melindungi privasi, keselamatan, peluang masa depan dan saat ini, dan kemampuan mereka untuk mencari tahu cerita mereka sendiri tentang diri mereka sendiri dan untuk diri mereka sendiri," kata dia.

Jeff Wilkinson, mantan reporter/editor di berbagai koran selama 30 tahun dari 1976-2006 mengatakan pentingnya privasi anak di dunia jurnalistik. "Wartawan pun tidak boleh memotret anak-anak tanpa izin orangtua. Ini adalah keseimbangan yang sangat rumit antara berita dan hukum. Sekarang, jika seorang anak kebetulan berada dalam gambar kebakaran besar atau TKP, seorang jurnalis mungkin bisa lolos begitu saja. Tetapi sebaliknya, setidaknya di Kanada, yang terbaik adalah memiliki izin orangtua," tulisnya di Quora.

4 dari 4 halaman

Foto Termasuk Informasi Pribadi

Hidup di zaman sekarang tidak bisa lepas dari media sosial. Sering kita manfaatkan untuk berkirim pesan, mengunggah foto, kegiatan, bahkan lokasi di mana kita berada. Tapi, secara sadar atau tidak, data-data pribadi kita juga ikut tersimpan di perangkat digital. 

Data pribadi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2013, adalah data perseorangan yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. Data-data yang tercantum di KTP, antara lain Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama lengkap, jenis kelamin, agama, status, golongan darah, alamat, tempat, dan tanggal lahir merupakan data pribadi. Dengan begitu, KTP merupakan dokumen yang memuat data kependudukan sekaligus data pribadi.

Meskipun data pribadi telah dilindungi oleh hukum, penyalahgunaan informasi pribadi masih sering terjadi. Mengutip Australian Cyber Security Center, penyalahgunaan informasi dapat terjadi karena penggunaan media sosial, yaitu ketika pengguna media sosial sendiri yang menyebarkan informasi pribadi mereka.

Penyebaran informasi pribadi melalui media sosial sering kali berujung pada kasus kejahatan digital, seperti pencurian identitas, stalking, dan cyber harassment. Hindari menyebar data pribadi kita tersebut, termasuk di Whatsapp ataupun media sosial lainnya. Berikut, ada tujuh data pribadi yang tidak boleh disebarluaskan di media sosial dilansir dari kanal Regional Liputan6.com.

1. Nomor identitas pribadi

2. Foto dokumen pribadi

3. Nama panggilan, nama masa kecil atau nama ibu kandung

4. Tanda tangan

5. Alamat lengkap dan nomor kontak

6. Informasi medis seperti riwayat penyakit, alergi dan foto rontgen

7. Geolocation atau lokasi kamu saat ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini