Sukses

Permukaan Salju Putih di Pegunungan Alpen Semakin Menghijau, Wisata Ski Terancam

Pemanasan global bukan hanya wacana. Buktinya bisa terlihat dari menyusutnya lahan Alpen yang tertutup salju putih, digantikan dengan tanaman hijau.

Liputan6.com, Jakarta - Pemanasan global mulai berdampak pada kawasan Alpen. Seperti nasib benua Artik, salju putih yang biasa menutupi permukaan pegunungan di Eropa itu berganti warna menjadi lebih hijau.

Dikutip dari laman unibas.ch, Rabu (8/6/2022), para peneliti gabungan dari Universitas Laussane dan Universitas Basel menggunakan data satelit untuk menunjukkan vegetasi di atas garis pohon tumbuh hampir 80 persen dari luasan Pegunungan Alpen yang diteliti. Tutupan salju juga menurun, meski sejauh ini penurunannya relatif masih sedikit.

Gletser yang mencair menjadi pertanda terjadinya perubahan iklim di Pegunungan Alpen. Pengurangan tutupan salju itu bahkan sudah terpantau dari luar angkasa, meski bukan perubahan terbesar.

Hal itu merupakan kesimpulan tim peneliti yang dipimpin Profesor Sabine Rumpf dari Universitas Basel dan Profesor Grégoire Mariéthoz serta Profesor Antoine Guisan dari Universitas Lausanne. Hasil penelitian mereka diterbitkan dalam jurnal Science. 

Bekerja sama dengan kolega mereka di Belanda dan Finlandia, para peneliti menyelidiki perubahan tutupan salju dan vegetasi menggunakan data satelit resolusi tinggi dari 1984 hingga 2021. Selama periode itu, biomassa tanaman di atas baris pohon tumbuh lebih dari 77 persen dari area yang diteliti.

Fenomena 'menghijau' karena perubahan iklim ini sudah terdokumentasikan dengan baik di Artik. Fenomena serupa juga mulai terdeteksi di Alpen, dalam tiga cara, yakni tanaman mulai tumbuh di area yang sebelumnya tidak pernah ada, tanaman tumbuh lebih tinggi dan lebih lebat karena kondisi yang mendukung, dan spesies khusus yang biasanya tumbuh normal di ketinggian lebih rendah beranjak ke area yang lebih tinggi. 

"Skala perubahannya berubah menjadi sangat masif di Alpen," kata Sabine Rumpf, kepala penulis penelitian itu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Di Bawah Tekanan

Mereka juga pernah meneliti soal pengaruh pemanasan global terhadap keanekaragaman hayati Alpen dan perubahan distribusi spesies tanaman. Namun, sampai saat ini belum ada yang menganalisis perubahan produktivitas vegetasi di Pegunungan Alpen secara komprehensif.

Hasil penelitian hanya menunjukkan bahwa peningkatan biomassa tanaman di Alpen disebabkan oleh perubahan curah hujan dan periode vegetasi yang lebih lama akibat dari kenaikan suhu. "Tanaman Alpen beradaptasi dengan kondisi yang keras, tetapi mereka tidak terlalu kompetitif," kata Rumpf.

Ketika kondisi lingkungan berubah, katanya, spesies khusus ini kehilangan keunggulannya dan kalah bersaing. "Karena itu, keanekaragaman hayati pegunungan Alpen yang unik berada di bawah tekanan yang cukup besar," ia memperingatkan.

Berbeda dengan vegetasi, luasan tutupan salju di atas garis pohon hanya berubah sedikit sejak 1984. Garis pohon ini dimaknai sebagai tepi habitat tempat pohon dapat tumbuh. Para peneliti mengecualikan daerah di bawah ketinggian 1.700 meter, gletser, dan hutan, sebagai subjek analisis mereka.

 

3 dari 4 halaman

Konsekuensi Berbahaya

Mereka menemukan bahwa tutupan salju telah menurun secara signifikan di hampir 10 persen dari luasan yang diteliti. Meski terkesan tidak signifikan, para peneliti menekankan bahwa temuan itu tetap mengkhawatirkan.

"Analisis data satelit sebelumnya tidak mengidentifikasi tren seperti itu," jelas Antoine Guisan, salah satu dari dua penulis senior studi tersebut. "Ini mungkin karena resolusi citra satelit tidak mencukupi atau karena periode yang dipertimbangkan terlalu pendek."

"Selama bertahun-tahun, pengukuran berbasis darat lokal telah menunjukkan penurunan kedalaman salju di ketinggian rendah," tambah Grégoire Mariéthoz. "Penurunan ini telah menyebabkan beberapa daerah menjadi sebagian besar bebas salju."

Penghijauan di Alpen tentu mendatangkan konsekuensi berbahaya. Dikutip dari AFP, sejumlah besar bahan baku air minum di Eropa berasal dari salju yang mencair. Bila air tidak disimpan sebagai salju, akan cepat menghilang lewat laut.

Konsekuensi kedua, hidup mahkluk endemik Pegunungan Alpen akan terganggu. Begitu pula dengan sektor industri wisata ski yang menjadi kunci penggerak ekonomi warga selama ini.

"Apa yang cenderung kita lupakan adalah aspek emosional dari proses-proses ini yang membuat Pegunungan Alpen seperti simbol yang sangat ikonik dan ketika orang berpikir tentang Swiss, biasanya Pegunungan Alpen yang mereka pikirkan," ucap Rumpf.

 

4 dari 4 halaman

Lingkaran Setan

Meski hijaunya Alpen bisa meningkatkan penyerapan karbon, para peneliti berpendapat hal itu berdampak buruk pada pemanasan global dan tingkat pencairan lapisan es. Salju bisa memantulkan sekitar 90 persen radiasi matahari, sementara tanaman menyerap lebih banyak dan memancarkan energi kembali dalam bentuk panas.

Selanjutnya, siklus berlanjut dengan percepatan pemanasan, pencairan salju, dan lebih banyak lagi vegetasi. Ujung-ujungnya adalah lingkaran setan yang tidak tahu kapan berakhir. 

Masa depan Pegunungan Alpen juga tidak bisa diprediksi dengan pasti. "Terkait salju, itu bisa terlihat cukup jelas," kata Rumpf. "Aku memprediksi lebih banyak lapisan salju yang menghilang, khususnya di ketinggian yang lebih rendah."

Selain penghijauan, fenomena 'pencokelatan' juga muncul yang ditandai oleh tanah tidak lagi tertutup salju maupun vegetasi. Hal ini terjadi kurang dari satu persen dari luas area yang diteliti. Fenomena ini terjadi lebih sedikit dari temuan di Kutub Utara atau pegunungan di Asia Tengah.

Fenomena tersebut didorong oleh dua faktor, yakni peningkatan hujan ekstrem diikuti oleh kekeringan dan berkurangnya air yang tersedia untuk tanaman yang biasanya diperoleh dari pencairan salju tahunan. 

"Kami tidak tahu di masa depan apakah pencoklatan akan terjadi lebih banyak lagi," ucap Rumpf, yang berharap dapat mengulangi pengamatan dalam waktu beberapa tahun ke depan. (Natalia Adinda)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.