Sukses

Pemerintah Segera Gelar Program Sertifikasi CHS untuk Sektor Pariwisata, Apakah Diwajibkan?

Program sertifikasi CHS berlaku untuk 18 bidang yang berkaitan dengan pariwisata.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyatakan sedang memfinalisasi standar kenormalan baru (new normal) terkait sektor perhotelan yang dirangkum dalam program Cleanliness, Health, and Safety (CHS). Protokol kebersihan, kesehatan, dan keamanan baru itu kini sedang diuji coba di beberapa tempat di Bali.

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Dampak COVID-19 di sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf/Baparekraf, Ari Juliano Gema mengatakan pihaknya kini sedang menunggu masukan dari para pelaku usaha perhotelan terkait aplikasi protokol CHS di lapangan. Selanjutnya, standar CHS itu akan diverifikasi.

"Selanjutnya, proses sertifikasi untuk hotel-hotel yang menerapkan protokol yang disiapkan Kemenparekraf," kata Ari kepada Liputan6.com, Rabu (27/5/2020).

Ia mengatakan tanggung jawab sertifikasi CHS di sektor perhotelan rencananya akan diserahkan kepada Dewan Pembangunan Kepariwisataan Berkelanjutan yang selama ini mengepalai proses sertifikasi destinasi pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Alasannya, dewan tersebut bersifat independen dan sudah memperoleh sertifikat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN).

"Kemungkinan ke depan setelah prosedur disiapkan, (sertifikasi) akan dilakukan Dewan Pembangunan Kepariwisataan Berkelanjutan," sambung Ari.

Ia mengungkapkan sertifikasi CHS akan diberlakukan untuk 18 sektor, di antaranya perhotelan, restoran, destinasi wisata, dan spa. Sifatnya adalah sukarela. Artinya, pelaku usaha yang tidak mendapat sertifikat CHS tetap bisa beroperasi tanpa ada sanksi.

"Tidak ada sanksinya kalau tidak ada sertifikat, tetapi kalau punya, justru hal itu menambah kepercayaan publik. Sifatnya tidak wajib, sukarela," kata dia.

Menurut Ari, pemerintah sengaja tidak mewajibkan hal itu dengan alasan konsep sertifikasi memang bersifat sukarela. Di samping itu, pemerintah tidak ingin memberatkan pihak hotel, misalnya, karena proses sertifikasi ini tidak mudah dan memakan biaya.

"Nanti pemerintah akan fasilitasi, tapi usaha-usaha itu harus sudah memiliki kesiapan sehingga fasilitas dari pemerintah bisa dimanfaatkan maksimal. Kalau pihak hotel belum siap, nanti memaksakan, malah timbulkan efek negatif," sambung dia lagi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Protokol Kesehatan Wajib Ditegakkan

Meski demikian, Ari menegaskan seluruh pelaku usaha pariwisata wajib menegakkan protokol kebersihan, kesehatan, dan keamanan yang ditetapkan pemerintah, baik daerah maupun pusat. Hal itu menjadi jaminan bagi para pengunjung atau turis selama berwisata di masa pandemi.

"Pelaku usaha yang tidak mempunyai sertifikasi belum tentu tidak aman. Mereka tetap harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemda. Jadi kalau tidak sanggup (sertifikasi), tidak masalah sepanjang telah menerapkan protokol kesehatan yang ketat juga," katanya.

Ia berharap sertifikasi CHS akan bersifat organik. Publik lah yang akan menentukan kesadaran pelaku usaha untuk menyertifikasi usahanya.

"Kalau dia lihat yang punya sertifikat lebih laku atau diminati publik, pengusaha hotel pasti tergerak untuk disertifikasi," sambung dia.

Ari juga menegaskan pemberlakuan standar new normal menjadi wewenang pemerintah daerah masing-masing. Hanya daerah yang berada di zona hijau dan kuning saja yang bisa berdasarkan indikator-indikator yang disusun Gugus Tugas Penanganan COVID-19.

"Masih dikoordinasikan (protokol CHS), kalau sudah siap, tentu akan dibuka ke publik, rencananya Juni awal," kata dia.

3 dari 3 halaman

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini