Sukses

Cerita Para Penjahit Jalanan di Pinggir Barat Jakarta

Para penjahit jalanan dengan mudah ditemukan di kawasan Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat.

Liputan6.com, Jakarta - Panasnya terik matahari memaksa Arief beringsut dari tempatnya duduk di atas sadal sepeda. Mengenakan kemeja lengan pendek biru muda, penjahit itu mendorong sepedanya ke tempat yang adem. Ia memilih tempat di dekat teman penjahit lainnya di belakang sebuah bangunan.

"Panas, Mas!" seru Arief  kepada penjahit yang lainnya saat  Liputan6.com, tiba di perumahan Vila Meruya, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat, Minggu, 13 Oktober 2019.

Meteran jahit yang dikalungkan di leher Arief  bergoyang-goyang diterpa angin. Sejurus kemudian ia menyeka wajahnya yang berkeringat karena terpapar panas terik matahari siang itu.

Arief satu dari enam penjahit jalanan yang biasa mangkal di perumahan itu. Setelah tak lagi keliling, lelaki kelahiran Batang, Jawa Tengah itu, mangkal di sebuah tanah lapang di perumahan tersebut.

"Saya mangkal lebih dari dua tahun, kalau teman saya yang lain lebih lama lagi," terang Arief.

Sudah cukup lama Arief menjalani profesi sebagai penjahit. Keterampilan menjahit didapat Arief dari kursus di kampung halamannya. Sebelum di Vila Meruya, ia sempat mangkal di kawasan Joglo, Jakarta Barat. 

Kemampuannya kian terasah saat bekerja di sebuah konveksi di Jembatan Tiga, Jakarta Utara. Ia bahkan sempat mengadu peruntungan dengan berdagang buah dingin menggunakan gerobak. Namun, jalan hidup menuntunnya pada profesi penjahit.

"Kalau ingin punya uang, saya harus menjahit. Jadi, saya bisa menentukan sendiri, bukan ditentukan orang lain," kata lelaki kelahiran 1981 membandingkan kondisinya dulu dengan sekarang.

Selain tak keliling, penghasilan Arief pun berbeda dengan sebelumnya. Setiap hari ia bisa membawa uang Rp100 ribu hingga Rp150 ribu.

"Itu penghasilan bersih, sudah buat makan dan minum. Kalau lagi ramai, saya bisa bawa pulang duit Rp500 ribu sehari," kata lelaki yang memiliki seorang anak dan istri yang tinggal di kampung halamannya. "Sekarang saya tinggal di kontrakan bersama teman-teman. Ada enam orang, termasuk saya," sambung lelaki yang menekuni profesi sebagai penjahit lebih dari 10 tahun.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dari Keliling Hingga Mangkal

Keberadaan para penjahit jalanan yang mangkal di perumahan tersebut sudah berlangsung sejak lima tahun lalu. Awalnya, mereka mangkal di tempat itu secara bergiliran. Ada yang pagi sampai siang, ada yang siang hingga sore. Begitu seterusnya.

"Kalau pagi mangkal, maka siangnya yang harus keliling. Tapi kalau paginya keliling, siangnya mangkal di sini. Tapi sekarang sudah kumpul semua, nggak ada yang keliling lagi," cerita Arief mengenai keberadaannya bersama teman-teman di perumahan itu.

Keberadaan para penjahit di lokasi ini tak gratis. Sebulan sekali, mereka harus membayar uang keamanan. Satu kepada pihak keamanan setempat, satunya lagi kepada ormas yang berada di kawasan itu.

"Rp15 ribu dan Rp20 ribu. Jadi, Rp35 ribu sebulan," ujar Heru dengan pandangan fokus ke mesin jahit.

Berbeda dengan Arief, Heru lebih dulu mangkal perumahan itu bersama temannya yang lain. Sebelumnya, ia juga sempat menjadi penjahit keliling, seperti Arief.

"Saya keliling dari Joglo sampai Kembangan. Tapi sekarang sudah mangkal di sini. Orang sudah banyak yang tahu ada banyak penjahit di sini," ujar lelaki asal Bumiayu, Jawa Tengah ini.

Dari penghasilannya menjahit, Heru bisa membiayai sekolah dua anak dan istrinya, termasuk juga biaya kontrakan sebesar Rp700 ribu per bulan. Kini, Arief dan Heru serta teman-temannya hanya bisa mensyukuri dari apa yang didapatnya.

"Kadang-kadang Rp200 ribu sehari, tergantung ramai atau nggak. Tapi yang paling ramai itu biasanya menjelang Lebaran. Banyak banget yang ke sini. Sampai saya dan temen-temen paling istirahatnya saat makan siang aja. Penghasilan saya bisa Rp500 ribu sehari," papar Heru.

Pekerjaan yang biasa Arief dan Heru lakukan di antaranya merombak celana, memperbaiki retsleting rusak, memotong celana, dan sejenisnya. Untuk merombak celana atau baju dikenakan tarif Rp25 ribu, sedangkan biaya potong dan ganti retsleting dan lainnya Rp10 ribu.

"Sekarang saya jalani dan bersyukur aja. Soal penghasilan itu sudah diatur Allah," tandas Heru.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.