Sukses

Bolehkah Bisnis Penukaran Uang? Begini Hukumnya dalam Islam

Jelang lebaran Idul Fitri, muncul bisnis temporer penukaran uang dengan potensi perputaran uang yang cukup besar. Bagaimana hukumnya dalam Islam?

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang lebaran Idul Fitri, kebutuhan uang pecahan meningkat, seturut tradisi hadiah untuk sanak saudara yang masih kecil. Istilah lainnya adalah angpau Idul Fitri.

Masyarakat akan menukar di bank. Namun, karena panjangnya antrean, biasanya mereka tak sabar dan akhirnya memilih jasa penukaran uang.

[bacajuga:Baca Juga](5261949 5261929 5261838

Maka itu, kemudian muncul bisnis temporer penukaran uang dengan potensi perputaran uang yang cukup besar.

Dalam praktiknya, lazimnya ada selisih saat menukarkan uang. Contoh, uang pecahan Rp100 ribu akan ditukar dengan uang pecahan 10 ribuan, dengan jumlah nominal Rp90 ribu.

Praktik ini dianggap lazim karena sama-sama menguntungkan. Tetapi, sebenarnya secara nominal ada yang dirugikan karena tidak mendapat uang senilai nominal yang ditukarkannya.

Lantas, bagaimana pandangannya dalam Islam? bagaimana hukumnya?

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pandangan Mazhab Syafi'i

Moh Zainul Arif, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PCNU Kota Tangerang Selatan menjelaskan, transaksi model penukaran seperti dipraktikkan di  atas perlu perhatian khusus dalam hal status hukumnya ‎dalam literatur Islam, agar masyarakat tidak terjebak dengan praktik bermuamalah ‎yang menyalahi aturan syariat seperti halnya riba.‎‎ 

Secara umum, dalam bertransaksi haruslah memenuhi syarat dan rukun sebagai unsur ‎yang harus dipenuhi. Juga jenis transaksi yang diakadi antara kedua belah pihak ‎‎(mutaaqidaini) haruslah jelas. ‎‎ 

Dilihat dari praktik pertukaran uang yang terjadi di masyarakat seperti gambaran di ‎atas, status transaksi tersebut beragam, bisa berstatus sebagai akad jual beli (bai') ‎maupun akad ijarah. Namun penulis fokus membahas permasalahan ini pada tinjauan ‎akad jual beli.‎‎ 

Pertimbangan praktik pertukaran uang diarahkan kepada transaksi jual beli adalah ‎mengingat bahwa pada zaman sekarang, mata uang terkait dengan neraca ‎perdagangannya (bukan berdasarkan cadangan emas dan perak yang dimilikinya).‎‎ 

Maka hukum transaksi di atas adalah sah dan boleh menurut ulama dari kalangan ‎Mazhab Syafi'i, Hanafi, serta pendapat yang masyhur di kalangan Mazhab Hanbali, ‎karena hal demikian tidak tergolong mal ribawi (kategori harta yang berpeluang riba). ‎ 

Artinya: ’’Dan disyaratkan dalam jual beli barang kategori ribawi, yaitu terbatas pada ‎dua hal : 1.bahan makanan, seperti gandum, jelai, kurma, kismis, garam, beras, ‎jagung, kacang-kacangan. 2. uang, yaitu emas dan perak sekalipun keduanya tidak ‎dicetak sebagai mata uang seperti bentuk perhiasan, dan emas mentah. Keduanya ‎dari jenis yang sama seperti gandum ditukar dengan gandum dan emas dengan emas ‎secara kontan dan transaksi dilakukan sebelum berpisah. Syaikh Ibnu Hajar al-‎Haitami berpendapat dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj " alasan dikatakan riba di sini ‎adalah inti dari nilai/harga mata uang tersebut, maka tidak ada unsur riba dalam ‎uang (selain emas & perak) meskipun berlaku sebagai alat tukar.’’ (I'anah at-Thalibin ‎Juz 3 hal.12-13)‎.

 

3 dari 3 halaman

Pandangan Mazhab Maliki dan Hanbali

‎Dalam kitab lain dijelaskan yang artinya, ’’Ulama Madzhab Syafii, Hanafi kecuali ‎Muhammad serta ulama Hambali dalam pendapat yang masyhur, hal ini juga ‎merupakan pendapat al-Qadhi di dalam kitab al-Jamik, Ibnu Aqil serta al-Syirazi dan ‎pemilik kitab al-Mustau'ab, dan lain-lain. Bahwasanya tidak ada riba di dalam uang ‎yang dibuat transaksi walaupun diakui sebagai alat transaksi. Karena uang tidak bisa ‎ditimbang dan ditakar (sebagaimana emas dan perak), serta tidak adanya nash yang ‎menyatakan riba dalam uang sebagaimana dikatakan oleh al-Buhuti.’’ (Mausuu'ah al-‎Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah).‎‎ 

Sedangkan menurut pendapat yang kuat dari Mazhab Maliki dan sebagian riwayat ‎dalam Mazhab Hanbali, hukumnya tidak diperbolehkan, karena mata uang rupiah bisa ‎disetarakan dengan emas dan perak dalam unsur ribawi-nya.‎

‎ ‎’’Ulama Mazhab Maliki memiliki silang pendapat, namun pendapat yang kuat di ‎kalangan mereka yang juga merupakan satu riwayat ulama Mazhab Hanbali di mana ‎silang pendapat di kalangan ulama Hanbali ini dikonfirmasi oleh Abu al-Khatib. Hal ini ‎juga merupakan pendapat Muhammad seorang ulama bermazhab Hanafi ‎bahwasanya tidak diperkenankan menjual uang dengan sesama jenisnya secara ‎tidak sama. Dan juga tidak boleh secara hutang, dan juga tidak boleh menjual uang ‎dengan emas atau perak secara utang.’’ (Mausuu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah)‎‎. Wallahu a'lam bisshawab‎. (Sumber: banten.nu.or.id)

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.