Sukses

Gempa Cianjur dan Ibrah Tsunami Palestina Mengguncang Madinah Tewaskan 25 Ribu Jiwa

Dalam sejarah Islam, gempa dan tsunami juga dicatat oleh para ulama terdahulu. Salah satunya gempa dan tsunami yang terjadi di Ramallah, Palestina abad ke-8 Masehi, seperti dicatat oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu Katsir

Liputan6.com, Cianjur - Gempa, tsunami dan likuefaksi kini menjadi istilah yang populer di masyarakat umum. Ketiganya memang saling berhubungan sebab akibat dan seringkali memperparah dampak bencana gempa bumi,

Usai gempa Cianjur, tsunami juga menjadi salah satu istilah yang paling dicari di Google.

Gempa dan tsunami merupakan fenomena alam dan menjadi sunatullah. Peristiwa tersebut terjadi berulang, selama jutaan tahun seturut keberadaan bumi.

Gempa bumi, likuefaksi dan tsunami telah tercatat terjadi sejak zaman purbakala. Hal itu terkonfirmasi dari para ahli geologi yang meneliti fenomena alam tersebut.

Di Indonesia sendiri, gempa dan tsunami terus terjadi di berbagai daerah pesisir. Salah satu yang paling sulit dilupakan tentu saja gempa dan tsunami Aceh 2004. Ratusan ribu korban jiwa terkonfirmasi meninggal dan hilang dalam megabencana tersebut.

Dalam sejarah Islam, gempa dan tsunami juga dicatat oleh para ulama terdahulu. Salah satunya gempa dan tsunami yang terjadi di Ramallah, Palestina abad ke-8 Masehi, seperti dicatat oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu Katsir.

Tsunami itu begitu mengerikan karena air laut surut berkilometer. Bahkan digambarkan, air laut surut dalam jarak perjalanan sehari.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Gempa Palestina yang Mengguncang Madinah

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember, mengulas catatan bencana gempa bumi, likuefaksi dan tsunami yang dicatat oleh para ulama. Ulasan ini dimuat di NU Online, dengan judul 'Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi dalam Catatan Sejarah Ulama Terdahulu'.

Dalam tulisannya, sejumlah ulama mencatat peristiwa-peristiwa bencana gempa bumi, likuefaksi dan tsunami pada masa silam. Di antaranya, Imam as-Suyuthi (911 H), Ibnu Katsir (774 H) dan Ibnu al-Jauzi (597 H).

Imam Jalaluddin as-Suyuthi melaporkan bahwa kota Ramallah (Palestina) pernah diguncang gempa hebat yang diikuti gelombang tsunami yang sangat besar sebab air laut surut sepanjang beberapa puluh kilometer (perkiraan sehari perjalanan pada masa itu).

وفي سنة ستين كانت بالرملة الزلزلة الهائلة التي خربتها حتى طلع الماء من رءوس الآبار، وهلك من أهلها خمسة وعشرون ألفًا، وأبعد البحر عن ساحله مسيرة يوم، فنزل الناس إلى أرضه يلتقطون السمك، فرجع الماء عليهم فأهلكهم.

“Pada tahun 460 H, terjadi sebuah gempa besar di Ramallah hingga membuat Ramlah hancur lebur. Gempa itu telah membuat air menyembur dari pinggiran sumur. Jumlah korban yang meninggal akibat gempa itu adalah dua puluh lima ribu jiwa. Gempa itu juga telah membuat air surut dari garis pantai sejauh sehari perjalanan. Orang-orang kemudian turun ke dasar laut untuk menangkap ikan yang terdampar, kemudian air kembali pasang dan mencelakakan mereka.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, halaman 300).

Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wan-Nihâyah juga merekam kejadian tersebut dengan menukil catatan Ibnu al-Jauzi. Dia menyebutkan bahwa gempa Ramallah di Palestina itu juga mengguncang Madinah dan terasa hingga daerah Rahbah (sekarang Abu Dhabi) dan kota Kufah di Irak.

Menurut Ibnu Katsir, gempa dahsyat yang diiringi tsunami itu menyebabkan di kota Ramallah hanya tersisa dua rumah saja (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz XII, halaman 96).

 

3 dari 3 halaman

Tsunami Iran

Reportase tentang fenomena gempa yang diiringi tsunami dan likuifaksi lainnya yang dicatat oleh as-Suyuthi terjadi di daerah Ray, Iran, pada tahun 364 H atau 1858 M. Musibah besar ini dilaporkan sebagai berikut:

وفي سنة ست وأربعين نقص البحر ثمانين ذراعًا، وظهر فيه جبال وجزائر وأشياء لم تعهد، وكان بالري ونواحيها زلازل عظيمة، وخسف ببلد الطالقان، ولم يفلت من أهلها إلا نحو ثلاثين رجلًا، وخسف بمائة وخمسين قرية من قرى الري، واتصل الأمر إلى حلوان فخسف بأكثرها، وقذفت الأرض عظام الموتى، وتفجرت منها المياه، وتقطع بالري جبل، وعلقت قرية بين السماء والأرض بمن فيها نصف النهار، ثم خسف بها وانخرقت الأرض خروقًا عظيمة، وخرج منها مياه منتنة ودخان عظيم، هكذا نقل ابن الجوزي.

“Pada tahun 346 H, air laut menyusut serendah 80 dhira' (40 m). Pada saat itu muncul bukit-bukit dan pulau-pulau, serta hal-hal lain yang sebelumnya belum pernah terjadi. Sementara itu, di Ray dan sekitarnya terjadi gempa yang dahsyat. Dan negeri Thaliqan tenggelam, hanya 30 orang laki-laki saja yang selamat. Sebanyak 150 desa di Ray roboh. Gempa ini merambat hingga ke Helwan sehingga hampir merobohkan sebagian besar desa-desa tersebut. Sementara itu, bumi memuntahkan tulang-belulang mayat, menyemburkan air, sebuah bukit di Ray luluh-lantak, dan sebuah desa beserta penduduknya bergelantung selama setengah hari. Kemudian, desa itu ambles sangat dalam, lalu keluarlah air berbau busuk dan kepulan asap besar. Demikian ini dinukil dari Ibnul Jauzi.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, halaman 287).

Yang menarik dari semua reportase para ulama ahli tafsir, hadits dan sejarah tersebut, tak satu pun ditemukan pernyataan mereka yang menghubungkan bencana alam dahsyat itu dengan azab bagi penduduk Ramallah di Palestina atau penduduk Ray di Iran.

Mereka hanya menyebutkan bagaimana bencana itu terjadi dan dampak kerusakannya dan mencukupkan diri dengan reportase hal itu saja tanpa menarik kesimpulan yang di luar ranah manusia. Dari segi teologis, memang ada kemungkinan bahwa sebuah bencana alam diturunkan Allah sebagai azab, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat dan hadis, tapi kita tak bisa memastikan hal itu sebab itu adalah ranah gaib.

Kemungkinan bahwa bencana itu terjadi sebagai ujian bagi orang beriman dan penghapus dosa bagi kaum muslimin secara umum juga terbuka lebar. Sebab itu, alangkah baiknya bila kita mengedepankan introspeksi dan tobat bila suatu bencana menimpa kita, sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khattab tatkala terjadi gempa di masa kekhalifahannya.

Namun, bila sebuah bencana menimpa orang lain, maka cukuplah bagi kita melaporkan kejadian lahiriahnya saja tanpa menarik kesimpulan yang harus kita pertanggungjawabkan di akhirat, seperti yang dilakukan para ulama di atas. Wallahu a'lam.

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.