Sukses

Pengamat: Polemik Presidential Threshold karena Pola Pikir Pendek

Para politisi yang menyetujui revisi UU terkait Presidential Threshold itu karena mereka tak yakin akan perolehan suara dalam Pemilu.

Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Burhanuddin Muhtadi menyatakan, polemik Presidential Threshold  atau ambang batas presiden muncul karena undang-undang yang mengaturnya dipersiapkan dengan pola pikir jangka pendek. Selain itu semata-mata untuk menguntungkan partai salah satu pihak tertentu.

"Kita tidak pernah punya niat membangun design institusi untuk jangka panjang. Imajinasinya pendek, hanya untuk menyambut pemilu," ujar Burhanuddin dalam diskusi UU Pilpres dan Presiden Pilihan Rakyat di Kantor Prodem, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (25/7/2013).

Burhanuddin menilai, para politisi yang menyetujui revisi UU terkait Presidential Threshold itu karena mereka tak yakin akan perolehan suara dalam Pemilu. Sementara, yang setuju merasa yakin dengan perolehan suara mereka.

"Untuk revisi UU pilpres, Golkar dan PDIP tidak setuju karena dari survey mereka mampu melewati angka 20 persen. Demokrat awalnya juga tidak setuju tapi kemudian berbagai kasus meremukkan partai mereka, sehingga kemungkinan perolehan suara mereka turun jadi mereka setuju," paparnya.

Sedangkan Gerindra, lanjut dia, tampak ngotot ingin merevisi. Itu juga berangkat dari alasan yang sederhana."Simple saja kalau 20 persen, Prabowo sulit untuk maju," tukas Burhanuddin. (Ali)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini