Sukses

7 Cerita tentang Bullying di Sekolah dan Perlawanannya, Ini Pandangan Psikologi

Cerita tentang bullying di sekolah bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari intimidasi verbal hingga kekerasan fisik.

Liputan6.com, Jakarta - Cerita tentang bullying di sekolah bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari intimidasi verbal hingga kekerasan fisik. Contohnya, di sebuah sekolah menengah di kota Jakarta, kasus bullying mencuat ke permukaan ketika seorang siswa, sebut saja Budi, menjadi korban serangkaian perundungan yang dilancarkan oleh sekelompok teman sekelasnya. Budi, siswa berusia 14 tahun, mengalami bullying selama berbulan-bulan sebelum akhirnya pihak sekolah dan orang tuanya menyadari apa yang terjadi.

Ketika kasus ini terungkap, berbagai pertanyaan muncul tentang bagaimana sekolah dan masyarakat seharusnya menyikapi bullying. Menurut penelitian "Bullying dalam Prespektif Psikologi" oleh Universitas Wijaya Putra, bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan dengan sengaja dan berulang-ulang, seringkali ditujukan kepada mereka yang lebih lemah atau rentan.

Dalam kasus Budi, ia menjadi target karena perbedaan fisik dan ketidaksukaannya terhadap kegiatan olahraga yang digemari teman-temannya. Pentingnya menyikapi cerita tentang bullying di sekolah tidak bisa diabaikan karena dampak psikologis yang signifikan pada korban.

Budi, misalnya, mulai menunjukkan tanda-tanda depresi dan kehilangan minat untuk bersekolah. Psikolog Tiara Diah Sosialita, MPsi, dari Universitas Airlangga, melansir dari situs website resminya menjelaskan bahwa korban bullying dapat mengalami gangguan mental dan emosional, yang berdampak pada interaksi sosial mereka di kemudian hari.

Meski cerita tentang bullying di sekolah ini menyedihkan, ada sisi inspiratif yang dapat dipetik dari pengalaman Budi. Setelah mendapatkan dukungan dari keluarga dan bantuan profesional, Budi mulai pulih dan kembali ke sekolah dengan semangat yang baru. Keberanian Budi dalam menghadapi masa sulit ini menjadi inspirasi bagi banyak orang, menunjukkan bahwa dengan dukungan yang tepat, korban bullying dapat bangkit dan menjalani hidup yang lebih baik.

Berikut Liputan6.com ulas cerita tentang bullying di sekolah yang dimaksudkan, Rabu (1/5/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Cerita tentang Bullying di Sekolah Soal Ketidakadilan

Cerita tentang bullying di sekolah yang inspiratif seringkali hadir dalam bentuk kisah perjuangan dan kemenangan melawan ketidakadilan. Salah satu contoh inspiratif datang dari seorang siswa sekolah menengah bernama Andi.

Andi adalah seorang anak pemalu yang sering menjadi sasaran bullying di sekolahnya. Karena ia lebih menyukai buku daripada olahraga dan memiliki gaya berbicara yang tenang, teman-temannya sering mengejek dan mem-bully-nya. Andi sering pulang ke rumah dengan rasa sedih dan terkadang bahkan terluka secara fisik.

Namun, Andi tidak menyerah pada situasi ini. Ia berbicara dengan orang tuanya dan gurunya tentang apa yang dialaminya. Bersama-sama, mereka merancang rencana untuk mengatasi bullying. Andi didorong untuk bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minatnya, seperti klub sains dan drama, di mana ia menemukan teman-teman baru yang mendukung dan menghargainya. Perlahan, kepercayaan dirinya tumbuh dan ia mulai menemukan keberanian untuk melawan perlakuan buruk yang diterimanya.

Perubahan mulai terjadi ketika guru-guru dan pihak sekolah juga terlibat aktif dalam mengatasi kasus bullying. Mereka mengadakan seminar anti-bullying dan memberikan pelatihan kepada siswa tentang pentingnya empati dan kerja sama.

Andi, yang awalnya pemalu, menjadi salah satu pembicara dalam seminar tersebut, berbagi kisahnya dan memberikan inspirasi kepada siswa lain yang mungkin menghadapi situasi serupa. Keberanian Andi dan dukungan dari pihak sekolah dan keluarganya membantu mengubah budaya sekolah menjadi lebih inklusif dan peduli.

Bagaimana seharusnya menyikapi cerita tentang bullying di sekolah ini? Pertama, mendengarkan dengan penuh perhatian dan tanpa menghakimi. Penting untuk menciptakan lingkungan di mana korban bullying merasa aman dan didukung. Kedua, pihak sekolah harus memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas dan konsisten, serta melibatkan siswa, guru, dan orang tua dalam upaya pencegahan. Terakhir, dukungan emosional dan profesional, seperti konseling, harus tersedia bagi korban bullying untuk membantu mereka pulih dan bangkit kembali, seperti yang Andi alami dalam kisah inspiratifnya.

2. Cerita tentang Bullying di Sekolah yang Kejam

Cerita tentang bullying di sekolah kadang menunjukkan sisi gelap dari kehidupan siswa yang sering kali diabaikan. Sebuah kasus kejam terjadi di sebuah sekolah menengah di kota besar di Indonesia. Seorang siswa bernama Ali menjadi korban bullying yang tidak hanya bersifat verbal, tetapi juga fisik. Setiap hari, sekelompok siswa yang lebih tua mengintimidasi Ali, mengolok-olok penampilannya, dan bahkan mengambil barang-barangnya tanpa izin.

Lebih parah, pada suatu kesempatan, Ali dikeroyok oleh sekelompok siswa tersebut di area yang sepi di sekolah, menyebabkan luka fisik yang serius.

Setelah insiden pengeroyokan itu, orang tua Ali segera melapor ke pihak sekolah, tetapi tanggapan awal yang mereka terima mengecewakan. Sekolah tampak enggan mengambil tindakan tegas, dengan alasan bahwa insiden tersebut adalah hasil "permainan anak-anak" dan tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menindak pelaku. Ali dan orang tuanya merasa diabaikan, dan rasa frustrasi mereka semakin meningkat. Ali mulai menunjukkan gejala trauma, seperti kesulitan tidur dan ketakutan untuk kembali ke sekolah.

Cara menyikapi kasus bullying yang kejam seperti ini harus serius dan cepat. Pertama, pihak sekolah perlu mengakui bahwa bullying adalah masalah serius yang tidak bisa diabaikan. Kebijakan anti-bullying yang jelas harus diterapkan, dengan tindakan tegas terhadap pelaku dan perlindungan bagi korban. Kedua, dukungan psikologis harus disediakan bagi korban seperti Ali, untuk membantunya pulih dari trauma. Ketiga, sekolah harus bekerja sama dengan orang tua dan pihak berwenang, seperti konselor sekolah dan penegak hukum, untuk memastikan perlindungan siswa.

Selain itu, penting untuk menciptakan budaya sekolah yang inklusif dan mendukung. Edukasi kepada siswa tentang bahaya bullying dan pentingnya empati dapat membantu mencegah kasus serupa terjadi di masa depan. Seminar, lokakarya, dan pelatihan untuk guru dan staf sekolah juga dapat meningkatkan kesadaran tentang bagaimana mengenali dan menangani kasus bullying dengan efektif. Dengan pendekatan yang komprehensif, cerita tentang bullying di sekolah yang kejam seperti ini dapat diubah menjadi pelajaran berharga untuk mencegahnya terjadi lagi.    

3 dari 5 halaman

3. Cerita tentang Bullying di Sekolah yang Viral

Cerita tentang bullying di sekolah seringkali menjadi viral karena dampaknya yang menyentuh hati dan membuka mata banyak orang. Sebuah kasus di sebuah sekolah menengah di Jawa Barat menjadi perbincangan hangat di media sosial. Seorang siswa, sebut saja Rahmat, menjadi korban bullying oleh sekelompok teman sekelasnya.

Mereka sering mengolok-olok Rahmat karena penampilannya yang berbeda dan suka membaca buku di saat teman-temannya bermain olahraga. Video yang merekam Rahmat saat ia dijahili, dilempari makanan, dan ditertawakan, diunggah ke platform media sosial dan langsung menjadi viral.

Reaksi dari warganet sangat cepat dan beragam. Banyak yang marah dan mengecam tindakan bullying tersebut, mengutuk para pelaku, dan menyerukan agar sekolah mengambil tindakan tegas. Namun, ada juga yang menyalahkan korban, menganggap Rahmat terlalu sensitif atau tidak bisa bergaul dengan baik. Dampak dari viralnya video tersebut sangat besar, baik bagi korban maupun sekolah yang disorot karena dianggap gagal melindungi siswanya. Rahmat, yang awalnya hanya ingin menjalani hari-hari biasa di sekolah, tiba-tiba harus menghadapi sorotan publik dan tekanan sosial yang luar biasa.

Bagaimana seharusnya menyikapi cerita tentang bullying di sekolah yang viral ini? Pertama, kita harus fokus pada perlindungan dan pemulihan korban. Rahmat membutuhkan dukungan emosional dan psikologis untuk mengatasi trauma dan tekanan yang dihadapinya.

Sekolah harus menyediakan konselor atau psikolog untuk membantu korban dan memastikan dia merasa aman kembali ke sekolah. Kedua, perlu ada tindakan tegas terhadap pelaku bullying. Sekolah harus melakukan investigasi yang transparan dan memberikan sanksi yang sesuai untuk mencegah terulangnya kasus serupa.

Selain itu, edukasi dan kesadaran publik perlu ditingkatkan untuk mengurangi stigma dan mendorong sikap empati. Kampanye anti-bullying di sekolah dan media sosial bisa membantu menyebarkan pesan tentang pentingnya menghormati perbedaan dan menghentikan perilaku bullying. Sekolah juga harus memastikan bahwa kebijakan anti-bullying mereka diterapkan dengan konsisten dan melibatkan orang tua serta komunitas dalam upaya pencegahan. Dengan cara ini, cerita tentang bullying di sekolah yang viral bisa menjadi titik awal perubahan positif untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif.

4 dari 5 halaman

4. Cerita tentang Bullying di Sekolah yang Sering Disepelekan

Cerita tentang bullying di sekolah seringkali disepelekan karena tidak selalu terlihat jelas atau dianggap sebagai "candaan anak-anak." Sebuah kasus di sekolah dasar di sebuah kota kecil di Indonesia menggambarkan bagaimana perilaku bullying bisa luput dari perhatian karena tidak tampak seperti tindakan kekerasan.

Seorang siswa bernama Dinda sering menjadi sasaran lelucon dan komentar yang menyakitkan dari teman sekelasnya. Mereka sering menyebutnya dengan nama julukan yang menghina dan mengucilkannya dari kegiatan kelompok. Meskipun tidak ada kekerasan fisik, dampak psikologis yang dirasakan Dinda sangat nyata.

Orang tua Dinda baru menyadari ada yang salah ketika Dinda mulai enggan pergi ke sekolah dan selalu tampak sedih. Mereka mencoba berbicara dengan guru, tetapi tanggapan yang mereka terima seringkali minim. Guru menyatakan bahwa itu hanya bagian dari dinamika kelas dan anak-anak perlu belajar mengatasinya sendiri. Namun, Dinda semakin menarik diri dan bahkan mulai menunjukkan tanda-tanda stres, seperti kehilangan nafsu makan dan mengalami mimpi buruk. Orang tua Dinda menyadari bahwa masalah ini tidak bisa disepelekan, dan mereka mulai mencari bantuan dari luar sekolah.

Bagaimana seharusnya menyikapi cerita tentang bullying di sekolah yang sering disepelekan ini?

Pertama, penting untuk memahami bahwa bullying tidak selalu harus berbentuk kekerasan fisik untuk menjadi berbahaya. Tindakan verbal dan sosial yang menyakitkan, seperti yang dialami Dinda, bisa berdampak serius pada kesehatan mental dan emosional seorang anak. Pihak sekolah harus lebih peka terhadap tanda-tanda bullying yang halus dan memastikan bahwa semua siswa merasa aman dan dihargai.

Langkah kedua adalah menciptakan budaya sekolah yang inklusif dan suportif. Guru dan staf sekolah harus dilatih untuk mengenali berbagai bentuk bullying dan memahami dampaknya. Siswa juga harus diajari untuk menghargai perbedaan dan melaporkan perilaku yang tidak pantas.

Ketiga, komunikasi antara sekolah dan orang tua harus diperkuat untuk memastikan bahwa masalah seperti ini dapat diatasi dengan cepat dan efektif. Dengan pendekatan ini, cerita tentang bullying di sekolah yang sering disepelekan bisa diubah menjadi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman dan peduli.

5. Cerita tentang Bullying di Sekolah yang Dianggap Candaan Biasa

Cerita tentang bullying di sekolah yang sering disepelekan biasanya terjadi ketika tindakan perundungan terlihat biasa saja atau dianggap sebagai "bagian dari tumbuh dewasa." Di sebuah sekolah menengah di sebuah kota kecil di Jawa Timur, seorang siswa bernama Joko menjadi sasaran ejekan teman-teman sekelasnya.

Joko memiliki postur tubuh yang lebih kecil dibanding teman-temannya, dan ini menjadi alasan mereka mengejek dan mempermalukannya di depan orang lain. Setiap hari, Joko harus mendengar julukan yang menghina dan merasakan tekanan sosial karena teman-temannya menolak mengajaknya bermain saat istirahat.

Pada awalnya, pihak sekolah menganggap perilaku ini sebagai "canda biasa" dan tidak melihatnya sebagai masalah serius. Guru-guru bahkan terkadang ikut tertawa saat melihat interaksi Joko dengan teman-temannya. Namun, di balik canda tersebut, Joko mulai merasa tidak nyaman dan cenderung menghindari pertemuan sosial. Dia menjadi murung dan kurang bersemangat untuk pergi ke sekolah. Orang tuanya akhirnya menyadari ada sesuatu yang tidak beres ketika nilai Joko mulai menurun dan ia sering meminta untuk tinggal di rumah.

Bagaimana seharusnya menyikapi cerita tentang bullying di sekolah yang sering disepelekan seperti ini?

Pertama, harus mengakui bahwa bullying dapat memiliki berbagai bentuk, dan setiap bentuknya berpotensi merusak kesehatan mental dan emosional korban. Pihak sekolah harus lebih serius dalam memeriksa tanda-tanda perundungan yang mungkin terlihat ringan namun memiliki dampak mendalam, seperti yang dialami Joko. Guru dan staf sekolah harus dilatih untuk mengenali berbagai jenis bullying, termasuk ejekan verbal dan eksklusi sosial.

Kedua, sekolah harus memiliki kebijakan yang jelas tentang anti-bullying, yang mencakup pelaporan dan tindakan tegas terhadap pelaku. Penting untuk menciptakan lingkungan di mana siswa merasa aman untuk melaporkan tindakan bullying tanpa takut akan pembalasan.

Ketiga, dukungan psikologis harus tersedia bagi korban untuk membantu mereka mengatasi trauma dan membangun kembali kepercayaan diri mereka. Dengan langkah-langkah ini, cerita tentang bullying di sekolah yang sering disepelekan dapat diubah menjadi momen untuk membangun kesadaran dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan peduli.    

5 dari 5 halaman

6. Cerita tentang Bullying di Sekolah dari Tindakan Kecil yang Terus-menerus

Cerita tentang bullying di sekolah yang sering disepelekan bisa datang dalam bentuk tindakan-tindakan kecil yang dilakukan secara terus-menerus hingga akhirnya berdampak besar. Di sebuah sekolah dasar di sebuah kota kecil di Sumatera, seorang siswa bernama Andika mengalami bullying yang kerap dianggap sepele oleh lingkungan sekolahnya.

Andika dikenal sebagai anak yang pendiam dan menyukai hal-hal yang berhubungan dengan seni. Sayangnya, minatnya ini menjadi alasan teman-teman sekelasnya mengejek dan mengolok-oloknya. Mereka sering meremehkan hasil karyanya, menertawakan ide-idenya, dan bahkan merusak gambar yang ia buat.

Guru-guru di sekolah tersebut menganggap perilaku ini sebagai "bercanda biasa" dan tidak mengambil tindakan serius. Teman-teman Andika sering membuat lelucon tentang kesukaannya pada seni, dengan mengatakan bahwa seni adalah "untuk anak-anak perempuan."

Meskipun tampaknya tidak ada tindakan kekerasan fisik, ejekan dan penghinaan yang berulang kali ditujukan kepada Andika mulai mempengaruhi kepercayaan dirinya. Ia menjadi semakin menarik diri dan mulai kehilangan semangat untuk berkarya. Orang tua Andika pun mulai melihat perubahan dalam sikap dan prestasi akademiknya, namun merasa sulit untuk menyampaikan keprihatinan mereka kepada pihak sekolah yang tampak tidak peduli.

Bagaimana seharusnya menyikapi cerita tentang bullying di sekolah yang sering disepelekan seperti ini?

Pertama, harus mengubah pandangan bahwa bullying hanya mencakup kekerasan fisik. Bullying verbal dan sosial bisa sama merusaknya, dan sekolah harus serius dalam mengidentifikasi serta mengatasi bentuk-bentuk bullying ini. Guru dan staf sekolah perlu diberi pelatihan untuk mengenali perilaku bullying yang sering kali tersembunyi di balik "bercanda" atau "gurauan."

Kedua, sekolah harus memiliki mekanisme pelaporan yang aman bagi korban bullying. Ini berarti menciptakan saluran komunikasi yang terbuka dan bebas dari intimidasi, sehingga siswa seperti Andika merasa nyaman melaporkan tindakan perundungan yang mereka alami. Ketiga, dukungan emosional dan psikologis harus menjadi bagian dari respons sekolah terhadap kasus bullying.

Konselor atau psikolog sekolah dapat membantu korban mengatasi dampak emosional dan membangun kembali kepercayaan diri mereka. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat memastikan bahwa cerita tentang bullying di sekolah yang sering disepelekan tidak lagi diabaikan dan korban mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.    

7. Cerita tentang Bullying di Sekolah karena Iri Dengki

Di sebuah sekolah menengah di pinggiran kota, seorang siswi bernama Maya mengalami bullying yang memilukan dari sejumlah teman sekelasnya. Maya adalah siswi yang cerdas dan ramah, namun kehadiran dan kesuksesannya dalam pelajaran sering menimbulkan iri dan dengki di antara beberapa siswa perempuan di kelasnya. Mereka mulai menyebarkan gosip negatif tentang Maya, menjelek-jelekkannya di media sosial, dan bahkan mengisolasi Maya dari kegiatan kelompok di sekolah.

Awalnya, Maya mencoba untuk mengabaikan perlakuan buruk tersebut, berharap bahwa hal itu akan berhenti dengan sendirinya. Namun, semakin lama, tekanan dari bullying tersebut mulai terasa berat baginya. Maya mulai merasa cemas dan tertekan setiap kali harus pergi ke sekolah. Ia bahkan mulai merasa bahwa tidak ada tempat yang aman bagi dirinya, bahkan di rumah. Orang tua Maya mulai menyadari perubahan perilaku anak mereka dan mencoba untuk mengetahui apa yang terjadi.

Seharusnya, menyikapi cerita tentang bullying di sekolah yang dialami siswa wanita seperti Maya dengan serius dan tindakan cepat. Pertama, pihak sekolah harus melakukan investigasi menyeluruh terhadap kasus tersebut. Penting untuk mendengarkan kesaksian Maya dan saksi-saksi lainnya secara objektif dan tanpa prasangka. Kedua, sekolah harus memberikan sanksi tegas kepada pelaku bullying sesuai dengan kebijakan sekolah dan melibatkan orang tua pelaku dalam proses penyelesaian.

Ketiga, penting untuk memberikan dukungan psikologis kepada Maya dan korban bullying lainnya. Konseling individu dapat membantu mereka mengatasi dampak emosional dari bullying dan membangun kembali rasa percaya diri yang mungkin telah tergoncang. Keempat, sekolah harus melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam upaya pencegahan bullying dengan mengadakan seminar, lokakarya, atau kampanye anti-bullying. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif bagi semua siswa, tanpa memandang jenis kelamin atau latar belakang mereka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.