Sukses

Distorsi Kognitif, Cara Berpikir yang Tidak Sehat dan Realistis

Pengertian dan jenis-jenis distorsi kognitif

Liputan6.com, Jakarta Mungkin Anda pernah merasa yakin bahwa apa yang Anda pikirkan adalah kebenaran mutlak. Namun, apakah kita benar-benar dapat mempercayai pikiran kita sepenuhnya? Ada fenomena misterius yang tersembunyi di balik cara kita berpikir yang mungkin belum Anda sadari. Distorsi kognitif adalah salah satu rahasia kecil dalam kompleksitas pikiran manusia yang dapat mengubah cara kita melihat dunia. 

Imajinasikan jika perasaan kita dapat memutar-balikkan realitas, membuat kita percaya bahwa apa yang kita rasakan adalah fakta yang tak terbantahkan. Tapi apakah hal ini benar-benar bisa terjadi? Distorsi kognitif membawa kita dalam perjalanan ke dalam labirin pikiran di mana emosi dan logika saling berbenturan. Bagaimana distorsi ini dapat mempengaruhi keputusan-keputusan kita sehari-hari?

Setiap orang memiliki cerita unik tentang bagaimana distorsi kognitif mempengaruhi kehidupan mereka. Dari meyakini segala sesuatu dalam hidup ini adalah "hitam atau putih" hingga mengabaikan hal-hal positif, distorsi kognitif memberikan lapisan misteri pada pemahaman kita tentang pikiran dan perasaan. Siapakah yang tidak ingin mengungkap rahasia di balik kompleksitas pikiran manusia?

Untuk lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari Healthline pengertian dan jenis-jenis distorsi kognitif, pada Kamis (4/4).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Apakah Distorsi Kognitif Termasuk Penyakit Mental?

Penting untuk dipahami bahwa berpikir dengan distorsi kognitif bukanlah penyakit mental secara langsung. Distorsi kognitif merupakan pola pikir atau cara berpikir yang tidak sehat yang dapat terjadi pada berbagai kondisi kesehatan mental, seperti depresi, disforia, dan gangguan kecemasan.

Dalam riset, distorsi kognitif seringkali terkait dengan kondisi-kondisi tersebut. Misalnya, seseorang yang mengalami depresi mungkin cenderung berpikir polarized atau mengabaikan hal-hal positif dalam kehidupannya. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap diri sendiri, orang lain, dan situasi di sekitarnya.

Meskipun demikian, secara khusus, distorsi kognitif tidak dianggap sebagai penyakit mental dalam Diagnosis dan Statistik Manual Gangguan Jiwa (DSM-5) dari American Psychiatric Association. Artinya, distorsi kognitif bukanlah entitas yang terpisah sebagai gangguan jiwa yang dapat didiagnosis secara langsung.

Penting untuk diingat bahwa mengalami distorsi kognitif sesekali adalah hal yang wajar dan umum dialami oleh banyak orang. Namun, jika seseorang mengalami distorsi kognitif secara teratur dan hal itu mengganggu fungsi sehari-hari mereka, seperti hubungan sosial, pekerjaan, atau kesejahteraan emosional, maka penting untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental.

Konsultasi dengan psikolog atau psikiater dapat membantu seseorang memahami pola pikirnya yang tidak sehat dan belajar teknik-teknik kognitif behavioral therapy (CBT) atau terapi lainnya untuk mengatasi distorsi kognitif dan meningkatkan kesehatan mental secara keseluruhan.

3 dari 7 halaman

Jenis-jenis Distorsi Kognitif

Distorsi kognitif adalah pola pikir yang tidak sehat atau tidak realistis yang dapat memengaruhi cara seseorang memahami dan merespons suatu situasi. Dalam pengembangan terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT), psikiater Aaron Beck pada tahun 1960-an dan 1970-an menjadi pelopor dalam penelitian mengenai distorsi kognitif. CBT merupakan jenis terapi psikologis yang membantu individu mengenali dan mengubah pola pikir yang tidak sehat tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan mental mereka.

Ada beberapa jenis distorsi kognitif yang sering terjadi, di antaranya:

1. Pemikiran Polarized (Polarized Thinking)

Distorsi ini terkadang disebut sebagai "all-or-nothing" atau "black-and-white thinking." Hal ini terjadi ketika seseorang secara rutin berpikir dalam ekstrem tanpa mempertimbangkan semua fakta yang ada dalam suatu situasi. Contohnya, seseorang yang mengalami polarized thinking mungkin meyakini bahwa mereka hanya bisa sukses atau gagal secara ekstrem, tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan di tengah-tengahnya.

Contoh lain dari polarized thinking adalah ketika seseorang memandang orang-orang dalam hidupnya sebagai entah malaikat atau setan, tanpa melihat bahwa kebanyakan orang memiliki sisi baik dan buruk. Distorsi kognitif ini tidak realistis dan seringkali tidak membantu karena kenyataannya seringkali berada di antara dua ekstrem tersebut.

2. Generalisasi Berlebihan (Overgeneralization)

Distorsi ini terjadi ketika seseorang membuat kesimpulan tentang satu kejadian dan kemudian secara keliru mengaplikasikan kesimpulan tersebut ke seluruh situasi. Dengan kata lain, seseorang mungkin mengasumsikan bahwa satu kejadian negatif berarti setiap kejadian selanjutnya juga akan negatif.

Sebagai contoh, jika seseorang mendapat nilai rendah dalam satu ujian matematika, mereka kemudian menganggap bahwa mereka buruk dalam matematika secara umum. Begitu pula dalam hubungan, jika seseorang memiliki pengalaman negatif dalam satu hubungan, mereka mungkin menganggap bahwa mereka tidak mampu dalam hubungan secara keseluruhan.

Overgeneralization seringkali terkait dengan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan kecemasan lainnya, karena kecenderungan untuk melihat satu kejadian negatif sebagai representasi dari keseluruhan pengalaman atau kehidupan seseorang.

4 dari 7 halaman

3. Catastrophizing

Catastrophizing merupakan salah satu jenis distorsi kognitif yang membuat seseorang merasa takut atau mengasumsikan hal terburuk ketika dihadapkan pada situasi yang tidak diketahui, meskipun tidak ada bukti yang mendukung prediksi tersebut. Ketika seseorang melakukan catastrophizing, kekhawatiran biasa dapat dengan cepat berkembang menjadi sesuatu yang sangat merugikan.

Sebagai contoh, bayangkan seseorang yang menunggu cek di pos namun tidak kunjung tiba. Orang yang melakukan catastrophizing mungkin mulai takut bahwa cek itu tidak akan pernah tiba, dan sebagai konsekuensinya, mereka tidak akan bisa membayar sewa rumah, sehingga seluruh keluarga akan diusir dari rumah.

Cukup mudah untuk menganggap catastrophizing sebagai "reaksi berlebihan yang histeris." Namun, orang-orang yang mengalami distorsi kognitif ini mungkin telah mengalami berulang kali kejadian-kejadian yang merugikan, seperti nyeri kronis atau trauma masa kecil, sehingga mereka selalu mengkhawatirkan hal terburuk dalam banyak situasi.

4. Personalization

Personalization (personalisasi) adalah salah satu kesalahan berpikir yang paling umum terjadi. Ini terjadi ketika seseorang mengambil segala sesuatu secara pribadi padahal tidak ada kaitannya atau tidak disebabkan oleh diri mereka sendiri.

Contohnya, ketika seseorang menyalahkan diri sendiri atas suatu kejadian yang sebenarnya bukan kesalahan mereka atau diluar kendali mereka. Atau ketika seseorang secara salah mengasumsikan bahwa mereka sengaja diabaikan atau menjadi target dari suatu kejadian.

Personalization ini seringkali terkait dengan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi. Ketika seseorang terlalu menginternalisasi atau mengambil segala sesuatu secara pribadi, hal ini dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional dan mental mereka secara keseluruhan.

5 dari 7 halaman

5. Mind Reading

Mind reading adalah salah satu jenis distorsi kognitif di mana seseorang mengasumsikan bahwa mereka tahu apa yang dipikirkan orang lain. Dengan distorsi kognitif ini, seseorang juga mungkin menganggap bahwa orang lain sedang memikirkan hal-hal negatif tentang diri mereka.

Penting untuk dicatat bahwa membedakan antara mind reading dan empati — kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang mungkin dirasakan oleh orang lain — bisa sulit. Namun, perlu diingat bahwa mind reading adalah delusi kognitif, sementara empati adalah kemampuan yang lebih rasional dan berdasarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang emosi dan pikiran orang lain.

Contohnya, seseorang mungkin menganggap bahwa teman mereka sedang memikirkan bahwa mereka tidak menyukai mereka hanya karena teman tersebut sedang serius atau terlihat cemas. Padahal, pikiran tersebut mungkin tidak berdasar pada fakta atau bukti yang kuat.

Untuk membedakan antara mind reading dan empati, penting untuk mempertimbangkan semua bukti yang ada, bukan hanya bukti yang memperkuat kecurigaan atau keyakinan kita. Ini dapat membantu seseorang untuk lebih objektif dalam menilai situasi dan tidak mengambil segala sesuatu secara pribadi atau negatif.

Studi menunjukkan bahwa mind reading lebih umum terjadi pada anak-anak daripada remaja atau orang dewasa, dan seringkali terkait dengan tingkat kecemasan yang lebih tinggi.

6. Mental Filtering

Mental filtering adalah pola pikir yang terdistorsi di mana seseorang cenderung mengabaikan hal-hal positif dan hanya fokus pada hal-hal negatif. Ini seringkali disebut sebagai penyaringan mental.

Sebagai contoh, seseorang yang menggunakan mental filtering mungkin hanya melihat kesalahan-kesalahan mereka dalam suatu situasi tanpa memperhitungkan hal-hal positif yang mereka lakukan. Hal ini dapat membuat mereka merasa buruk tentang diri mereka sendiri dan memperburuk gejala kecemasan dan depresi.

Menggunakan terapi kognitif behavioral atau pendekatan lainnya dapat membantu seseorang mengatasi mind reading dan mental filtering, serta mengembangkan pola pikir yang lebih sehat dan adaptif dalam menghadapi berbagai situasi.

6 dari 7 halaman

7. Discounting the positive

Discounting the positive adalah salah satu jenis distorsi kognitif di mana seseorang cenderung memiliki kecenderungan untuk mengabaikan atau menolak hal-hal positif. Seperti namanya, discounting the positive pada dasarnya berarti bahwa seseorang entah mengabaikan atau menganggap enteng peristiwa-peristiwa positif.

Orang-orang yang cenderung melakukan discounting the positive tidak sepenuhnya mengabaikan atau melewatkan sesuatu yang positif. Namun, mereka cenderung menjelaskan hal tersebut sebagai keberuntungan semata atau kebetulan belaka.

Sebagai contoh, seseorang yang mengalami keberhasilan dalam suatu proyek mungkin akan mendiscount hal positif tersebut dengan menganggap bahwa keberhasilan tersebut hanyalah kebetulan atau kejadian aneh, bukan hasil dari keahlian, pilihan cerdas, atau tekad yang kuat.

Ketika seseorang percaya bahwa mereka tidak memiliki kendali atas situasi-situasi dalam hidup mereka, hal ini dapat mengurangi motivasi dan membentuk rasa "belajar tidak berdaya" (learned helplessness).

8. Should statements

Should statements (pernyataan-pernyataan seharusnya) juga merupakan salah satu bentuk distorsi kognitif. Ketika seseorang berpikir dalam terminologi "should" dan "ought to" dalam menyikapi situasi atau tindakan, kemungkinan ada distorsi kognitif yang sedang berperan.

Pernyataan-pernyataan semacam ini jarang membantu karena seringkali digunakan untuk menghakimi diri sendiri dengan apa yang seharusnya dapat dilakukan dalam suatu situasi. Pernyataan-pernyataan "should" dan "ought to" seringkali digunakan oleh seseorang untuk mengambil pandangan negatif terhadap hidup mereka.

Pikiran-pikiran semacam ini seringkali berakar pada harapan-harapan internal dari keluarga atau budaya yang mungkin tidak sesuai untuk individu tersebut. Pikiran-pikiran semacam ini dapat mengurangi harga diri dan meningkatkan tingkat kecemasan.

Mengenali dan mengatasi discounting the positive serta "should" statements adalah langkah penting dalam mengembangkan pola pikir yang lebih sehat dan positif, sehingga seseorang dapat merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri dan menghadapi hidup dengan lebih baik. Terapi kognitif behavioral dapat membantu individu mengubah pola pikir ini menjadi lebih adaptif dan konstruktif.

7 dari 7 halaman

9. Emotional reasoning

Emotional reasoning adalah salah satu jenis distorsi kognitif di mana seseorang memiliki kepercayaan yang salah bahwa emosi mereka adalah kebenaran — dan bahwa cara mereka merasa tentang suatu situasi adalah indikator yang dapat diandalkan tentang realitas.

Meskipun penting untuk mendengarkan, memvalidasi, dan mengungkapkan emosi, sama pentingnya untuk menilai realitas berdasarkan bukti yang rasional.

Peneliti telah menemukan bahwa emotional reasoning adalah distorsi kognitif yang umum terjadi. Ini adalah pola pikir yang digunakan oleh orang-orang dengan dan tanpa kecemasan atau depresi.

Sebagai contoh, seseorang mungkin merasa sangat cemas dan takut bahwa sesuatu akan berakhir buruk, meskipun tidak ada bukti yang jelas menunjukkan hal tersebut. Mereka kemudian menganggap bahwa perasaan cemas mereka adalah kebenaran mutlak, tanpa mempertimbangkan bukti-bukti atau fakta-fakta lain yang ada.

10. Labeling

Labeling adalah distorsi kognitif di mana seseorang mengklasifikasikan diri mereka atau orang lain dalam cara yang negatif setelah mengalami suatu peristiwa yang tidak diinginkan. Misalnya, mereka mungkin mengurangi diri mereka atau orang lain hanya menjadi satu ciri atau deskripsi — biasanya negatif — seperti "gagal."

Ketika seseorang melakukan labeling, mereka mendefinisikan diri mereka dan orang lain berdasarkan satu peristiwa atau perilaku saja.

Labeling dapat menyebabkan seseorang menghina diri sendiri. Ini juga dapat menyebabkan pemikir salah mengerti atau meremehkan orang lain.

Kesalahpahaman ini dapat menyebabkan masalah antara orang-orang, seperti konflik interpersonal atau kesalahpahaman yang lebih dalam tentang kepribadian atau karakter seseorang.

Mengenali dan mengatasi emotional reasoning serta labeling adalah langkah penting dalam mengembangkan pola pikir yang lebih sehat dan realistis. Terapi kognitif behavioral atau pendekatan psikologis lainnya dapat membantu individu mengubah pola pikir ini menjadi lebih adaptif dan positif, sehingga mereka dapat lebih baik dalam menghadapi berbagai situasi dan hubungan interpersonal.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.