Sukses

Penelitian: Stigma Tuberkulosis Tingkatkan Risiko Depresi dan Penurunan Kualitas Hidup Pasien

Stigma terhadap orang dengan TB merupakan masalah sosial terbesar dan telah diakui sebagai tantangan kesehatan global.

Liputan6.com, Jakarta - Stigma terhadap orang dengan tuberkulosis (TB) dapat meningkatkan risiko depresi dan menurunkan kualitas hidup.

Ini diungkap dalam studi terbaru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bekerja sama dengan Liverpool School of Tropical Medicine, UK.

Stigma terhadap orang dengan TB merupakan masalah sosial terbesar dan telah diakui sebagai tantangan kesehatan global. Ini menjadi hambatan utama dalam mencapai target eliminasi TB di tahun 2050 yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Orang yang mengalami TB dianggap lebih rendah, menjijikkan, atau berasal dari keluarga miskin, sehingga mereka kerap malu untuk pergi berobat.

Stigma TBC berdampak negatif sehingga orang dengan TB khawatir menunjukkan dan melaporkan gejala yang mereka alami. Mereka juga takut mencari pengobatan atau tidak menyelesaikan pengobatan yang sudah dilakukan karena takut didiskriminasi.

Diskriminasi bisa datang dari keluarga, lingkungan tetangga, maupun lingkungan kerja. Stigma TB yang berat, bahkan, dapat memperburuk kondisi mental.

“Kami menemukan bahwa orang dengan TB mengalami stigma, terutama berkaitan dengan perasaan bersalah akibat penyakit yang mereka alami. Mereka sering merasa sebagai beban bagi keluarga mereka dan merasa terisolasi, terutama karena takut memberi tahu orang lain tentang penyakit mereka,” kata penulis utama penelitian ini, Ahmad Fuady, mengutip keterangan resmi FKUI, Jumat (2/2/2024).

“Ini tampaknya juga memicu masalah kesehatan mental mereka, termasuk depresi,” tambah dosen FKUI itu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mayoritas Responden Merasa Bersalah Atas TBC yang Dialami

Studi yang telah dipublikasikan dalam PLoS Global Public Health ini melakukan survei pada 612 orang dengan TB di Indonesia.

Hasilnya, lebih dari setengah (61 persen) dari responden mengalami stigma TB sedang. Yang paling umum terkait dengan perasaan bersalah tentang memiliki penyakit atau enggan untuk mengungkapkannya kepada orang lain, terutama di luar rumah tangga.

Selain itu, gejala depresi teridentifikasi pada 42 persen partisipan studi. Adanya depresi ini secara signifikan berkaitan dengan stigma yang dialami oleh mereka.

3 dari 4 halaman

Kebutuhan Psikososial Belum Terpenuhi

Survei ini juga mengidentifikasi kebutuhan yang belum terpenuhi akan dukungan psikososial, terutama yang diberikan oleh teman sebayanya (peer).

Dukungan teman sebaya ini penting diberikan, termasuk oleh mereka yang telah menjalani pengobatan TB, atau sering disebut “survivor TB.” Mereka memiliki pengalaman langsung dengan efek psikososial penyakit ini.

“Hal penting lain dari studi ini adalah bahwa mereka menunjukkan kurangnya dukungan yang mereka harapkan dapat bermanfaat buat mereka, yaitu dukungan dari sesama mereka, para penyintas TB, baik yang bersifat personal maupun yang diberikan secara kelompok.”

“Kami sangat berterima kasih kepada orang-orang dengan TB yang berbagi pengalaman mereka dan kepada tim penelitian kami yang teliti dalam menggambarkannya,” kata Ahmad Fuady.

4 dari 4 halaman

Rancang Intervensi untuk Atasi Stigma TB di Indonesia

Dalam keterangan yang sama, Tom Wingfield dari Liverpool School of Tropical Medicine juga memberi paparan.

“Pada awal September 2023, kami menyelenggarakan lokakarya nasional di Indonesia, melibatkan orang-orang dengan TB, pembuat kebijakan, petugas kesehatan, dan peneliti,” kata Tom yang merupakan penulis senior dan co-Principal Investigator dalam penelitian ini.

“Kami menampilkan hasil studi kami dan, bersama-sama, merancang intervensi berbasis masyarakat untuk mengatasi stigma TB di Indonesia, yang dipimpin oleh sesama dan petugas kesehatan lokal,” tambahnya.

Pihaknya sekarang sedang melakukan uji coba implementasi untuk mengevaluasi intervensi ini dalam studi yang disebut “TB-CAPS” yang didanai oleh Public Health Intervention Development Award dari Medical Research Council, Inggris.

“Kami berharap intervensi kami akan mendukung pengurangan stigma TB dan peningkatan kesehatan mental serta hasil lainnya bagi orang-orang dengan TB di Indonesia,” tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.