Sukses

Akibat Orangtua Ogah Bawa Anak Imunisasi, KLB Campak dan Difteri Kembali Menghantui

Banyak yang tak datang untuk imunisasi berujung munculnya KLB Campak dan Difteri.

Liputan6.com, Jakarta - Kemunculan KLB Campak dan Difteri bermula dari cakupan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) yang digelar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada 2022 belum optimal. Cakupan BIAN dinilai masih belum mendongkrak cakupan imunisasi lengkap, termasuk campak, rubella, dan difteri.

Dokter spesialis anak klinis, Anggraini Alam dari Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menjelaskan bahwa alasan cakupan BIAN yang rendah disebabkan banyak orangtua yang tidak datang untuk imunisasi bayi

"Kita ada BIAN, tapi BIAN kok ya pada enggak datang begitu ya. Karena enggak ada yang datang, imunisasi yang harusnya itu tinggi, tidak tercapai di BIAN ini. Ya jadilah muncul sekarang outbreak (wabah), KLB," kata Anggraini menjawab pertanyaan Health Liputan6.com saat Media Briefing bertajuk, Mengapa Difteri dan Campak Harus Diwaspadai belum lama (14/3/2023).

Muncul Wabah atau KLB Suatu Penyakit Akibat Ogah Imunisasi

Ketika muncul wabah dan KLB, maka dibutuhkan imunisasi massal yang dikenal dengan nama Outbreak Response Immunization (ORI). ORI adalah salah satu upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) suatu penyakit dengan pemberian imunisasi.

ORI merupakan strategi untuk mencapai kekebalan individu dan komunitas hingga sebesar 90 sampai 95 persen. 

"Prinsipnya adalah kalau kita mengadakan ORI terhadap campak, jadi harus didata by name, by address, tempat, usianya berapa, berapa bayi. Bayangkan harus rinci, apalagi tenaga kesehatan kita itu ya seperti istilahnya kayak tempur terus, ada COVID, kemudian BIAN," kata Anggraini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Daerah dengan KLB Campak di Indonesia

Anggraini Alam memaparkan daerah dengan KLB Campak dan Difteri yang kembali merebak di tahun 2023. Data ini dihimpun dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).

Daerah dengan KLB Campak, menurut data Kemenkes per 27 Februari 2023 terdiri atas:

5 KLB Campak di Kabupaten/Kota di 3 Provinsi

  1. Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
  2. Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan 
  3. Kabupaten Paniai, Papua Tengah
  4. Kabupaten Nabire, Papua Tengah
  5. Kabupaten Mimika, Papua Tengah

1 KLB Campak Rubella di 1 Kabupaten/Kota di 1 Provinsi

  1. Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara

17 KLB Suspek Campak di 14 Kabupaten/Kota di 10 Provinsi

  1. Sumatera Utara : Kabupaten Padang Lawas
  2. Sumatera Barat : Kabupaten Solok
  3. Jambi : Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi
  4. Sumatera Selatan : Kabupaten OKI
  5. Banten : Kabupaten Serang (sampai 4 kali KLB Suspek)
  6. Jawa Barat : Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Ciamis
  7. Jawa Timur: Kabupaten Tulungagung
  8. Kalimantan Selatan: Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut
  9. Maluku Utara : Kota Ternate
  10. Papua Barat : Kabupaten Teluk Bintuni

 

3 dari 5 halaman

Daerah dengan KLB Difteri di Indonesia

Sementara ada 7 kabupaten/kota di 4 provinsi yang sudah menyatakan KLB Difteri. Ketujuh kabupaten/kota tersebut, antara lain:

  1. Lampung : Lampung Tengah 1 kasus
  2. DKI Jakarta : Jakarta Utara 1 kasus
  3. Jawa Barat : Sukabumi 1 kasus dan Garut
  4. Jawa Timur: Malang 1 kasus, Probolinggo 1 kasus, dan Sampang 2 kasus

 

4 dari 5 halaman

Vaksinasi Gratis Masih Ditolak, KLB Campak dan Difteri pun Menghantui

Ketua Umum PP IDAI Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, IDAI sangat khawatir dengan situasi KLB Campak dan Difteri yang muncul di beberapa daerah pada tahun 2023. Ia menyebut penolakan vaksinasi masih terjadi.

"Bagaimana kita mau menurunkan angka kematian balita, angka kematian anak, padahal sesuatu jelas-jelas bisa dicegah dengan vaksinasi gratis itu pun masih ditolak oleh masyarakat," katanya.

"Jadi ini, ayo semuanya bangun, wake up, ini alarm kita, jangan ada lagi anak-anak yang belum imunisasi gara-gara penyakit yang bisa kita cegah," Piprim menambahkan.

Muncul KLB Campak, Imunisasi Massal ORI Harus Dilakukan

Disampaikan kembali oleh Anggraini alam, tatkala terjadi KLB, maka diharapkan imunisasi massal ORI harus cepat dilakukan. 

“Begitu ada Kejadian Luar Biasa itu, semuanya cepat dalam satu masa, kita berharap dalam seminggu, ayo semuanya anak imunisasi. Imunisasi difteri itu harus tiga kali, campak sekali," ujarnya.

“Waktu di Aceh itu tetes polio lebih gampang, orang mau. Ini bayangin, difteri masih disuntik, artinya tenaga kesehatan juga harus terlatih, belum membawa obat-obatan. Itu tempatnya, suhunya, penyimpanannya  harus baik," dia menambahkan.

5 dari 5 halaman

Ajakan untuk Imunisasi agar KLB Campak dan Difteri Tak Terjadi

Demi mendukung imunisasi campak rubella dan difteri, Anggraini Alam mengatakan, IDAI sudah meminta agar teman-teman media memperkenalkan apa itu campak, apa itu difteri, bahayanya apa.

"Ayo, dong diimunisasi. Itu peran kita semua kepada masyarakat. Tentunya, para dokter spesialis anak tidak henti-hentinya untuk memberikan informasi dan biasanya kami memang ke sosialisasi medis lainnya, yaitu dokter dokter umum bahwa ini lho tanda dan gejala dari penyakit campak dan difteri," katanya.

Kemudian dalam penatalaksanaannya diupayakan agar pencegahan bisa dilakukan, khususnya yang terpenting adalah imunisasi. 

"Para anggota IDAI, kami ini aktif di Kementerian Kesehatan, menjadi suatu istilahnya expert di Kementerian Kesehatan. Adanya KLB ini terus kami komunikasikan, mohon bantuan, ayo kita cegah dengan pemberian imunisasi secara massal. Ayo, ikuti semua, masa kita kalah sama negara-negara lain," pungkas Anggraini.

IDAI Ajak Galakan Cakupan Imunisasi Agar KLB Campak Tak Terjadi

Piprim Basarah Yanuarso turut menekankan, IDAI mengajak seluruh lapisan masyarakat juga Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan untuk menggalakkan cakupan imunisasi.

"Kita galakkan lagi cakupan imunisasi, kita tingkatkan lagi. Karena kalau sudah terkena penyakitnya ini, apalagi difteri luar biasa susah untuk ngobatin ya. Mengobati susah, ribet, leher dibolongin, pakai alat pacu jantung dan seterusnya," katanya.

"Biayanya mahal, korbannya itu juga jadi cacat, bahkan bisa meninggal dunia. Jadi, jalan satu-satunya adalah mencegah, upaya preventif yaitu dengan vaksinasi," dia menekankan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.