Sukses

BPOM Izinkan Penggunaan Darurat Remdesivir dan Favipiravir untuk Pengobatan Pasien COVID-19

Badan POM mengeluarkan izin penggunaan dalam kondisi darurat untuk dua obat yaitu Remdesivir dan Favipiravir

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia menyatakan bahwa mereka telah mengeluarkan izin dua obat untuk digunakan dalam penanganan pasien COVID-19.

Kedua obat tersebut adalah Favipiravir untuk pasien COVID-19 derajat ringan dan sedang yang dirawat di rumah sakit, serta Remdesivir untuk pasien derajat berat yang dirawat di rumah sakit.

Dikutip dari siaran pers di laman resminya pada Selasa (6/10/2020), BPOM telah menerbitkan izin penggunaan dalam kondisi darurat (Emergency Use Authorization/EUA) Favipiravir sejak 3 September 2020 dan untuk Remdesivir sejak 19 September yang lalu.

"Penerbitan EUA diiharapkan dapat memberikan percepatan akses obat-obat yang dibutuhkan dalam penanganan COVID-19 oleh para dokter sehingga mempunyai pilihan pengobatan yang sudah terbukti khasiat dan keamanannya dari uji klinik," kata Kepala BPOM Penny K. Lukito.

"Dengan tersedianya obat-obat tersebut diharapkan dapat meningkatkan angka kesembuhan dan menurunkan angka kematian pasien COVID-19 yang menjadi target pemerintah dalam percepatan penanganan COVID-19," tambahnya.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

BPOM Lakukan Pengawasan

BPOM menjelaskan bahwa EUA merupakan persetujuan penggunaan obat atau vaksin dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat.

Bagi produk yang telah mendapatkan EUA, BPOM mengatakan bahwa mereka terus melakukan pengawasan penyaluran dan peredaran sejak dari industri farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana layanan kefarmasian.

Mereka juga mewajibkan industri farmasi pemilik EUA untuk menjamin mutu obat, melakukan uji klinik di Indonesia untuk memastikan khasiat dan keamanan obat, serta melakukan farmakovigilans melalui pemantauan dan pelaporan efek samping obat yang harus disampaikan kepada BPOM.

Farmakovigilans merupakan kegiatan pemantauan dan pelaporan kejadian tidak diinginkan dan/atau efek samping obat pada pasien oleh dokter dan tenaga kesehatan lain di fasilitas layanan kesehatan.

Apabila terdapat peningkatan frekuensi efek samping, maka BPOM dapat melakukan tindak lanjut dengan memberikan komunikasi risiko dan pencabutan EUA untuk meningkatkan kehati-hatian dalam penggunaan dan perlindungan kesehatan masyarakat.

"Semoga para dokter dan tenaga kesehatan lain bekerja sama untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan terhadap khasiat dan keamanan melalui kegiatan Farmakovigilans," kata Penny.

3 dari 3 halaman

INFOGRAFIS: Deretan Kandidat Obat Covid-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.