Sukses

Hadapi Pademi COVID-19, Jabar Punya Layanan Pendampingan Kesehatan Jiwa Virtual

Provinsi Jawa Barat memiliki layanan pendampingan kesehatan jiwa virtual dalam menghadapi pademi COVID-19.

Liputan6.com, Bandung - Provinsi Jawa Barat memiliki layanan pendampingan kesehatan jiwa virtual dalam menghadapi pademi COVID-19. Layanan tersebut digelar oleh TPKJM Pemerintah Provinsi Jawa Barat , ITB, LPPM ITB, Pusdi Infeksi FK UNPAD - RSHS, RS Melinda 2, Klinik Utama Surya Medika Jatayu 76, Lundbeck Export A/S dan Komunitas DEKAP dan RUANG TENGAH.

Menurut juru bicara layanan pendampingan kesehatan jiwa virtual Teddy Hidayat, layanan yang dimulai 1 April 2020 ini berupa pendampingan oleh relawan dengan modul SeMeDi (Selalu Mendampingi Dirimu) pada pasien COVID–19, layanan art psychotherapy-ITB pada pasien COVID–19 dan intervensi psikososial melalui aplikasi pada pasien COVID-19.

Teddy mengatakan, kondisi darurat kemanusiaan pandemik COVID-19 yang menelan banyak korban di masyarakat menimbulkan menimbulkan kecemasan serta kepanikan pada beberapa individu.

"Semoga sumbangsih yang kami berikan menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam mengatasi bencana kemanusiaan yang tengah melanda masyarakat. Untuk melayani layanan pendampingan oleh relawan dan psikoterapi seni, silakan kirimkan PESAN melalui INSTAGRAM, ketik hasaka, atau untuk mengetahui informasi lebih lanjut silakan hubungi hotline 081.827.2255," kata Teddy dalam keterangan tertulisnya, Bandung, Rabu, 1 April 2020.

Teddy menerangkan studi psikososial pada pasien COVID-19 masih terbatas, namun dari peristiwa serupa menunjukkan mereka mengalami kecemasan, kesedihan, ketakutan, kesepian, merasa ditinggalkan dan stigmatisasi. Pasien COVID-19 dengan komorbiditas cemas atau depresi memerlukan pengelolaan yang menyeluruh termasuk kesehatan mental dan psikososialnya.

Teddy menyebutkan intervensi psikososial pasien COVID-19 melalui pendampingan virtual oleh peer support dan art psychoterapy diharapkan akan menurunkan tingkat kecemasan dan kesedihan, meningkatkan kekebalan tubuh yang akhirnya mengurangi kematian. Intervensi psikososial COVID-19 terutama bagi mereka yang menjalani isolasi, dianjurkan untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman, disarankan bukan SMS tapi ke panggilan suara agar merasa lebih terhubung.

"Melakukan hal yang disukai seperti mengaji, melukis, membaca atau musik. Bisa juga berlatih mengelola stres, latihan relaksasi, mindfulness atau pernapasan. Jangan lupa tetap optimis, terus melihat ke depan, buat rencana selama enam bulan ke depan," ujar Teddy.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Masyarakat Merespons COVID-19 dengan Cara Berbeda

Besarnya angka kematian COVID-19 ungkap Teddy, ditentukan oleh kualitas layanan kesehatan yang tersedia di tempat tersebut dan seberapa banyak tenaga ahli medis dan fasilitas. Di China lanjut Teddy, angka kematian berkisar 3,4 persen dan di Italia 7 persen dan di Indonesia semoga tidak lebih tinggi dari angka sekarang.

Salah satu upaya penting menurunkan angka kematian COVID-19 adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh atau imunitas. Semakin baik kekebalan tubuh, semakin kecil risiko untuk sakit dan meninggal.

"Penyakit COVID-19 menyebar dengan cepat karena penularannya melalui droplet infection yang sulit dicegah. Obat dan vaksin COVID-19 sampai saat ini masih belum ditemukan, oleh karena itu upaya pencegahan penularan hanya mungkin dilakukan dengan mengubah perilaku, isolasi, jaga jarak sosial dan mencuci tangan dengan sabun, dan ini menuntut kedisiplinan masyarakat," ucap Teddy.

Teddy menuturkan besarnya masalah COVID-19 dapat dilihat dari penjelasan dosen matematika ITB, bila dilakukan intervensi dengan baik prediksi jumlah penduduk Indonesia yang akan tertular 8.000 orang, gejala ringan atau self-limited 80 persen, sedang perlu perawatan 20 persen dan yang meninggal 4 persen.

Namun masyarakat merespons dan mengelola penyebaran COVID-19 dengan cara yang bebeda. Mereka yang kurang menanggapi ancaman ungkap Teddy, mungkin sedikit mempraktikkan kebersihan atau jika sakit tidak tinggal dirumah sehingga membantu penyebaran.

"Sebagian lagi merespons ancaman secara berlebihan, menjadi sangat cemas dan berusaha keras menjaga diri mereka tetap aman, mereka mungkin menjadi xenophobic atau ketakutan yang irasional terhadap orang asing," ungkap Teddy.

COVID-19 adalah penyakit yang menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Menurut WHO penyebarannya sudah sampai pada tahap pandemi.

Karena pasien COVID-19 jumlahnya terus meningkat, demikian juga kecemasan yang terkait. Bagi masyarakat efek kesehatan mental COVID-19 sama pentingnya untuk diatasi seperti halnya efek kesehatan fisik. (Arie Nugraha)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini