Sukses

Angka Perkawinan Anak di Sulawesi Tengah Masih Tinggi

Angka perkawinan anak di Sulawesi Tengah bisa dikatakan mengkhawatirkan

Liputan6.com, Jakarta Angka perkawinan anak atau di bawah umur di Sulawesi Tengah (Sulteng) masih tinggi. Bahkan, bisa dikatakan mengkhawatirkan seperti disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah, Ihsan Basir.

"Perlu saya sampaikan bahwa angka perkawinan dini di bawah umur di Sulawesi Tengah cukup mengkhawatirkan," kata Ihsan di Parigi Moutong, Sabtu, (4/5/2019) seperti dikutip Antara.

Menilik data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2015, Sulteng menempati urutan ketiga secara nasional kasus perkawinan anak. Menurut data ini rata-rata anak berusia 15-19 tahun berstatus nikah dan pernah nikah.

Presentase terbesar perkawinan anak terdapat di Kabupaten Banggai Laut sebesar 15,83 persen, diikuti Kabupaten Banggai Kepulauan 15,73 persen, Kabupaten Sigi 13,77 persen. Kemudian, Kabupaten Tojo Una-una 12,84 persen, dan Kota Palu 6,90 persen.

Data Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, menunjukkan Usia Kawin Pertama (UKP) atau pernikahan dini di Sulteng masih sangat tinggi atau sekitar 20,19 persen dari semua daerah di Sulteng.

 

Saksikan juga video berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Risiko di Balik Perkawinan Dini

Ihsan mengemukakan efek dari perkawinan dini terhadap aspek pendidikan. Biasanya, anak yang sudah menikah pendidikannya akan terputus."

Salah satu faktornya karena, mereka usai menikah dan mengandung takut terkena bullying dari teman-teman maupun lingkungan tempat tinggalnya," kata Ihsan.

Dalam banyak kesempatan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise sering mengingatkan bahwa masyarakat perlu tahu risiko mengenai perkawinan anak. Kerugiannya begitu banyak mulai dari berisiko melahirkan anak stunting, ketidakstabilan ekonomi, putus sekolah, rentan kekerasan dalam rumah tangga, perceraian hingga bahaya kematian pada ibu yang melahirkan terlalu muda.

“Kita tidak boleh mentolerir dan harus menolak perkawinan anak, karena bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak,” kata Yohana pada 2018. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.