Sukses

Terungkap, Alasan Ilmiah Orang Cerdas Percaya Hoax

Begitu rapinya tampilan dan susunan berita hoax kerap kali membuat orang sulit mengenalinya sebagai berita palsu.

Liputan6.com, Jakarta - Berita hoax bertebaran di media sosial, mulai dari tips-tips ringan seputar kecantikan dan kesehatan hingga isu-isu serius terkait politik dan pencemaran nama baik. Begitu rapinya tampilan dan susunan berita hoax kerap kali membuat orang sulit mengenalinya sebagai berita palsu.

Tim riset Stanford History Education Group dari Stanford University melakukan riset terhadap berita-berita hoax. Tim yang dikepalai psikolog Sam Wineburg itu fokus menemukan jawaban dari dua pertanyaan berikut: Mengapa orang yang paling cerdas sekalipun begitu buruk membuat penilaian mengenai apa yang harus dipercaya di sebuah situs internet? Dan bagaimana cara agar kita menjadi lebih baik dalam memilah berita hoax?.

Temuan tim peneliti yang dikepalai Wineburg menunjukkan, semua kalangan masyarakat di Amerika, mulai dari remaja yang sangat melek digital hingga kaum akademisi dengan IQ tinggi kerap mengabaikan pertanyaan kritis seputar situs yang mereka akses di internet.

Sementara itu, studi lain menunjukkan, orang sering me-retweet tautan tanpa lebih dulu membaca isinya dan terlalu bergantung pada mesin pencari. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Pew pada 2016 menemukan, hampir seperempat penduduk Amerika telah membagikan berita atau artikel palsu.

Ilmuwan bidang kognitif dari MIT David Rand dalam studinya menemukan, rata-rata orang cenderung memercayai berita palsu setidaknya 20 persen sepanjang waktu, melansir laman Time, Selasa (14/8/2018).

 

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Berdampak besar

Dampak dari ketidakmampuan kita memilah berita hoax dan berita benar begitu besar. Dampak buruk dari berita palsu serta turunannya seperti clickbait hingga "deep fakes"--video-video kejadian yang tampak begitu meyakinkan namun sebenarnya tidak pernah terjadi--membuat para ahli mengkhawatirkan demokrasi di masa depan.

Berita-berita palsu tersebut kerap digunakan untuk memanipulasi pemilu di seluruh dunia. Salah satu contohnya seperti yang dilakukan oleh agen-agen Rusia, setidaknya begitu yang diungkap oleh agen rahasia AS. Media sosial seperti Facebook juga menemukan bukti kampanye mengandung unsur politik pada sebuah unggahan di pertengahan pemilu AS 2018. Kampanye tersebut mengundang ribuan orang untuk melakukan protes yang sebenarnya tak pernah ada. Tujuannya hanyalah mempertemukan kelompok nasionalis kulit putih dengan sayap kiri di lokasi yang sama. Akun Facebook tersebut kini telah dibekukan.

Tak hanya berdampak pada masalah bernegara seperti pemilu saja, berita hoax juga memengaruhi nyaris setiap sudut kehidupan sehari-hari. Misalnya, tak sedikit ibu yang mencari tahu apakah anaknya perlu mendapatkan vaksin atau tidak melalui informasi yang bertebaran di mesin pencari Google. Mirisnya, tak semua informasi yang ada di internet benar adanya.

Selain itu, di India, seseorang yang tak bersalah meregang nyawa sebagai dampak berita hoax. Berawal dari viralnya sebuah berita penculikan anak di grup pesan singkat Whatsapp, massa terpicu melakukan penganiayaan pada seorang pemuda hingga tewas.

"Hal itu setara dengan krisis kesehatan publik," cetus Alan Miller, founder News Literacy Project.

3 dari 3 halaman

PR bersama

Penanganan berita hoax menjadi pe-er bersama dan tak ada cara singkat untuk mengatasinya. Pemberantasan berita hoax tak sepatutnya dibebankan pada pemerintah atau perusahaan-perusahaan teknologi besar saja, melainkan juga masyarakat. Pengguna internet dan pembaca berita pun turut bertanggung jawab. 

Ahli seperti Wineburg percaya, semakin kita memahami cara berpikir dunia digital, semakin baik kemungkinan kita menjadi bagian dari solusi masalah tersebut.

Lantas apa penyebab orang seringkali mempercayai berita hoax? Masalah ini sebenarnya bukan semata-mata karena kebodohan, melainkan karena keputusan untuk membiarkan dorongan yang keliru mengambil alih.

Di era ketika manusia menghabiskan 24 jam online setiap minggunya, berkutat di antara pesan masuk, feeds, serta sinyal-sinyal pesan lainnya, mudah sekali untuk merasa kekurangan waktu membaca lebih detail dan hanya mengandalkan judul.

Dan sebagai makhluk sosial, keinginan untuk mendulang "like" bisa mengaburkan intuisi terhadap kisah yang akan dibagikan itu sebenarnya tak layak. Keyakinan politik juga memicu orang malas berpikir. Meski begitu, ada dorongan fundamental yang lebih bermain: kecenderungan alami manusia untuk mendapatkan jawaban yang mudah.

Manusia sering berpikir bahwa dirinya adalah makhluk yang rasional, tapi sering kali faktanya menunjukkan sebaliknya. Manusia kerap dikendalikan oleh perasaan emosional serta pemikiran irasional. Para psikolog menunjukkan fenomena tersebut lewat sebuah studi jalan pintas kognitif yang disebut heuristik.

Manusia cenderung menghemat energi dan waktu dengan berpegang pada kebiasaan serta hal-hal yang familiar. Contohnya ketika berbelanja di pusat perbelanjaan, alih-alih membandingkan satu merk minuman dengan minuman lain, orang akan memilih minuman yang memang telah biasa dikonsumsi.

"Anda tidak dan tak bisa meluangkan waktu dan energi untuk mempelajari serta membandingkan setiap merk yogurt," ujar Wray Herbert, penulis buku On Second Thought: Outsmarting Your Mind's Hard-Wired Habits.

Kebiasaan itu membuat orang cenderung berasumsi bahwa jika sesuatu tampak familiar maka hal itu tentulah baik dan aman. Kebiasaan berpikir seperti itu memang terbukti membuat nenek moyang kita mampu bertahan hidup. Tapi, terlalu bergantung pada hal-hal yang familiar bisa menyesatkan, terutama di lingkungan online. 

David Rand dari MIT mengungkap sisi gelap kebiasaan heuristik melalui studinya. Rand menemukan, orang cenderung mempercayai hal-hal yang telah dia temui sebelumnya, dalam hal ini paparan berita-berita palsu. "Jika sebelumnya Anda pernah melihatnya, otak secara bawah sadar menggunakan paparan itu sebagai indikasi kebenaran," ucap Rand.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini