Sukses

Post Power Syndrome, Ketidakmampuan Individu Terima Hidupnya Kini

Apa sebenarnya penjelasan dari post power syndrome atau sindrom pensium? Dan apa saja gejala-gejala dari kondisi ini?

Liputan6.com, Jakarta Post power syndrome (PPS) bisa terjadi pada semua kelompok usia. Tidak melulu menimpa orang-orang berumur tua. Semula dianggap paling hebat tapi secara tiba-tiba kehilangan semuanya, bisa juga mengalami kondisi yang sering disebut sindrom pensiun.

"Karena post power syndrome ini bisa terjadi pada orang-orang yang tidak bisa menerima hidupnya," kata Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Siloam Tjhin Wiguna saat dihubungi Health Liputan6.com pada Rabu (8/2/2017)

Tjhin menjelaskan, post power syndrome (PPS) merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan individu melepaskan apa yang pernah dia dapatkan dari kekuasaannya terdahulu.

"Dulunya berkuasa atau dulunya punya posisi tertentu. Setelah tidak lagi menjabat, tidak punya kekuasaan lagi, dia tidak bisa melepaskan semuanya. Maka timbullah post power syndrome," kata Tjhin.

"PPS juga bisa timbul pada orang-orang (yang bukan berasal dari golongan pejabat) yang bingung karena nanti tidak punya aktivitas lagi, tidak ada kegiatan lagi, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan tertentu," ujar Tjhin.

"Power" pada kata post power syndrome, jelas Tjhin, bukan diartikan sebagai kekuasaan maupun pekerjaan. Melainkan dikonotasikan sebagai sosok yang tadinya aktif, banyak kegiatan, mendadak hilang semua sehingga timbul ketidaknyamanan

"Jadi, orang-orang yang mengalami post power syndrome adalah orang-orang yang tidak bisa menerima perubahan yang terjadi, sebenarnya. Dan perubahan yang tidak bisa dia terima itu adalah perubahan yang berkaitan dengan hilangnya aktivitas, hilangnya kekuasaan, hilangnya harta, dan sebagainya," kata Tjhin.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Gejala dan cara mengatasi post power syndrome

"Gejala-gejala pastinya tidak jelas juga. Artinya, memang orang tersebut tidak bisa menerima, apa pun bentuknya, dengan reaksi yang bisa bermacam-macam. Bisa jadi marah, kesal, iri, atau sebal," kata Tjhin menerangkan.

Tjhin pernah mendapatkan seorang klien yang seperti ini. Dulunya dia orang hebat. Namun, stroke mengambil semua yang telah dia dapatkan. Dia jatuh di saat sedang kaya-kayanya.

Sehari-hari, kliennya itu hanya marah, kesal, dan tidak bisa terima kalau sekarang hidupnya bergantung pada orang lain. Apa pun yang dikerjakan anak dan istrinya, selalu salah di matanya. Tingkahnya membuat situasi dan suasana di rumah jadi tidak nyaman.

Setelah menjalani psikoterapi dan diberi pemahaman, pelan-pelan kliennya itu memahami apa yang terjadi diri dirinya.

"Kalau orang-orang ini bisa menerima kehidupannya yang sekarang, yang mungkin berbeda dari yang lalu, kondisi ini bisa berubah. Mungkin dia juga butuh psikoterapi, butuh orang yang memahami apa yang terjadi, untuk memahami kondisi-kondisi seperti ini (post power syndrome)," katanya menambahkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.